Pemerintah sedang mematangkan kurikulum baru dan berencana memberlakukannya mulai tahun ajaran 2013/2014. Kurikulum itu akan ramping dalam jumlah mata pelajaran.
Misalnya, untuk jenjang sekolah dasar, hanya ada mata pelajaran Agama, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, Seni Budaya, dan Jasmani/Kesehatan.
Dengan hanya enam mata pelajaran, menyusut dari 12 selama ini, pendidikan di SD diharapkan lebih fokus pada aspek-aspek kemampuan dasar dan tidak membebani murid. Secara umum kurikulum baru diharapkan membentuk manusia Indonesia yang berakhlak, berkarakter mulia, berbadan sehat, cerdas, berkepribadian Indonesia, dan menjunjung nilai-nilai demokrasi.
Terlalu dini
Saat ini masih terlalu dini menilai apakah kurikulum baru tersebut akan meningkatkan mutu pendidikan nasional dan melahirkan generasi Indonesia berkompeten seperti yang diharapkan. Meskipun demikian, ada prakondisi-prakondisi yang harus dipenuhi agar kurikulum baru dapat diterapkan sesuai dengan desain dan maksudnya. Prakondisi itu mencakup minimal tiga hal.
Pertama, guru-guru telah memiliki kesiapan memadai, baik dalam segi kualifikasi dan kompetensi maupun dalam hal kesamaan pemahaman paradigma pendidikan yang dijabarkan di dalam kurikulum. Faktanya sekarang, kualifikasi dan kompetensi guru masih amat beragam. Pemerintah dan masyarakat sedang berjuang menciptakan standardisasi kualifikasi formal guru lewat aneka program pendidikan, pelatihan, dan sertifikasi.
Namun, mengingat sekitar 2,6 juta guru yang ada di Indonesia saat ini adalah luaran dari model pendidikan guru pada periode yang berbeda, kompetensi mereka tidak akan serta-merta terstandarkan oleh kualifikasi formal.
Di samping itu, standardisasi melalui program sertifikasi telah menggeser hakikat kompetensi kepada suatu perkara teknis tetapi manusiawi, yakni tunjangan. Semua persoalan menyangkut guru dipastikan akan menghambat pemahaman dan implementasi konsep-dasar pendidikan yang diusung kurikulum baru dan, karena itu, sebaiknya dituntaskan sebelum kurikulum diberlakukan.
Kedua, kurikulum baru dapat diterapkan sesuai dengan desain dan tujuannya jika kita semua berhenti memaksa sekolah mengajarkan sesuatu di luar hakikat dan kapasitasnya! Selama ini banyak pihak berupaya menambahkan setiap hal pada kurikulum sekolah dan memaksa sekolah menjadi rujukan solusi atas aneka persoalan masyarakat, misalnya soal korupsi.
Muncul pandangan salah kaprah bahwa persoalan perilaku dan imoralitas, yang seharusnya menjadi ranah lunak dan tersembunyi pada kurikulum, harus diatasi dengan suatu mata pelajaran khusus yang merupakan wujud kurikulum keras dan eksplisit.
Implementasi kurikulum baru nanti harus tetap fokus pada desain, konsep, dan tujuan awalnya. Aspek-aspek pembentukan disposisi sikap tidak perlu dikeraskan dan dijadikan tujuan langsung pengajaran.
Biarkan aspek-aspek itu menjadi akibat-penyerta dari profil seseorang yang berpengetahuan dan terdidik. Seperti bunyi peribahasa non multa, sed multum, postur kurikulum yang ramping perlu dibarengi dengan kedalaman cakupan kompetensi dasar sesuai dengan usia perkembangan murid dan hakikat pendidikan sekolah.
Ketiga, kurikulum akan berhasil jika konsep "multimuatan" pada mata pelajaran tidak menghambat pembelajaran "ilmu sebagai ilmu". Salah satu argumentasi yang mendasari perampingan kurikulum adalah bahwa mata pelajaran tertentu dapat mencakup substansi mata pelajaran lain yang selama ini diberikan terpisah.
Misalnya, mata pelajaran Bahasa Indonesia dapat bermuatan hal-hal tentang Ilmu Alam sehingga Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dirasakan tidak perlu menjadi mata pelajaran tersendiri. Argumentasi tersebut dapat dipahami, tetapi sangat mengkhawatirkan karena membuka peluang sabotase dan monopoli substansi mata pelajaran yang justru membahayakan penyemaian nilai-nilai demokrasi.
Dilandasi keprihatinan
Kurikulum yang sedang dimatangkan pemerintah antara lain dilandasi keprihatinan atas hilangnya akhlak mulia, rendahnya moral dan etika berbangsa, menguatnya radikalisme, dan melemahnya toleransi. Dikhawatirkan, kurikulum akan dijejali oleh muatan-muatan tentang upaya membangun karakter semata.
Murid tidak akan pernah benar-benar belajar dan diajari bahasa Indonesia sebagai bahasa Indonesia, tetapi bahasa Indonesia pura-pura yang intinya pembentukan karakter. Seni budaya bukan sebagai seni budaya wujud identitas, tetapi alat membentuk karakter. Pendidikan jasmani/kesehatan dijejali muatan akhlak mulia sehingga bentuk baju saat pelajaran berenang atau bermain voli pun harus diatur.
Jadi, desain multimuatan dalam satu mata pelajaran berpotensi mengideoligisasi ilmu dan mengabaikan makna ilmu sebagai ilmu. Fenomena sabotase sudah teramati sejak pemberlakuan Kurikulum Tingkat Satuan Pengajaran (KTSP). Tidak mengherankan jika sejumlah survei menunjukkan menguatnya sikap intoleran di kalangan murid-murid sekolah belakangan ini.
Dengan KTSP dan desain kurikulum multimuatan yang akan diterapkan, potensi sabotase dan monopoli akan lebih terbuka sebab baik pendekatan maupun substansi pengajaran memungkinkan hal itu.
Di luar semua itu, pemberlakuan kurikulum baru nanti akan langsung melahirkan hiruk-pikuk baru persoalan teknis. Pertama, perampingan jumlah mata pelajaran akan menimbulkan masalah bagi guru-guru yang bidang studinya tidak ada di dalam kurikulum.
Di SD, misalnya, guru bidang studi IPA, IPS, dan Bahasa Inggris akan bagaikan di-PHK. Ini menambah kompleksitas persoalan yang sudah ada selama ini tentang pemenuhan persyaratan minimal jam mengajar per minggu sebagai syarat penerimaan tunjangan sertifikasi.
Kedua, para kepala sekolah akan bingung. Guru-guru yang bidang studinya tidak ada di dalam kurikulum harus mengajar mata pelajaran apa? Jika seorang guru IPA ditugaskan mengajar Bahasa Indonesia, apakah hal itu sesuai dengan ketentuan profesional yang mensyaratkan guru harus mengajar sesuai dengan latar belakang pendidikannya?
Ketiga, para penerbit akan mengalami kerugian besar akibat tidak dipakainya buku-buku berbagai mata pelajaran yang tidak ada lagi di dalam kurikulum. Bagaimana pula buku sesuai dengan kurikulum baru harus disusun?
Terakhir, dengan kurikulum baru berkonsep dan berparadigma baru, apakah mitos ujian nasional masih relevan dipertahankan?
Agus Suwignyo Pedagog cum Sejarawan Pendidikan, FIB UGM Yogyakarta
(Kompas cetak, 26 Nov 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar