Indonesia saat ini mengalami masalah gizi ganda. Sebagian anak-anak terkena masalah berat badan berlebih (obesitas), sebagian yang lain kekurangan gizi sehingga menyebabkan pendek (stunting) dan kecerdasannya pun ikut terpengaruh.

KOMPAS/SAMUEL OKTORA

Filia Tuaoni dipangku oleh neneknya, Dorkas Tuaoni di rumah mereka, Desa Oh'aem I, Kecamatan Amfoang Selatan, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, Minggu (23/12/2018). Filia dengan berat badan 6,7 kilogram menderita gizi buruk, tapi setelah dipantau dan dibimbing oleh kader posyandu, tercatat pada bulan November 2018, berat badannya naik 5 ons.

Secara nasional, menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), ada 30,8 persen anak usia di bawah lima tahun (balita) mengalami tubuh pendek pada tahun 2018. Meskipun angka tersebut termasuk tinggi, jumlah kejadian anak balita bertubuh pendek sudah menurun dibandingkan dengan jumlah kejadian tahun 2007 hingga 2013 yang relatif stagnan, yaitu antara 36,8 persen dan 37,2 persen.

Perbaikan itu menarik perhatian Bank Dunia, dan cara penanganan di Indonesia menjadi contoh memperbaiki masalah gizi anak balita. Usia tiga tahun pertama adalah periode emas untuk memupuk potensi kecerdasan dan fisik anak yang akan menentukan derajat kualitas hidupnya saat dewasa.

Perbaikan gizi tersebut pada sisi lain tidak terjadi merata di seluruh wilayah. Indonesia bagian timur memiliki jumlah anak stunting lebih tinggi dibandingkan dengan bagian lain Indonesia. Nusa Tenggara Timur berdasarkan data Riskesdas memiliki anak dengan tubuh pendek lebih tinggi dari angka nasional, yaitu 51,7 persen pada tahun 2013 dan turun menjadi 42,6 persen pada tahun 2018. Kejadian anak bertubuh pendek akibat kekurangan gizi ibarat puncak gunung es dari permasalahan lebih mendasar.

Kekurangan gizi dikaitkan dengan kemiskinan dalam arti luas. Kemiskinan menyebabkan keluarga tidak memiliki daya beli untuk mengakses makanan bergizi. Kemiskinan membuat keluarga tidak memiliki akses pada pengetahuan tentang gizi seimbang yang sangat mungkin didapat dari lingkungan sekitar, seperti tanaman dan ternak yang dipelihara di pekarangan. Kekurangan gizi juga dapat disebabkan miskin pengetahuan meskipun orangtua memiliki kemampuan ekonomi. Ketersediaan kebutuhan dasar seperti air bersih dan sarana sanitasi seperti jamban juga memengaruhi status gizi.

Kita ingin pemerintah pusat mendesain program nasional yang akan membuat pemerintah daerah melaksanakan perbaikan kualitas gizi anak balita. Posyandu serta sarana pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah, dan atas merupakan medium mengubah perilaku menuju hidup sehat dan mengonsumsi makanan bergizi seimbang. Kita juga dapat mengembangkan kearifan lokal untuk memperbaiki akses pada pangan bergizi.