Ketentuan ini meliputi wilayah layanan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Kepmen Kominfo No 729/2014) dan di Provinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Bali, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah (Kepmen Kominfo No 730/2014).
Mengikuti kepmen itu, pada 14 Agustus 2014 Kementerian Komunikasi dan Informatika mengeluarkan pengumuman yang berisi antara lain seleksi Lembaga Penyiaran Penyelenggara Penyiaran Multipleksing Melalui Sistem Terestrial sesuai Kepmen Kominfo No 729/2014 dan No 730/2014 segera dilaksanakan. Dokumen seleksi harus segera diambil dalam tempo satu minggu untuk obyek seleksi berdasarkan Kepmen No 729/2014 dan satu bulan untuk seleksi berdasarkan Kepmen No 730/2014.
Konteks dari penyelenggaraan penyiaran multipleksing adalah digitalisasi penyiaran yang menggantikan platform analog terestrial, seperti yang berlangsung di platform penyiaran saat ini. Keuntungan dari platform digital ada beberapa. Dari sisi kualitas, penyiaran digital mampu menampilkan kualitas suara dan gambar yang lebih baik daripada platform analog. Selain itu, digitalisasi juga memungkinkan lipatan jumlah frekuensi sebanyak 12 kali dibandingkan dengan analog sehingga jumlah stasiun televisi bisa bertambah banyak.
Ini bisa mendorong keragaman kepemilikan yang sangat cocok untuk negara demokratis. Setiap 12 frekuensi dikelola dalam satu kanal. Kanal ini yang disebut multipleksing. Lalu apakah masalah kepmen Kominfo di atas?
Cacat hukum
Catatan pertama yang layak kepada kedua kepmen itu adalah cacat hukum. Sampai kini program digitalisasi penyiaran belum memiliki UU khusus. Jadi, di level UU, sandaran semestinya UU Penyiaran (UU No 32/2002 yang belum mengatur digitalisasi.
Sebagai pengganti, Kemenkominfo kemudian menerbitkan Permen No 17/2012 tentang Pelaksanaan Penetapan Penyelenggaraan Penyiaran Multipleksing. Inilah yang dijadikan dasar bagi Kepmen No 729/2014 dan Kepmen No 730/2014. Selanjutnya, Permen No 17/2012 dan No 730/2014 mendasarkan diri antara lain pada Permen No 22/2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free to Air). Ironisnya, Permen No 22/2011 ini sudah dibatalkan Mahkamah Agung pada akhir Oktober 2013.
Kemenkominfo lalu menerbitkan Permen No 32/2013 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Secara Digital dan Penyiaran Multipleksing Melalui Sistem Terestrial yang senada dengan Permen No 22/2011 yang dibatalkan. Kedua permen ini masih tetap menempatkan pemilik penyiaran analog sebagai pengelola multipleksing sehingga konsentrasi kepemilikan penyiaran tetap langgeng pada era digital.
Kemenkominfo kemudian menjadikan Permen No 32/2013 sebagai sandaran hukum yang lain. Ini jelas akal-akalan yang hanya peduli pada aspek prosedur hukum, tetapi tidak berniat baik untuk memanfaatkan digitalisasi sebagai teknologi yang mendukung keberagaman kepemilikan. Dari sisi pembagian wilayah, juga terjadi kerancuan, akan memakai sistem berdasarkan zona ataukah provinsi.
Dari masa berlakunya, kedua kepmen itu juga mengundang pertanyaan karena hanya berlaku selama dua bulan sejak 25 Juli 2014 atau sebelum terjadi pergantian kabinet. Apakah yang menjadi urgensi sehingga kedua kepmen itu harus diterbitkan sekarang, sementara Indonesia belum memiliki aturan setingkat UU untuk program sestrategis digitalisasi penyiaran? Selain itu, program digitalisasi minimal tahun 2018 yang dicanangkan Kemenkominfo pun sudah dibatalkan MA. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seharusnya menegur menterinya karena mengeluarkan keputusan strategis di ujung kekuasaan yang bisa mengganggu program kerja pemerintahan mendatang.
Di balik teknikalitas hukum di atas, sebenarnya apa yang jadi masalah mendasar dari kedua Kepmen itu? Ada masalah besar bagi proses demokratisasi di area penyiaran analog, yaitu persoalan kepemilikan. Prinsip yang dilanggar adalah pembatasan kepemilikan karena Indonesia sebagai negara demokratis menganut sistem pembatasan teritorial. Satu badan usaha boleh memiliki maksimal dua stasiun penyiaran di dua provinsi berbeda.
Prinsip ini berlaku di setiap negara demokratis, seperti AS dan Australia. Pertimbangannya adalah aspek frekuensi sebagai sumber daya terbatas milik publik dan aspek kemampuan penyiaran masuk ke ranah privat tanpa diundang. Kepemilikan stasiun penyiaran tanpa batas akan memunculkan penyeragaman opini. Dalam konteks ini, jelas ada pelanggaran dalam sistem penyiaran kita. Kita menyaksikan satu badan usaha bisa punya beberapa stasiun penyiaran dalam satu provinsi, terutama DKI Jakarta.
Pada kondisi politis, yaitu pemilik media memiliki afiliasi politik, situasinya akan semakin runyam. Salah satu pelajaran penting dari Pemilu 2014 lalu adalah pemakaian media penyiaran sebagai corong politik kandidat. Pemilu Presiden 2014 contoh brutal beberapa stasiun televisi memosisikan diri tidak lebih sebagai pamflet pendulang suara bagi calon yang didukung pemilik stasiun tersebut, ketika manajemen simulasi realitas telah menjadi motor penggerak news room.
Platform digital sebenarnya menjanjikan jumlah frekuensi 12 kali lipat dari jumlah analog sehingga mendukung prinsip demokrasi penyiaran, yaitu keberagaman kepemilikan. Namun, beberapa kali potensi teknologi ini sempat dipangkas Kemenkominfo. Misalnya lewat Permen No 22/2011 yang mengatur bahwa pengelola multipleks otomatis diberikan ke existing owners media penyiaran analog. Padahal, struktur kepemilikan media penyiaran analog bersifat terpusat.
Semangat sama juga tampak pada kedua kepmen yang terasa sangat dipaksakan terjadi di akhir kabinet ini. Bagi proses demokratisasi penyiaran yang sedang diperkuat melalui revisi UU Penyiaran dan penyusunan regulasi penyiaran publik, tidak semestinya kedua kepmen itu diberlakukan sekarang.
R Kristiawan
Manajer Program Media dan Informasi Yayasan Tifa,
Jakarta; Aktif di Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008537372
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar