PEMBELAJARAN JARAK JAUH
Berhamba "Sang Anak"
Dalam menyelenggarakan PJJ, guru hendaknya memperhatikan kesulitan yang dihadapi siswa dan orangtua siswa. Setidaknya guru mampu menerapkan prinsip-prinsip PJJ yang baik dan benar agar orangtua siap sebagai pendamping.
Menjaga suasana belajar bagi anak-anak dalam situasi pandemi Covid-19 bukan pekerjaan mudah. Kebijakan pemerintah yang tidak dibarengi dengan upaya komprehensif tidak akan banyak berarti. Akhirnya, anak didik yang paling terkorbankan.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan bantuan kuota internet dalam rangka pembelajaran jarak jauh (PJJ). Siswa mendapat 35 gigabyte (GB) per bulan, guru mendapat 42 GB per bulan, dan mahasiswa dan dosen 50 GB per bulan dalam kurun waktu 4 bulan.
Kebijakan yang patut diapresiasi sekalipun belum cukup untuk mengentas persoalan PJJ, khususnya, dan menyelamatkan anak-anak dari terpaan Covid-19 pada umumnya.
Belum lama ini penulis mendapat pesan nyasar lewat aplikasi Whatsapp peranti telepon seluler. Pertama yang muncul sebuah gambar. Tampak soal ujian tengah semester kelas IV SD/MI. Gambar difoto asal-asalan. Karena itu, tidak dapat terbaca dengan jelas.
Sesaat kemudian muncul pesan berikutnya. Bunyinya, "Bapak/Ibu orangtua siswa, berikut ini tugas untuk putra/putri Anda. Mengerjakan 40 soal Matematika. Soal ditulis ulang di lembar jawab. Jawaban harus disertai dengan caranya dan tidak langsung menulis jawabannya. Besok pagi, paling lambat jam 8.00 lembar jawab di antar ke sekolah".
Membaca teks pesan itu, penulis mengambil kesimpulan, jika ini guru yang membuat, berarti guru yang malas. Ternyata pesan itu datang dari salah satu orangtua murid di sebuah sekolah. Penulis tidak tahu persis apa maunya. Pesan forward dari nomor yang tidak dikenal.
Ternyata pesan itu datang dari salah satu orangtua murid di sebuah sekolah.
Konfirmasi dari banyak orangtua murid, fenomena semacam itu tidak sedikit jumlahnya. Kesulitan orangtua dalam pendampingan PJJ tidak hanya pada penguasaan materi pelajaran, tetapi juga karena kesulitan memahami bahan ajar, baik fisik maupun kontennya. Guru yang menyiapkan bahan ajar jauh dari prinsip-prinsip PJJ yang baik dan benar. Anak-anak menjadi korban. Orangtua yang tidak sabar bisa saja membiarkan anaknya dalam kesulitan belajar, atau sebaliknya menggunakan cara kekerasan dalam "menaklukan anak".
Ketika nalar sudah buntu, tidak sedikit orangtua yang kemudian mendesak agar sekolah segera dibuka sekalipun wabah belum mereda. Desakan membuka sekolah hanya karena kesulitan pendampingan PJJ bukan solusi terbaik. Jika direalisasi, bisa jadi anak-anak kembali menjadi korban. Sekolah/madrasah menjadi sumber penularan Covid-19 terhadap anak-anak.
Menjaga suasana belajar dalam masa pandemi Covid-19 sungguh tidak mudah. Memerlukan cara berpikir dan bertindak komprehensif penuh kehati-hatian. Bahaya pandemi Covid-19 tidak bisa dianggap enteng. Banyak korban sudah berjatuhan. Semua segi kehidupan terdampak oleh merebaknya Covid-19. Kehidupan sosial poranda, kehidupan ekonomi nyaris masuk jurang resesi. Jangan sampai anak-anak generasi penerus bangsa kehilangan masa depan karena terdampak Covid-19 dan kita tidak mampu melindunginya.
"Sang Anak"
Guru, orangtua murid, dan siapa pun yang bekepentingan dengan usaha menjaga suasana belajar dan sekaligus menyelamatkan anak-anak dari terpaan Covid-19 hendaklah mau kembali belajar. Belajar untuk berhamba kepada "Sang Anak". Untuk membuka sekolah normal kembali, hendaklah dipastikan "Sang Anak" tidak menjadi korban. Untuk menerapkan PJJ sebagai upaya menjaga suasana belajar pada masa pandemi, hendaklah dipastikan "Sang Anak" tidak menjadi korban.
Untuk menerapkan PJJ sebagai upaya menjaga suasana belajar pada masa pandemi, hendaklah dipastikan 'Sang Anak' tidak menjadi korban.
Mengapa "Sang Anak" ditulis dalam huruf kapital di awal kata? Penulisan ini terinspirasi oleh alam gagasan besar Ki Hadjar Dewantara, baik secara tekstual maupun kontekstual.
Secara tekstual, diksi Sang Anak dapat ditemui pada Pasal ke-7 Asas Tamansiswa 1922. "… dengan tidak terikat lahir atau batin, serta dengan suci hati, berniatlah kita berdekatan dengan Sang Anak. Kita tidak meminta sesuatu hak, akan tetapi menyerahkan diri akan berhamba kepada Sang Anak."
Narasi yang tidak istimewa. Rumusannya lumrah sebagai landasan perjuangan sebuah organisasi sebesar Tamansiswa. Namun, apabila dirunut lebih jauh, inilah narasi sejarah besar yang diwarnai dengan kisah manusiawi yang menyentuh dan mengharukan.
Berawal dari konsekuensi perjuangan seorang patriot sejati. Tulisan dengan judul "Als ik een Nederlander was" mengantarkan Soewardi Soerjaningrat masuk penjara. Harus mengalami hukuman pembuangan ke negeri Belanda. Soewardi menjalani pembuangan dalam suasana bulan madu. Berangkat ke negeri Belanda sesaat setelah melakukan pernikahan.
Masa pembuangan yang tidak kurang dari 6 tahun dinamikanya luar biasa. Putri pertamanya, Niken Wandansari, dan putra keduanya, Subroto Hariyo Mataram, lahir di negeri kincir angin itu. Dari sini diksi kontekstual "Sang Anak" muncul.
Suatu ketika Niken Wandansari yang masih anak balita rewel. Karena dirasa mengganggu ayahandanya yang sedang menyelesaikan suatu pekerjaan, Niken kecil ditaruh di luar ruangan tempat tinggal. Saking asyiknya menyelesaikan pekerjaan, Soewardi lupa membawa Niken kecil masuk rumah. Cuaca negeri Belanda saat itu sedang musim dingin. Keruan saja anak balita itu didapati tak mampu menangis lagi dan kulitnya membiru karena kedinginan.
Setelah mendapat perawatan di Rumah Sakit, Niken Wandansari terselamatkan. Soewardi merasa sangat bersalah dan begitu sangat menyesalinya telah menyebabkan putrinya sangat menderita. Serta-merta terungkap ucapan dari lubuk hati terdalam, "dalam hidupnya akan berhamba kepada Sang Anak".
Serta-merta terungkap ucapan dari lubuk hati terdalam, 'dalam hidupnya akan berhamba kepada Sang Anak'.
Ucapan itulah yang kemudian abadi menjadi salah satu pasal dari Asas Tamansiswa 1922. Asas inilah yang merupakan salah satu sifat hakikat Tamansiswa yang tidak boleh berubah dan/atau diubah selama nama Tamansiswa tetap terpakai.
Dalam konteks pendidikan dalam arti luas, berhamba kepada Sang Anak menjadi ajaran ketamansiswaan. Bukan denotatifnya, melainkan inspirasi bagi setiap pendidik dituntut tulus ikhlas serta rela berkorban untuk kemaslahatan, keselamatan, dan kemuliaan anak.
Di tengah pandemi Covid-19, apa pun alasannya, kemaslahatan, keselamatan, dan kemuliaan anak merupakan prioritas utama. Melarang anak-anak pergi ke sekolah demi kesehatannya agar tidak tertular dan menularkan virus merupakan salah satu cara menjamin kemaslahatan anak. Tetapi, menjamin anak-anak tetap dapat belajar karena itu hak asasinya juga kemaslahatan yang lainnya. Menyediakan fasilitas memadai untuk terselenggaranya pembelajaran secara daring yang efektif merupakan bentuk berhamba "Sang Anak".
Berhamba "Sang Anak" dapat dilakukan dengan menaruh perhatian dan memberi fasilitas atas kesulitan anak-anak mengakses PJJ. Tidak sedikit anak-anak yang tidak memilikias telepon seluler atau peranti internet lainnya. Masih banyak anak-anak yang tinggal di wilayah tidak ada sinyal internet. Banyak sekali anak-anak yang orang tuanya tidak mampu membelikan kuota data interne, dan sebagainya. Inilah ladang berhamba "Sang Anak".
Dalam menyelenggarakan PJJ, guru hendaknya memperhatikan kesulitan yang dihadapi siswa dan orangtua siswa. Setidaknya guru mampu menerapkan prinsip-prinsip PJJ yang baik dan benar agar orangtua dapat memosikan diri sebagai pendamping PJJ yang tepat. Jika terpaksa harus terjadi penurunan kualitas pembelajaran yang pada gilirannya dapat menurunkan mutu pendidikan secara nasional, itulah konsekuensi logis yang harus ditanggung ketika kita lebih memilih "berhamba Sang Anak".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar