KOMPAS/HARRY BHASKARA

Sebuah café di West Beach, sekitar satu jam dari pusat kota Adelaide, negara bagian Selatan, Australia.

Pengabaian daya dukung lingkungan telah berdampak perubahan iklim yang memicu cuaca ekstrem di seluruh dunia. Australia termasuk yang kena getahnya.

Hingga hari ini, gelombang panas masih berlangsung. Suhu di Adelaide, ibu kota Australia Selatan, mencapai titik tertinggi 47 derajat celsius, Jumat (25/1/2019). Seluruh kawasan Australia, terutama bagian barat dan tengah, nyaris terpanggang.

Meski menderita, manusia masih bisa beradaptasi dengan pengetahuan dan teknologinya. Yang paling sengsara tentu saja adalah hidupan liar di habitatnya. Kompas (31/1) memberitakan, puluhan kuda liar mati kepanasan dan ribuan unta yang kelaparan terpaksa ditembak karena menyerbu areal peternakan. Menteri Energi Australia mengakui, perubahan iklim telah memicu cuaca ekstrem: musim panas lebih panjang dan lebih panas.

Sebenarnya kesadaran bahwa manusia merusak lingkungan sudah muncul akhir 1980-an. Revolusi Industri telah mengubah gaya hidup secukupnya menjadi konsumtif sehingga untuk memenuhinya berlangsung pembangunan yang eksploitatif terhadap sumber daya alam. Maka terjadilah peningkatan emisi gas rumah kaca karena peningkatan konsumsi bahan bakar fosil dan produksi industri. Sementara di sisi lain areal hutan berkurang jutaan hektar dan memusnahkan jutaan spesies keanekaan hayati.

William Ruckelshaus, Direktur Environmental Protection Agency, AS, dalam Business Week, 18 Juni 1990, mengingatkan, "Alam menyediakan segala kebutuhan secara gratis asal kita bisa mengontrol nafsu kita." Lahirlah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, 1992.

Meski KTT Bumi telah mencetuskan konsep pembangunan berkelanjutan—suatu model pembangunan yang menyejajarkan aspek ekonomi dengan sosial dan lingkungan—komitmen lebih dari 180 negara itu tak berjalan mulus.

Banyak negara mengabaikan pembangunan berkelanjutan, termasuk Amerika Serikat, Arab Saudi, Kuwait, dan Rusia. Padahal, sejak 2009, Global Humanitarian Forum melaporkan, bencana hidrometeorologi akan menjadi ancaman terbesar manusia ke depan lewat perubahan iklim. Bukti bahkan sudah di depan mata: banjir, kekeringan, badai, tanah longsor, dan pelbagai bencana alam lainnya. Tidak ada negara yang luput dari cuaca ekstrem ini sepanjang 2018.

Kita tahu, perubahan iklim terjadi karena peningkatan suhu bumi. Panel Antar-pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) mengingatkan, kita harus mengerem laju pemanasan Bumi tidak lebih dari 1,5 derajat celsius dari suhu sebelum Revolusi Industri. Namun, dalam wawancara dengan BBC, 8 November 2018, Presiden AS Donald Trump menyatakan tidak percaya ancaman perubahan iklim ini (Kompas, 30/1).

Yang terus berkelanjutan justru perusakan lingkungan. Kita lupa, tumpukan materi tidak akan berarti apabila perubahan iklim dan cuaca ekstrem tidak segera diatasi karena skenarionya adalah kiamat dunia. Siapkah kita?


Kompas, 1 Februari 2019