Oleh Sarlito Wirawan Sarwono
Sejak awal era reformasi kita merasakan eskalasi konflik suku, agama, ras dan antar- golongan luar biasa.
Di Ambon, sesama etnik Ambon saling bunuh lantaran beda agama. Di Kalimantan Barat, sesama Muslim saling bunuh lantaran beda etnik. Di Sampang, Madura, minoritas Syiah dibantai oleh mayoritas Muslim lokal. Sebelumnya kelompok Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, dibantai.
Selanjutnya, antardesa dan antarpendukung calon pilkada saling lempar batu. Belum lagi yang antarkampus, intrakampus, antarsiswa SLTA (terakhir jatuh korban jiwa di SMAN 70 Jakarta), bom dan terorisme, serta unjuk rasa buruh.
Apa sebenarnya yang terjadi? Katanya kita bangsa yang ramah tamah, sopan santun, beragama. Kok bisa-bisanya jadi pengamuk yang luar biasa ganas?
Tadinya, kalau saya ditanya orang seperti itu, saya masih coba menerangkan dengan aneka teori tentang agresivitas, anomie (Emile Durkheim), dan seterusnya. Namun, lama-kelamaan saya bingung juga. Kalau saya saja bingung, apa kata dunia?
Walaupun begitu, marilah kita coba analisis konflik-konflik berdarah itu pelan-pelan. "Kipas-kipas mencari angin, badan panas kepala dingin", kata pepatah.
Ambil kasus konflik massa antara Desa Agom, Kecamatan Kalianda, dan beberapa desa sekitarnya versus Desa Balinuraga, Kecamatan Way Panji. Total 13 warga Balinuraga tewas. Penyebabnya, kata media adalah peristiwa kecil karena cewek-cewek Agom diganggu cowok-cowok Balinuraga sehingga terjatuh dari sepeda motor.
Peristiwa kecil, tetapi dampaknya 13 mati sia-sia, pastilah bukan kecil. Saya melihatnya sebagai konflik antarbudaya kronis, yang tidak pernah terselesaikan tuntas, karena di provinsi "Sang Bumi Ruwa Jurai" (satu bumi, dua penduduk) itu, tidak pernah terjadi proses akulturasi antara penduduk asli Lampung (Muslim) dan pendatang transmigran dari Bali (Hindu). Kedua etnik hidup dalam dunia budaya dan agama masing-masing yang sangat rentan konflik.
Ada sejak dulu
Dulu, pada era Soeharto, sejak 1970, potensi-potensi konflik horizontal seperti ini sudah ada. Namun, dengan langkah-langkah strategis pemerintah menjaganya. ABRI punya program Binter (Pembinaan Teritorial), di setiap desa ada Babinsa (Bintara Pembina Desa), dan di setiap tingkat pemerintahan ada Muspida (Musyawarah Pimpinan Daerah) yang terdiri dari Dandim/Pangdam, Kapolres/Kapolda, Bupati/ Wali Kota/Gubernur, Kepala Kejaksaan, Ketua Pengadilan, dan tokoh masyarakat lokal. Di tingkat pusat ada Kompkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) yang menjaga agar tidak ada konflik SARA. Pengikatnya adalah Pancasila.
Untuk mengikat bangsa ini dengan Pancasila dibuatlah BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), sebuah lembaga tinggi negara yang tugasnya menjaga ideologi Pancasila. BP7 bertugas merancang program-program penataran P4 (semua wajib ikut) dan mencetak instruktur-instruktur yang di tingkat nasional disebut Manggala. Suka atau tidak, kedua metode yang dilaksanakan bersamaan ini: metode koersif (Kompkamtib) dan persuasif (BP7), terbukti ampuh. Masyarakat hidup tenang, pembangunan maju pesat seakan terbang.
Namun, tahun 1998, ABRI (sekarang: TNI) disuruh masuk kandang dan BP7 dibubarkan dengan TAP MPR No XVIII/MPR/1998. Jadi, metode persuasi juga dilarang. Bahkan, asas tunggal Pancasila dihapuskan sama sekali. Semua orang boleh suka-suka menganut asas apa pun sehingga orang boleh saja saling bunuh demi agama, politik, atau kepentingan tertentu karena tidak ada lain yang benar, kecuali kebenaran diriku sendiri.
Padahal, di Pancasila ada asas Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, dan Persatuan Indonesia? Di kemanakan asas-asas itu? Di mana asas Musyawarah Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan dan Perwakilan serta Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia?
Dalam keadaan tidak ada pengikat bangsa yang multimajemuk ini, tidak terjadi Bhinneka Tunggal Ika.
Hidupkan BP7
Bisa "Tunggal Ika" karena Pancasila mengikat dan menyatukan segala kemajemukan itu. Maka, saya pikir sudah saatnya kita hidupkan lagi BP7. Tentunya metode-metode paksaan seperti indoktrinasi P4 tidak lagi dipakai. Sekarang fungsi BP7 adalah menyusun strategi guna mendayagunakan institusi dan pranata masyarakat (LSM, perkumpulan, agama, pemerintah, adat, swasta, dan lain-lain) untuk menegakkan Pancasila. BP7 juga bertugas untuk mengingatkan semua pihak jika ada praktik-praktik ataupun kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan Pancasila.
Saya percaya banyak orang sependapat. Ada beberapa nama yang sudah lebih dulu mencanangkan ide ini, antara lain Rektor Universitas Pertahanan Indonesia Syarifudin Tippe, Ketua Umum MPR Taufiq Kiemas, Prof Dr Jimly Asshiddiqie SH, Kepala Pusat Kerja Sama Antarlembaga Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-Banjary Banjarmasin, Syachrani Ambo Oga, Hakim Konstitusi Akil Muchtar, Prof Gunawan Sumodiningrat, Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada, dan pasti banyak lagi. Maka, marilah kita wujudkan untuk 2014.
Sarlito Wirawan Sarwono Psikolog Sosial
(Kompas cetak, 8 Nov 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar