Korupsi dan suap sebagai manifestasi dari sifat rakus, ketidakjujuran, rendahnya martabat, ketiadaan integritas, dan hilangnya profesionalitas pada diri seseorang, pada dasarnya telah merusak seluruh tatanan negara yang telah ada.

Dampak dari korupsi dan suap tersebut adalah kerugian negara yang nyata serta menurunnya kepercayaan publik, apalagi jika yang terlibat adalah para penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum dan keadilan. Mereka yang tahu hukum seharusnya memberikan teladan dan bukan memberikan contoh melanggar hukum atau mempermainkan hukum. Kejahatan mereka sungguh serius dan paling berbahaya dibandingkan dengan kejahatan lain.

Tak kalah penting, suap di sektor swasta juga kerap terjadi, tetapi belum mendapatkan perhatian lebih, bahkan terlupakan. Secara internasional, di dalam Konvensi Antikorupsi PBB (United Nation Convention Against Corruption/ UNCAC) telah diatur perihal suap di sektor swasta dan Indonesia telah meratifikasinya melalui Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2006.

Belum ada aturan

Tindakan suap di sektor swasta yang terdapat di dalam UNCAC contohnya adalah tindakan memperkaya diri sendiri secara tidak sah (illicit enrichment — kekayaan yang diperoleh dari cara tidak wajar), penggelapan kekayaan di sektor swasta, penyuapan di sektor swasta, dan perdagangan pengaruh.

Meskipun begitu, beberapa poin yang termasuk di dalam suap di sektor swasta tersebut bersifat non-mandatory atau tidak ada kesepakatan di antara negara-negara peserta konvensi untuk menyatakan tindakan tersebut sebagai tindak pidana. Karena sifat non-mandatory itulah hingga kini Indonesia belum memiliki aturan yang jelas mengenai pemberantasan suap di sektor swasta.

Tahun 2016 memang terbit Peraturan Mahkamah Agung (Perma) RI No 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi, tetapi perma tersebut belum mengatur penanganan korupsi di sektor swasta secara komprehensif. Oleh karena itu, Indonesia perlu mempertimbangkan untuk mengatur perihal penanganan suap di sektor swasta ke dalam perundang-undangan tersendiri.

Apalagi berdasarkan survei yang ada, tingkat suap di sektor swasta di Indonesia cukup merisaukan. Pada akhir 2018, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menyatakan bahwa 80 persen kasus korupsi yang terjadi di Indonesia melibatkan pihak swasta. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2017 juga pernah menyatakan bahwa sektor swasta menempati peringkat pertama terlibat dalam kasus korupsi selama periode tahun 2014-2016.

Indonesia jelas kalah dari banyak negara lainnya. Suap di sektor swasta sudah diatur di banyak negara dan memiliki ancaman pidana tersendiri, baik di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun di dalam UU tersendiri. Contohnya: sejak 1967 Belanda telah memasukkan kebijakan pemidanaan suap di sektor swasta ke dalam KUHP-nya. Tahun 2016, Swiss juga memasukkan kebijakan pemidanaan suap di sektor swasta ke dalam KUHP-nya. Di Inggris, suap di sektor swasta telah masuk ke dalam UU Antisuap tahun 2010. Selain itu, negara tetangga, Malaysia, sudah memiliki UU khusus terkait suap di sektor swasta, yaitu UU Antikorupsi tahun 2009. Di negara-negara tersebut, suap di sektor swasta diatur karena dianggap sangat merusak dan merugikan sektor bisnis.

Kemauan bersama

Secara umum, gencarnya pemberantasan korupsi mengganggu koruptor dan orang-orang yang hidup kotor tanpa memedulikan kejujuran dan hanya memedulikan kepentingan pribadi dan mereka sebetulnya adalah kelompok anasionalis. Ruang para koruptor kian sempit, apalagi dengan adanya pembersihan lembaga peradilan di mana hakim dan panitera pengadilan bahkan advokat semakin banyak yang tertangkap.

Pemerintah harus mendukung KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi yang telah mendarah daging di negara ini, baik yang melibatkan pejabat maupun swasta. Jika semua instansi dan lembaga pemerintah mendukung dan mengamalkan pemberantasan korupsi bersama-sama dengan KPK, efek bola salju pemberantasan korupsi akan menghasilkan negara hukum yang bebas korupsi, atau minimal angka korupsi bisa ditekan semaksimal mungkin. Memang harus diakui gaji penegak hukum dan hakim harus ditingkatkan sedemikian rupa seperti di negara-negara demokratis lain sehingga dilindungi dari godaan penyuap yang memanfaatkan mereka untuk kepentingan dirinya.

Di lain sisi, pemberantasan korupsi di Indonesia tidak akan tuntas seluruhnya jika pemerintah tidak turut memberantas suap yang terjadi sistematis di sektor swasta dan meluas ke berbagai bidang kehidupan, seperti ekonomi, sosial, agama, dan budaya. Aturan perundangan mengenai suap di sektor swasta harus disusun secara komprehensif, sekaligus mengakomodasi seluruh ketentuan yang ada di UNCAC. Barulah gerakan nasional antikorupsi akan semakin hebat dan sulit dibendung. Urusan pemberantasan korupsi di sektor swasta juga sebaiknya diserahkan kepada KPK, bukan Kepolisian RI.

Selain legislasi atas suap yang terjadi di sektor swasta tersebut, majelis hakim di pengadilan harus memberikan vonis yang berat terhadap para koruptor. Karena hukuman ringan seperti vonis dua tahun penjara bagi koruptor dalam kasus korupsi besar sungguh tak sesuai dengan semangat antikorupsi di negara ini. Pola hidup sederhana yang sudah lama dikumandangkan pejabat negara juga tak mempan karena kalah dengan pola hidup koruptor yang mewah, hedonis, konsumeristis, dan materialistis. Bahkan setelah divonis oleh majelis hakim, sifat tamak juga belum bisa hilang dari para koruptor. Hal itu dapat dilihat dari berita di media massa, di mana para terpidana korupsi dapat privilesedi dalam sel tahanannya asal mau membayar lebih.

Dari kesemuanya itu dapat disimpulkan, tidak ada yang namanya efek jera bagi pelaku korupsi. Seorang penyair bernama Percy Bysshe Shelley dalam "The Flower that Smiles Today" pernah berkata, "The flower that smiles today, tomorrow dies; All that we wish to stay, tempts and then flies; What is this world's delight? Lightning, that mocks the night, briefs even as bright." Para koruptor yang membaca tulisan ini harus sadar bahwa nafsu untuk mengumpulkan materi hanya bersifat sementara dan tidak abadi, kelak semuanya akan hilang lenyap dalam sekejap bagaikan halilintar di tengah malam.