Ivan Nestorman dengan lagu "Mata Leso Ge" mendapat penghargaan Anugerah Musik Indonesia (AMI) 2020 untuk kategori Karya Produksi Lagu Berbahasa Daerah Terbaik, Kamis (26/11/2020). Dari 53 kategori, AMI memasukkan kategori lagu daerah sebagai karya yang mendapatkan penghargaan.
Upaya ini pantas diapresiasi dan memang seharusnya diberikan mengingat negeri ini memiliki sekitar 700 bahasa daerah. Ivan Nestorman adalah salah satu "pejuang" yang menggunakan bahasa daerah dalam lagu-lagunya. Ivan Nestorman (53), pria asal Ruteng, Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, ini menggunakan sejumlah bahasa daerah di NTT.
"Mata Leso Ge" artinya Matahariku ditulis Ivan dalam bahasa Manggarai. Seperti apakah bahasa Manggarai, kita kutipkan bait pertama dan refrain dari lagu "Mata Leso Ge" berikut ini.
Ivan Nestorman adalah salah satu 'pejuang' yang menggunakan bahasa daerah dalam lagu-lagunya.
"One hau de daku nai.../Moro mata ne.../Toe sendo pati sua/ Hanang latang me...." Terjemahan bebasnya, "Kuberikan kasih dengan segenap hatiku, dan ini aku katakan sejujurnya. Aku tidak akan pernah membagi cinta. Hanya untukmu seorang..."
Kemudian disambung refrain: "Ai hau de, mata leso ge.../ Ai hau de, wulang mongko ge.../ Ai hau de, ntala gewang ge.../ Hanang hau, lo'o capu gula ge...." Yang artinya, "Karena engkau adalah matahariku; Karena engkau purnamaku; Karena engkau bintang pagiku; Karena engkau embun pagiku...."
Jika disimak, isi lirik dan ungkapan dalam "Mata Leso Ge" itu bisa dikatakan sudah standar umum dalam khazanah lagu pop di mana pun. Bukankah Stevie Wonder juga bilangyou are the Sunshine of my life. Dan Tompi dalam lagu "Menghunjam Jantungku" juga mengatakan "Seluruh jiwa kupersembahkan untukmu...." Dengan kata lain, lagu Ivan Nestorman itu merujuk pada kaidah-kaidah lagu pop, hanya saja ia menggunakan bahasa daerah.
Jika menggunakan hitung-hitungan statistik jumlah pengguna, bahasa Manggarai memang hanya digunakan di lingkup terbatas. Bahasa Manggarai digunakan di tiga kabupaten di NTT, yaitu Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur.
Jumlah penduduk di tiga kabupaten tersebut kurang dari 1juta jiwa. Orang Maumere yang berada di satu Pulau Flores pun mungkin tidak memahami bahasa Manggarai.
Jika menulis lagu itu dimaksud hanya sekadar untuk dipahami makna verbalnya, Ivan bisa saja menggubah lagu dalam bahasa Indonesia. "Pasar"-nya jelas luas, yaitu lebih dari 200 juta pendengar.
Baca juga: Pahlawan, di Mana Lagumu Kini?
Akan tetapi, bagi Ivan, lagu bukan sekadar bahasa yang digunakan. Melodi, nuansa, atmosfer, atau suasana batin, cara bernyanyi, dan juga bunyi-bunyi yang terucap dari lirik mempunyai kekuatan untuk berkomunikasi dengan pendengar.
Pada era 1960-an, lagu-lagu Latin terkenal dan banyak digemari di negeri ini meskipun sebagian besar pendengar tidak mengerti artinya. Begitu pula pada era 1980-an, lagu-lagu Sergio Mendes seperti "Mas Que Nada" yang berbahasa Brasil juga populer di Indonesia. Ivan yakin setiap bahasa mempunyai kekuatan masing-masing.
"Bahasa daerah mempunyaisound yang musikal dan bunyinya enak. Melodi yang diniatkan ditulis dalam bahasa daerah akan menjadi berbeda jika ditulis dalam bahasa Indonesia. Bahasa menggiring kita ke rasa musik yang lebih eksotik. Eksotisme itu yang saya jaga," kata Ivan yang sekitar 30 tahun ini menulis dan menyanyikan lagu dalam bahasa daerah yang tumbuh di NTT.
Kekayaan budaya
Sebenarnya Ivan juga menulis lagu dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, dengan menulis lagu dalam bahasa daerah, ia merasa ada sesuatu yang diperjuangkan, yaitu keberadaan bahasa daerah. Sebanyak 700 bahasa daerah adalah kekayaan budaya yang luar biasa.
Di dalamnya terkandung bukan hanya bahasa, melainkan juga beragam budaya, etika, kearifan lokal, termasuk juga musik. Ivan mempunyai misi untuk merawat bahasa ibu sebagai bagian dari kekayaan budaya di Indonesia. Dengan menggunakan bahasa daerah, ia berharap orang mengenal kultur setiap pemilik bahasa daerah sebagai bagian dari Indonesia.
Kategori karya lagu berbahasa daerah dari Anugerah Musik Indonesia ini bisa membuka peluang bagi tumbuhnya lagu-lagu berbahasa daerah. Diharapkan, dengan populernya lagu berbahasa daerah, keberagaman Indonesia tertanamkan lewat budaya massa.
Baca juga: Oleh-oleh Rasa dari Indonesia
Pada era 1960-an lagu-lagu berbahasa daerah mendapat ruang papar yang luas di Radio Republik Indonesia. Lagu-lagu berbahasa Batak, Minang, Melayu, Banjar, Jawa, Sunda, Ambon, Makassar, dan Manado terdengar hampir setiap hari di radio.
Lagu dengan bahasa dan cengkok khas daerah itu dinikmati orang layaknya lagu pop. Tersebutlah lagu berbahasa Minang, "Ayam Den Lapeh" dan "Sansaro Badan", lagu Batak "Sigulempong", lantas "Goro-Gorone" dari Ambon, dan "Anging Mamiri" dari Makassar.
Kemudian, ada "Ampar-ampar Pisang" dengan bahasa Melayu Banjar dan lagu berbahasa Sunda, "Bubuy Bulan". Orang menikmati lagu-lagu tersebut meski tidak sepenuhnya memahami bahasanya.
Seperti disebut di atas, Ivan juga tidak memikirkan apakah orang akan menyukai lagunya jika mereka tidak memahami arti kata-kata di dalam lagu tersebut. Ivan percaya, bahasa dalam lagu mempunyai emosi dan energi yang akan sampai ke perasaan pendengar meski mereka tidak memahami makna harfiahnya.
"Rasa itu lebih penting daripada pengertian (verbal). Rasa akan menghadirkan nuansa. Seluruh atmosfer dalam lagu itu akan menuntun perasaan pendengar. Tuntunan musik itu akan mengantar kita akan suatu rasa," kata Ivan.
Bahasa Manggarai adalah bahasa ibu Ivan. Di lidah atau dalam pelafalan Ivan, bahasa Manggarai terasa enak. Bahasa Manggarai disebutnya memiliki sound imagery atau citra dengaran yang enak dan terdengar perkusif.
Baca juga: Menjelajah Tanah Air lewat Lagu
Hal itu dibenarkan oleh drumer Gilang Ramadhan yang pernah melibatkan Ivan dalam grup Nera pada 2005. Bagi Gilang, bahasa Manggarai terdengar ritmis dan musikal. Dalam Nera, Ivan berperan sebagai penulis lagu serta menyanyi dalam bahasa Manggarai.
Ivan dengan bahasa Manggarai-nya juga pernah diajak Erwin Gutawa dalam album Chrisye Akustik (1996). Pada album tersebut, di lagu "Zamrud Khatulistiwa", Ivan memasukkancual, semacam tuturan vokal tradisi Flores dalam lagu.
Lirik Manggarai dan vokal Ivan juga digunakan dalam albumLukisan (1996) dari grup jazz Simak Dialog. Ivan juga muncul di album Franky Sahilatua, Perahu Retak (1995), dalam lagu "Ewada".
Neotradisi
Dari penggarapan musik, lagu-lagu Ivan terdengar tidak beda dengan lagu pop. Akan tetapi, sebenarnya dia juga menyusupkan elemen-elemen etnis dalam lagu-lagunya. Dalam arti, ia menjadikan musik etnis sebagai inspirasi dan materi untuk bereksplorasi.
Ia memberi tafsiran-tafsiran baru, ekspresi baru terhadap motif-motif lokal. Ivan menyebutnya sebagai neotradisi. Dengan konsep neotradisi ini, lagu-lagu Ivan bisa diterima oleh publik yang tidak memahami bahasa dalam lagunya. Salah satunya adalah lagu "Mogi" yang ditulis dan dinyanyikan Ivan dalam bahasa daerah Nage Keo, ini sebuah wilayah kabupaten di Pulau Flores, NTT.
Nusa Tenggara Timur itu anak kandung Indonesia. Setiap bentuk ekspresinya mempertegas eksistensi keindonesiaan.
Ivan memang tidak hanya menulis lagu dalam bahasa Manggarai, tetapi juga bahasa daerah lain yang hidup di NTT. Dalam lagu "Flores Da Bila", ia menggunakan bahasa Ngada; lagu "Flores Sare Pawe" dalam bahasa Ende; "Levo Lamalera" dalam bahasa Lamalera; juga lagu "Dungga" dalam bahasa Sumba Barat Daya. Dari satu wilayah kultural NTT saja, begitu beragamnya bahasa daerah. Suatu kekayaan budaya yang oleh Ivan Nestorman disuarakan dalam lagu.
"Nusa Tenggara Timur itu anak kandung Indonesia. Setiap bentuk ekspresinya mempertegas eksistensi keindonesiaan. Musikku mungkin hanya ranting atau daun pohon yang kehadirannya memperindah pohon Indonesia...," kata Ivan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar