Pada 24 Januari lalu saya mendapat kehormatan ikut diundang oleh Panglima TNI Hadi Tjahjanto menghadiri acara "Joy Saling & Ngopi Bareng" di KRI Bima Suci. Acara itu ternyata amat menyenangkan. Kami sudah ditunggu pukul 07.00 di JITC-II Tanjung Priok dan disuguhi kopi atau teh. Kemudian kami diajak naik Bima Suci, kapal layar latih bagi taruna TNI AL.
Sesudah duduk-duduk di dek kapal dan mendapat penjelasan seperlunya, kami diajak masuk ke ruang dalam di mana kami ditawari makan pagi. Sementara kapal pelan-pelan keluar pelabuhan, dan kami mengobrol, ada dua band putri angkatan laut yang menghibur kami dengan lagu-lagu mereka (disertai dengan semangat oleh beberapa dari kami). Pada akhirnya Panglima TNI sendiri (yang juga suka menyanyi) memberikan suatu sambutan pendek, disusul jawaban KH Marsudi Suhud. Pukul 12.30 WIB kami meninggalkan kapal.
Kami yang diundang sekitar 30 orang. Ada Sekjen Muhammadiyah Abdul Mu'ti, dari NU ada juga KH Imam Pituduh (yang membuat kami sakit perut saking sering tertawa), ada beberapa habib, ada tiga "Romo" (termasuk saya) dari Katolik, ada Sekjen PGI Pendeta Gomar Gultom, ada Pak Budi S Tanuwibowo (yang ternyata penyanyi superberbakat), ada tokoh Hindu, dan ada dua biku. Semua agama (yang diakui; rupa-rupanya kita belum cukup dewasa untuk juga mengundang, misalnya, wakil umat Syiah atau Ahmadiyah) terwakili. Yang bagi saya begitu mengesankan adalah suasana ramah-tamah yang segera berkembang. Suasana amat baik. Pak Hadi, banyak terima kasih!
Bagi saya ada satu kesimpulan: Kami yang amat berbeda latar belakang keagamaannya dapat begitu rileks dan ramah berkomunikasi—sampai bernyanyi bersama—karena kami saling menerima. Saling menerima, padahal kami berbeda dalam agama. Orang-orang yang saling menganggap musuh atau setan, di mana di bawah permukaan ada kebencian, sudah jelas tidak dapat bergaul seperti kami bergaul di atas Bima Suci. Kami saling menerima dalam perbedaan karena kami menyadari diri berada dalam pancaran perhatian dan kasih Tuhan.
Tentu pengalaman yang sangat menyemangati ini tidak boleh hanya menyangkut kami, tamu-tamu pada Hadi Tjahjanto. Mestinya semangat itu, semangat saling menghormati, menghargai dan menyukai, memancar ke dalam umat-umat kami. Jadi tidak boleh terbatas pada sekitar 30 "tokoh", tetapi menjadi habitus/biasa di antara umat-umat kami. Berbeda, memang, tetapi kita sadar bahwa kita semua—betapa pun kita berbeda—berada dalam cakupan momongan Tuhan.
Kita tidak mengarah ke suatu "semua agama sama saja". Perbedaan-perbedaan tetap ada dan kita serahkan kepada Tuhan. Namun, kita saling menghormati. Dan kita tidak berhenti pada saling menghormati, tetapi, dengan berkenalan makin akrab, menjadi saling menghargai dan—seperti kami mengalaminya di atas Bima Sakti—saling menyukai.
Perbedaan bukan musuh
Saya boleh di sini mengungkapkan kegembiraan mendalam akan sesuatu yang pernah kelihatan seperti mukjizat. Selama hampir 500 tahun kami Katolik bukan hanya berbeda, melainkan bermusuhan dengan saudara-saudari Kristen-Protestan. Namun, dalam 80 tahun terakhir permusuhan itu mati, dan sekarang kami saling menghargai dan menyukai, bahkan bersedia belajar satu dari yang lain. Padahal, perbedaan-perbedaan dari 500 tahun lalu (sebagian besar) masih tetap ada.
Jadi, yang mesti menjadi "musuh" kita bukan perbedaan, melainkan kekerasan hati, permusuhan, kebencian, kepicikan yang tidak bersedia menerima bahwa Tuhan dalam rahmat- Nya mengayomi kami semua dalam segala perbedaan (yang memang cukup besar).
Yang amat perlu adalah bahwa semangat saling menghormati dan menghargai menjiwai khotbah-khotbah dan pengajaran/pendidikan kita. Jangan sampai kalau kita berada di antara kita sendiri, bicara negatif dan merendahkan tentang "mereka", lain daripada kalau kita bertemu bersama. Harusnya kalau saya menyinggung Islam atau Sang Buddha, saudara Muslim dan saudari Buddhis dapat hadir dan bukan hanya tidak merasa tersinggung, melainkan senang.
Kurang dari tiga bulan lagi bangsa Indonesia maju ke pemilihan anggota legislatif (DPR/ DPD/DPRD) dan pemilihan presiden-wakil presiden (pilpres) untuk lima tahun mendatang. Tentu ketegangan nasional akan meningkat. Amat perlu bahwa kita, ya kita para agamawan, berusaha sekuat mungkin untuk tidak mengizinkan keagamaan kita malah merusak persatuan bangsa: bangsa yang memang majemuk, tetapi yang kekuatannya adalah bahwa kita saling menerima dalam perbedaan. Dan, terutama, kita jangan mengizinkan agama menjadi alat untuk menimbulkan kebencian serta sikap saling menolak.
Seperti yang kami alami di atas Bima Suci, kita tidak memberi ruang apa pun pada kebencian dan ketertutupan. Melainkan kita saling menerima, saling mendukung, juga saling menghormati dalam perbedaan opsi politik. Perbedaan opsi politik bukan hanya sesuatu yang harus "diderita", melainkan merupakan aset positif dalam demokrasi kita. Alangkah bagusnya kalau para agamawan dapat membantu umat mereka masing-masing untuk tetap saling menerima, saling menghormati, saling menghargai, dan bersama-sama membangun masa depan bangsa dalam persatuan hati yang merupakan hati Indonesia, dalam berkat Tuhan yang melindungi kita semua dalam segala perbedaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar