Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 16 Desember 2016

TAJUK RENCANA: Menanti Langkah Presiden (Kompas)

Terasa ironis dan miris ketika mendengar kabar KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap pejabat Badan Keamanan Laut.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Deputi Informasi, Hukum, dan Kerja Sama Bakamla Eko Susilo Hadi. Dia ditangkap bersama tiga orang lain. Eko Susilo Hadi, jaksa yang ditempatkan di Bakamla, ditangkap di kantornya bersama dengan penyuapnya. Saat ditangkap, KPK mendapatkan barang bukti sejumlah uang dalam mata uang asing. Keempat orang itu ditetapkan sebagai tersangka.

Penangkapan itu sungguh ironis. Masalah kelautan merupakan isu sentral yang menjadi perhatian Presiden Joko Widodo dengan retorika Poros Maritim dan tol laut. Isu kelautan, yang selama ini jarang menjadi perhatian, menarik perhatian publik ketika Kementerian Kelautan dan Perikanan sangat getol memerangi pencurian ikan dan menenggelamkan kapal pencuri ikan.

Organisasi Bakamla dibentuk Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014. Bakamla mempunyai tugas menegakkan hukum di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi, khususnya dalam melaksanakan patroli keamanan laut.

Kini, persepsi positif publik terhadap isu kelautan itu berubah ketika pejabat yang memiliki tugas menegakkan hukum di laut itu justru ditangkap KPK karena korupsi. Situasi ini sebenarnya menunjukkan bahwa jargon revolusi mental yang digemakan Presiden Jokowi belum mengubah apa-apa. Korupsi tetap saja terjadi. Bahkan, menurut data KPK per 31 Oktober 2016, tren korupsi belum menunjukkan penurunan. Bahkan, ada tren meningkat,

Jumlah penyelenggara negara yang ditangkap KPK sejak 2004 hingga 31 Oktober 2016 adalah 606 orang. Tahun 2016 saja, sudah 89 orang dari berbagai profesi terjerat kasus korupsi. Birokrasi belum banyak berubah! Korupsi di sektor laut seperti menyabot program Presiden Jokowi.

Kita dorong KPK membongkar dugaan korupsi di Bakamla terkait pengadaan satelit monitor, termasuk mengejar siapa pun yang melarikan diri. Dukungan politik Presiden Jokowi dibutuhkan. Langkah tidak biasa, misalnya dengan memecat langsung pejabat yang korupsi dan memerintahkan pembuktian terbalik, perlu ditunjukkan Presiden sebagai bentuk dukungan pimpinan nasional.

Adalah sebuah realitas bahwa perang melawan korupsi adalah perang yang belum berhasil kita menangi. Butuh upaya luar biasa dari seorang pemimpin untuk menghentikan praktik korupsi dengan menerapkan pembuktian terbalik, pemiskinan koruptor, dan jika perlu menerapkan sanksi sosial. Langkah luar biasa itu perlu didorong meski kewenangan itu tetap ada pada kekuasaan kehakiman.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Desember 2016, di halaman 6 dengan judul "Menanti Langkah Presiden".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger