Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 16 November 2012

Menagih Janji Presiden (ttg tunjangan fungsional peneliti)

Oleh Asvi Warman Adam

Pada peringatan Hari Teknologi Nasional di Bandung, 30 Agustus 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, peraturan presiden tentang kenaikan tunjangan fungsional peneliti sudah rampung.

"Mudah-mudahan minggu ini bisa saya teken," katanya. "Pada bulan September, para peneliti sudah mendapatkan kesejahtera- an yang lebih tinggi."

Pada September 2012, janji itu belum terwujud. Pada Oktober juga belum ada kenaikan pendapatan peneliti. Tanggal 1 November 2012, gaji dan tunjangan sudah ditransfer ke rekening peneliti di Bank Mandiri. Ternyata belum ada kenaikan. Apakah Presiden belum membubuhkan tanda tangannya atau masih perlu sekian bulan bagi birokrasi di bawahnya mencairkan dana?

Kenaikan tunjangan fungsional peneliti yang signifikan terja- di pada 1983 ketika BJ Habibie menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi. Habibie satu-satu menteri yang peduli dengan kesejahteraan peneliti dan memiliki kedekatan dengan Presiden Soeharto. Kebijakan itu bisa terwujud. Pada 1983 tunjangan fungsional ahli peneliti utama Rp 900.000, dua kali lebih besar dari tunjangan pejabat tinggi eselon satu. Namun, dalam tempo 27 tahun kemudian sampai hari ini tunjangan itu hanya naik Rp 500.000 menjadi Rp 1,4 juta per bulan.

Rencana peningkatan kesejahteraan ini sudah diwacanakan dalam dua periode kepresidenan SBY. Pada periode sebelumnya, pada peringatan Hari Teknologi Nasional, 10 Agustus 2008, kenaikan tunjangan peneliti itu telah disebut Presiden. Pada pidato di depan Sidang Paripurna DPR 15 Agustus 2008, SBY juga mengulanginya kembali.

Dewasa ini gaji dan tunjangan seorang profesor riset, golongan IVE, yang sudah berdinas 30 tahun, sekitar Rp 5,5 juta. Jika ter- dapat kenaikan, tunjangan itu akan naik Rp 1.850.000 bagi peneliti utama/profesor riset. Bagi peneliti madya dan peneliti muda tentu kenaikannya jauh lebih rendah. Tentu sangat tidak layak bila dibandingkan dengan peneliti di negara maju, bahkan dengan Malaysia sekalipun (peneliti bergaji sekitar Rp 40 juta per bulan). Namun, yang ironis adalah ketimpangan gaji dan tunjangan di antara berbagai lembaga pemerintahan di Indonesia. Seorang profesor di perguruan tinggi memperoleh penghasilan lebih dari Rp 10 juta.

Bila kriteria penggajian pegawai negeri di Indonesia berdasar- kan "bobot tugas, tanggung jawab, dan nilai aset yang dikelola", niscaya Kementerian Keuangan, termasuk Dirjen Perpajakan, yang menerima penghasilan terbesar. Apakah seorang peneliti yang menciptakan mobil listrik untuk menghemat energi (meski belum bisa dipasarkan besar-besaran) memiliki jasa yang rendah ketimbang seorang hakim yang memutuskan perkara di pengadilan?

Pentingnya penelitian

Rendah kepedulian terhadap penelitian, termasuk kebijakan penganggarannya yang kurang dari 1 persen APBN, tak lain ka- rena kurang pemahaman tentang pentingnya penelitian. Ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi pendorong kemajuan bangsa, ujar SBY, di Bandung, Agustus lalu. Namun, ucapan itu retorika belaka bila tidak didukung kebijakan dan realisasinya.

Masalah besar sekarang dalam persoalan energi tentu tak terjadi bila ada penelitian yang serius dan komprehensif tentang itu beserta langkah penyelesaian jangka pendek dan panjang. Ketika LIPI didirikan pada 1967, lokakarya internasional pertama diadakan mengenai ketahanan pangan. Tahun berikutnya dibahas sumber daya alam Indonesia yang diikuti dengan teknologi yang cocok menggarapnya. Sayang, penelitian yang dilakukan di Tanah Air umumnya bukan penelitian jangka panjang dan berkesinambungan.

Akar permasalahan ini pada hemat saya bisa ditelusuri pada UUD 1945 tentang pendidikan dan kebudayaan (Pasal 31 Ayat 5). Memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi tentu tidak cukup melalui pendidikan, tetapi juga harus dengan penelitian. Pendi- dikan dan penelitian adalah dua unsur yang bisa dibedakan, tetapi sebetulnya tidak bisa dipisahkan dan saling mendukung.

Jadi, seyogianya UUD 1945 Pasal 31 Ayat 4 diamendemen menjadi "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan dan penelitian sekurang-kurangnya dua puluh persen dari APBN serta APBD".

Yang tak kalah penting adalah pembuatan UU Penelitian. Berbeda dengan lembaga kecil seperti Ombudsman yang dibentuk dengan UU, LIPI dibentuk dengan keppres tahun 1967. Jadi, bisa saja LIPI dibubarkan seandainya presiden geram oleh hasil penelitian yang mengkritik tajam pemerintah.

Asvi Warman Adam Hampir 30 Tahun Bekerja di LIPI
(Kompas cetak, 16 Nov 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger