Negeri yang celaka adalah negeri yang tidak mampu memilih pemimpin yang sejati. Ketidakmampuan itu disebabkan faktor paling mendasar: toleransi tinggi atas berbagai kompromi kekuasaan.
Orientasi profit politik dan ekonomi dianggap lebih penting daripada orientasi populis. Maka, terjadilah elitisasi dan borjuisasi kekuasaan di mana makelar-makelar politik berkeliaran.
Sejak demokrasi uang menghegemoni negeri ini, kekuasaan menjelma menjadi komoditas politik. Bahaya ini tetap saja mengintai, menyeringai, dan siap menerkam perhelatan Pemilu 2014. Para "predator" politik atau kekuasaan telah mengasah taring dan kuku. Mereka mulai menumpahkan modal ekonomi, politik, sosial, dan modal budayanya.
Momentum krusial
Kelimpahan materi, kekuatan pranata/infrastruktur partai, kemampuan menggalang massa, dan kelihaian menciptakan topeng-topeng yang mencitrakan negarawan mulai bergerak. Rakyat selalu jadi kata kunci dalam pidato atau iklan-iklan politik mereka. Seolah mereka siap menjadi pelayan rakyat. Padahal, siapa tahu, mereka justru ingin menjadi "pelayat" rakyat yang "mati" atau "dimatikan" secara konstitusional dan struktural.
Pemilu 2014 akhirnya menjadi momentum krusial dan genting, tetapi menentukan. Jika skenario "predator" itu yang terjadi, negeri ini pun akan tetap diringkus kegelapan. Habis gelap terbitlah gelap, begitu tulis para pelukis mural di tembok-tembok kota.
Tragedi negeri ini diawali keculasan kelompok kelas menengah politik yang tak berkapasitas atau tak bernyali untuk menjadi politisi kelas negarawan. Akhirnya mereka memilih posisi, peran, dan fungsi paling aman dan menguntungkan: makelar kekuasaan! Pilihan ini dianggap paling relevan dan cocok dengan gelombang pasang pasar bebas politik di mana segala ideologi ditendang ke gudang sejarah.
Para makelar kekuasaan hanya tunduk kepada para juragan yang sanggup membeli kekuasaan dengan harga tinggi. Untuk itu, makelar kekuasaan tega menjalankan visi dan misi politiknya: menelikung rakyat agar tak punya posisi dan daya tawar kuat. Mereka menggiring rakyat bak kawanan bebek menuju mesin elektoral untuk memberikan takhta bagi para pembeli kekuasaan yang berani menerima tawaran dengan harga tinggi.
Maka, berbondong-bondonglah para pembeli kekuasaan memasuki gerbong-gerbong kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dengan lokomotif profit oriented. Mereka memahami peran dan fungsinya lebih sebagai pekerja profesional dalam perusahaan, bukan para pejuang dalam lembaga negara. Lahirlah pemimpin-pemimpin porselen yang sibuk mengolah citra diri, rapuh, cengeng, dan tanpa kapabilitas dan nyali. Muncullah pemimpin batu, yang keras kepala dan tak tahu malu. Hadirlah pemimpin-pemimpin salon yang sibuk bersolek, nampang, dan takut pada lumpur penderitaan rakyat.
Tragedi itu dilengkapi dengan lemahnya integritas dan komitmen para pemimpin yang sangat gampang tergoda (atau mencari godaan) untuk korupsi. Maka, kepemimpinan nasional kita adalah kepemimpinan yang cacat. Cacat integritas. Cacat komitmen. Cacat kapabilitas.
Kepemimpinan yang serba cacat ini melahirkan keputusan dan tindakan yang cacat pula. Salah satu cacat besar adalah ketidakmampuan para pemimpin untuk menyejahterakan rakyat. Mereka pun kadang berdalih absurd, untuk apa menyejahterakan rakyat karena hakikat rakyat itu menderita. Mereka selalu punya alasan, "biarkan rakyat tetap miskin" agar negeri ini selalu punya proyek besar untuk mengatasi kemiskinan dan membutuhkan para pemimpin (proyek).
Rakyat tidak hanya mengalami ketidakadilan struktural, tetapi juga kemiskinan secara kultural. Kelompok elite selalu bermain kode-kode budaya secara retoris, seperti paradoks dan eufimisme, untuk menabiri hiprokrisi mereka terhadap kemiskinan rakyat. Seolah mereka berjuang mengatasi kemiskinan rakyat, tetapi sesungguhnya setiap detik mereka memiskinkan rakyat dengan tindakan dan sikap politik yang tidak berpihak kepada rakyat. Hal itu, antara lain, melalui korupsi materi dan korupsi nilai (pengingkaran atas konstitusi).
Hukum politisi korup
Saatnya rakyat menunjukkan kecerdasan, keberanian, dan hati nuraninya untuk menghukum politisi-politisi korup, badar-bandar politik rakus dan makelar-makelar berakal bulus, dengan tidak memilih mereka atau partai politik mereka dalam Pemilu 2014.
Namun, sikap mendasar itu harus diimbangi dengan munculnya parpol-parpol bersih dan berkomitmen serta tokoh-tokoh alternatif yang belum tercemar korupsi/keculasan politik. Dengan demikian, rakyat jadi punya pilihan.
Di tengah pemimpin kelas porselen, batu, dan salon, rakyat merindukan pemimpin sejati, yakni sosok-sosok yang memiliki kepemimpinan air sekaligus udara yang menghidupkan dan menumbuhkan. Kita yakin, kepemimpinan udara dan air itu dimiliki banyak tokoh: tua ataupun muda. Mereka selalu terobsesi membangun Indonesia yang bermartabat, setidaknya dalam tiga hal: berdaulat secara politik; berdikari secara ekonomi; dan berkepribadian dalam kebudayaan, seperti gagasan Bung Karno yang menantang itu.
INDRA TRANGGONO Pemerhati Kebudayaan; Tinggal di Yogyakarta
(Kompas cetak, 17 Nov 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar