Dengan jelas disampaikan dari dua sisi pandang. Di satu sisi, yang menjadi masalah pada usaha perkebunan yang terintegrasi, adalah masalah penghitungan pajak pada rantai pasokan setelah produk pertanian keluar dari kebun. Karena produk pertanian dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) (Pasal 2 PP No 31/2007), PPN masukan lainnya tidak bisa dikompensasikan ke PPN keluarannya.
Hal lain, dari sisi petani, akan menjadi masalah apabila produk pertanian dikenai PPN. Hal itu karena PPN akan menjadi beban bagi petani kalau petani tidak mencatat PPN masukan dan keluaran dengan baik. Hal ini berimplikasi harga produk pertanian akan bertambah 10 persen atau mungkin menekan harga di tingkat petani sebesar 10 persen.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 197/2013 (berlaku 1 Januari 2014) disebutkan batasan pengusaha kena pajak, yaitu yang memiliki omzet usaha lebih dari Rp 4,8 miliar per tahun. Pertanyaannya, apa tak mungkin petani beromzet usaha lebih dari Rp 4,8 miliar setahun? Apa tidak mungkin pedagang pengumpul produk pertanian beromzet lebih dari Rp 4,8 miliar setahun?
Kalau mengambil contoh pedagang pengumpul kakao, omzet Rp 4,8 miliar per tahun hanya untuk sekitar 192 ton biji kakao kering. Jumlah itu sangat kecil dibandingkan dengan kebutuhan biji kakao industri dalam negeri yang berkisar 500.000 ton per tahun saat ini. Jadi, jawaban pertanyaan di atas sangat mungkin terjadi dan asumsi di atas sangat mungkin terjadi.
Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian menerapkan program hilirisasi industri pertanian. Program ini dirancang untuk meningkatkan nilai tambah produk pertanian di dalam negeri sehingga bisa meningkatkan kesempatan kerja, devisa, dan menggairahkan industri dalam negeri. Program ini dinilai berhasil pada beberapa komoditas, yang tadinya banyak diekspor mentah kini sudah banyak diolah dalam negeri. Hasilnya menjadi andalan ekspor.
Kembali mengambil contoh kesuksesan hilirisasi industri kakao dan cokelat, sejak dikeluarkan PMK No 67/2010, jumlah industri pengolahan kakao meningkat tajam. Sebaliknya, ekspor biji kakao mentah menurun drastis. Hal ini didorong bea keluar 0 persen-15 persen sesuai dengan PMK No 75/2012. Bea keluar jadi insentif bagi petani dan pedagang pengumpul untuk menjual ke industri dalam negeri.
Apa yang terjadi jika produk pertanian dikenai PPN? Tentu akan imbang antara pengenaan PPN 10 persen dengan bea keluar yang berkisar sama saat ini. Juga menjadi beban modal kerja tambahan bagi industri pengolahan yang berorientasi ekspor.
Apabila diasumsikan pedagang pengumpul/petani adalah pengusaha kena pajak, saat menjual produk pertaniannya ke industri pengolah ia akan dikenai PPN 10 persen. PPN ini menjadi PPN masukan bagi industri pengolah. Setelah diolah, industri mengekspor hasil olahan dengan PPN 0 persen, terjadi kelebihan PPN masukan yang bisa direstitusi pada akhir masa pajak.
Dalam masa satu tahun lebih ditambah masa menunggu pemeriksaan pajak restitusi dan pembayaran restitusi, tentunya industri tersebut akan perlu modal kerja tambahan 10 persen lebih. Belum lagi kalau ditambah beban bunga pinjaman yang sangat tinggi di Indonesia dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya.
Jika hal ini benar terjadi, program hilirisasi dan peningkatan nilai tambah di dalam negeri jadi mubazir. Demikian juga program peningkatan devisa ekspor melalui produk jadi pertanian mundur selangkah. Pelaku usaha lebih memilih jadi pengusaha ekspor komoditas pertanian mentah daripada mengolahnya.
Solusi PPN pertanian
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No SE-24/PJ/2014 tertanggal 25 Juli 2014 telah diterbitkan. Implikasinya, keputusan MA harus dijalankan meski dalam surat edaran tersebut masih ada pengecualian, terutama untuk buah dan sayur, serta komoditas yang tidak ditetapkan dalam PP No 31/2007, yaitu beras, gabah, jagung, sagu dan kedelai.
Apakah ini solusi terbaik? Keberpihakan ke pertanian mungkin perlu dicarikan solusi terbaik. Hal ini demi mewujudkan kekuatan ketahanan pangan serta kedaulatan pangan seperti yang diamanatkan dalam UU No 18/2012 tentang Pangan.
Salah satu solusi agar semua pihak bisa menikmati insentif dalam mewujudkan negara agraris yang kuat adalah melalui kebijakan PPN yang berpihak ke pertanian dalam arti luas. UU No 42/2009 tentang perubahan ketiga UU No No 8/1983 tentang PPN barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah, sama sekali tak menyebut produk pertanian merupakan barang yang tidak dikenai PPN. Atas dasar ini pula, MA membuat keputusan bahwa PP No 31/2007 bertentangan dengan UU PPN.
Alangkah indahnya kalau UU PPN diubah dengan menjadikan produk pertanian menjadi Barang Kena Pajak dengan tarif 0 persen. Hal ini agar menjadi berimbang antara PPN ekspor dan PPN pertanian, yaitu dalam UU No 7/1983 disebutkan, "atas ekspor barang dikenai pajak dengan tarif 0 persen" (Pasal 7 ayat 2). Sekaligus dilakukan perubahan Pasal 7 ayat (3) yang menyebutkan, "dengan peraturan pemerintah, tarif pajak serendah-rendahnya 5 persen dan setinggi-tingginya 15 persen, agar diubah menjadi serendah-rendahnya 0 persen.
Solusi ini akan menjawab perusahaan perkebunan terintegrasi sehingga bisa mengompensasikan PPN masukan dalam rantai pasokan usahanya, dan akhirnya bisa meningkatkan daya saing produknya. Demikian juga petani, pedagang pengumpul atau perusahaan industri pertanian lain tidak mengalami beban tambahan akibat pengenaan PPN.
Maka, keberpihakan regulasi untuk pertanian menjadi awal menuju kejayaan Indonesia sebagai negara agraris sejati.
Adhi S Lukman
Ketua Umum GabunganPengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008534408
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar