Dalam peringatan haul ke-9 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ada sebuah warisan yang sangat inspiratif dan kontekstual untuk direfleksikan dan dilakoni dalam kehidupan kita. Terutama saat kondisi interaksi sosial kita disesaki centang-perenang pemilihan presiden yang akan berlangsung April 2019.

Ketika setiap kontestan dan para pendukungnya terlibat dalam berbagai aksi adu kuat, adu kelit, dan adu pesona untuk memengaruhi beragam massa, sering kali yang hanya dikedepankan adalah perkara politik. Dampaknya, berbagai aspek kehidupan dan anasir-anasir ajaran agama ataupun ilmu pengetahuan dieksploitasi sedemikian rupa agar bisa disesuaikan dengan kehendak dirinya.

Tak peduli apakah di dalam ajaran agama sesungguhnya termuat nilai-nilai sakralitas yang seharusnya diperuntukkan sesuai posisi dan proporsinya. Yang penting segala bentuk kata dan makna bisa diadaptasi ke dalam kerangka politisasinya, maka ajaran agama harus tunduk pada cara pandang dan sistem berpikirnya.

Demikian pula ilmu pengetahuan senyampang bisa dimodifikasi sebagai pendekatan dan metode pengaruh massa agar bisa menciptakan mosi percaya yang besar, maka seberapa pun biaya yang dibutuhkan akan digelontorkan untuk memperkuat berbagai sudut pandang pembenaran tentang dirinya. Bahkan, kalau bisa setiap person maupun tokoh yang mempunyai karisma di bidang keagamaan dan ilmu pengetahuan disewa dan dibajak untuk menjadi "kacung" yang bisa memperpanjang lidah pesan kepentingan kepada khalayak luas bahwa dirinya adalah yang paling pantas untuk dipilih dalam pilpres.

Lalu, ketika politik mengalami gegar keadaban dan keberadaannya hanya berhenti sebagai cara merebut kekuasaan dengan menghalalkan berbagai upaya dan tipu daya, menjadi penting bagi kita untuk merefleksikan kembali warisan Gus Dur bahwa sesungguhnya ada aspek yang lebih penting daripada politik yang saat ini selalu dipertandingkan dan diperebutkan, yaitu mengedepankan spirit kemanusiaan.

Mengedepankan spirit kemanusiaan

Dalam pupuh sinom serat Wedhatamakarya karya Mangkunegara IV dinyatakan bahwa kebahagiaan harus diawali dengan cara kita memperlakukan antar-sesama melalui spirit kemanusiaan "Amemangun Karyenak Tyasing Sasama". Di antara nilai-nilai prinsipiil dalam spirit kemanusiaan tersebut adalah bagaimana cara merajut sikap dan perbuatan yang bisa menyenangkan setiap orang.

Dengan kata lain, merujuk pada pemikiran almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur) dalam buku Islam Agama Kemanusiaan bahwa dimensi esotoris dalam spirit kemanusiaan adalah bagaimana kita adil, egaliter, toleran, saling menghargai, bersikap inklusif, dan tidak memaksakan apa yang menjadi keinginan kita harus dipatuhi oleh pihak lain.

Sikap ini meniscayakan sebuah persepsi dan manifestasi bahwa setiap orang adalah manusia yang harus diperlakukan secara manusiawi. Tidak patut apabila perlakuan secara manusiawi hanya berpulang pada diri sendiri. Sementara perlakuan kepada pihak lain sering kali bercorak despotis dan tidak santun.

Semisal hanya perbedaan pilihan dan dukungan terhadap calon presiden (capres) kita rela mengatakan pihak lain dengan label hewani. Kampret dan kecebong dikonstruksi sebagai penyamaran identitas untuk menggambarkan bahwa pendukung capres 01 tak ubahnya berwatak kecebong dan pendukung 02 serupa kampret. Mirisnya, penyematan ini berlangsung cukup lama dan mungkin akan terus berlangsung meski pilpres sudah selesai.

Padahal, dalam satu riwayat ditegaskan "tak sepatutnya seseorang memanggil nama pihak lain dengan gelar yang tak senonoh". Sebab, pelabelan semacam ini akan menjadi kecacatan sejarah yang akan berlangsung secara menahun dan akan tercatat sebagai bentuk penodaan kemanusiaan yang paling ironis.

Sejatinya kita perlu menyadari bahwa sikap yang paling mendasar dalam kehidupan berbangsa adalah bagaimana memanusiakan diri kita dan orang lain secara adil dan beradab. Hal ini sebagaimana disitir tegas dalam sila kedua dalam Pancasila. Secara filosofis, sila ini meniscayakan pesan moral bahwa sebagai rakyat Indonesia harus menjunjung tinggi budi pekerti dan keadaban publik serta menegakkan spirit kemanusiaan dengan menghargai hak asasi dan tanpa diskriminasi.

Oleh karena itu, dalam bersikap adil dan beradab harus bercorak silang balik (resiprocal across) dengan memperlakukan pihak lain sebagaimana kita memperlakukan diri kita. Ketika diri kita tidak suka dilabeli dengan penyematan hewani hanya karena berbeda pilihan, maka janganlah kita menyebut pihak lain dengan label hewani. Sebab, sebagaimana diri kita akan sakit hati dan benci dengan ungkapan negatif tersebut, pihak lain akan merasakan suasana batin yang serupa.

Kesadaran resiprokal yang menempatkan pihak lain yang sejajar dengan diri kita merupakan langkah awal berbuat adil dalam memanusiakan diri kita dan pihak lain. Ketika perilaku adil bisa ditegakkan dalam spirit kemanusiaan, maka kita akan tergolong sebagai pihak yang beradab (civilized) karena kita bisa menempatkan diri kita pada derajat yang luhur. Bahkan, merujuk pada istilah Pramoedya Ananta Toer, kita akan bisa memulai sikap adil sejak dalam pikiran.

Menyikapi pilpres

Patut disadari perbedaan pilihan dalam menyikapi pilpres sesungguhnya bagian dari rahmat. Setidaknya melalui perbedaan tersebut sistem demokrasi kita akan berjalan dengan baik dan progresif. Bahkan, melalui perbedaan tersebut ada keseimbangan kosmologis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap orang akan bisa leluasa dan mempunyai hak untuk menentukan setiap capres yang sesuai dengan selera dan pikirannya. Tak ada rasa takut seperti zaman Orde Baru (Orba) yang segala bentuk tatanan kehidupannya diseragamkan dan dipaksa sesuai dengan kepentingan politiknya.

Maka, ketika kebebasan memilih adalah fitrah tertinggi dalam spirit kemanusiaan, dusta politik apa lagi yang akan kita glorifikasi untuk menyikapi pilpres? Ketika spirit kemanusiaan menjadi aspek paling elementer bagi tumbuhnya kebahagiaan menjadi bangsa Indonesia yang sejuk dan aman, masihkah di antara kita rela mempertaruhkan martabat diri kita dan sanak keluarga hanya karena perbedaan pilihan politik? Tegakah kita mencemarkan akal sehat kita untuk "melacurkan" posisi dan profesi kita hanya karena berada di dalam barisan pendukung capres kita?

Pada titik ini, kita perlu berikhtiar lebih cermat dan mendalam lagi bagaimana menyikapi pilpres dengan arif dan sewajarnya. Sebagaimana ditegaskan oleh Buya Syafii Ma'arif, tak sewajarnya apabila di antara kita menganggap pilpres sebagai perang Bharatayuda, perang badar, dan berbagai ancaman lain yang menakutkan bahwa Indonesia akan kiamat jika tidak memilihkan capres yang kita usung.

Hal ini penting direfleksikan agar kita tidak terjebak ke dalam sebuah perhelatan politik yang semakin dicemari oleh fanatisme buta dan diselimuti hiruk-pikuk hoaks, pelintiran kebencian, konten negatif, kampanye hitam yang begitu mewabah di media sosial dan kehidupan nyata. Sebab, sebagaimana dipesankan Gus Dur, bahwa yang jauh lebih penting daripada politik adalah kemanusiaan. Maka, marilah kita rawat kemanusiaan kita dengan menyikapi pilpres dengan akal sehat, hati nurani yang bersih, dan optimisme yang maslahat.