Tahun 2004, para aktivis, tokoh masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan komponen bangsa lainnya menyerukan gerakan antipolitisi busuk. Gerakan ini bahkan sudah menyebar ke mana-mana.
Gerakan yang dimotori LSM dan tokoh-tokoh masyarakat ini bukan sekadar wacana. Mereka yang masuk kategori politisi busuk akan diumumkan segera dalam bentuk nama-nama. Dengan berbagai risikonya, gerakan moral seperti ini bagaikan cahaya lilin di kegelapan. Prinsipnya, ketidakpercayaan atas reformasi yang dijalankan secara kacau oleh semua politisi yang mengaku dirinya reformis, tetapi turut korupsi.
Sekarang, delapan tahun sesudah gerakan itu dicanangkan, kita masih menemukan banyak politisi tipikal di atas. Sebagian dari mereka bahkan terlibat dalam skandal korupsi skala besar. Tidaklah mengherankan bila masyarakat skeptis luar biasa. Politisi yang seharusnya menjadi teladan ternyata perilakunya merugikan dan memalukan.
Maka, perlu kiranya kita membangkitkan kembali gerakan antipolitisi busuk agar masyarakat sadar bahwa politisi harus ikut bertanggung jawab terhadap gagalnya bangsa ini membangun sistem pemerintahan bersih dan dipercaya rakyat.
Merusak sistem
Rusaknya sistem kebangsaan hampir secara menyeluruh ini bukan semata-mata kesalahan elite meski mereka menjadi pelaku utama. Namun, masyarakat juga andil karena lupa mengontrol perilaku busuk elite.
Politisi busuk telah gagal membangun sistem pemerintahan yang berpihak pada masyarakat miskin. Anggota Dewan umumnya bukan berusaha menyejahterakan masyarakat miskin, melainkan justru menjadi budak pemilik modal.
Secara teoretis, negara beserta perangkatnya terbentuk atas dasar kesepakatan-kesepakatan untuk memerintah dan diperintah: antara penguasa dan rakyatnya. Keduanya terlibat kontrak sosial berupa kesepakatan mengenai bagaimana negara ini dikelola, oleh siapa, dan bagaimana caranya. Ini dasar-dasar pembentukan negara demokratis sebagaimana disemangati Jean Jacques Rousseau, Montesquieu, dan John Locke.
Namun, secara nyata, teori kontrak sosial itu tidak pernah menguntungkan rakyat. Justru rakyat sebagai kelompok mayoritas menjadi obyek yang dikuasai penguasa yang berjumlah minoritas. Dalam negara demokrasi, rakyat secara teoretis adalah subyek, tetapi secara nyata menjadi obyek. Wakil rakyat justru menjadi simbol kejahatan politik.
Jika elite busuk tidak diberantas, baik yang menjadi wakil rakyat maupun pemimpin bangsa, percayalah bangsa ini akan segera masuk jurang kehancuran. Mereka akan mengelola bangsa dan negara demi keuntungan pribadi tanpa mengindahkan aspirasi masyarakat.
Penguasa asyik bekerja dalam gelimang kemewahan dan demi itu siap berjibaku dalam pelbagai konflik perebutan lahan jabatan basah. Nama "rakyat" memang dimunculkan dalam konteks pengambilan kebijakan, tetapi hanya sebagai pemanis.
Kegagalan mereka menjalankan amanat penderitaan rakyat seharusnya menjadi pelajaran bangsa kita. Karier politik mereka yang sekarang duduk di Dewan terhormat dan otoritas pemerintahan harus segera diakhiri. Caranya melalui perjuangan rakyat secara kolektif melawan korupsi. Kedaulatan harus dikembalikan kepada rakyat.
Para politikus meneken kontrak untuk menjalankan roda pemerintahan sebaik-baiknya. Karena terbukti gagal membawa bangsa ini ke arah kesejahteraan, mereka perlu segera kita akhiri kontraknya.
Cita-cita pendiri bangsa
Bangsa ini harus dikembalikan kepada cita-cita pendiri bangsa, yakni mewujudkan masyarakat cerdas dan sejahtera. Cita-cita ini bisa tercapai bila ada kemauan dari elite politik untuk melayani dan mengabdi masyarakat, bukan partai dan pemilik modal.
Pengertian politisi busuk bukan hanya untuk koruptor, pelanggar HAM, dan yang menjadi penjahat lingkungan, seksual, ataupun narkoba, melainkan harus diperluas kepada mereka yang selama ini gagal menciptakan sistem pemerintahan yang memekarkan nilai-nilai kemanusiaan. Mandat mereka harus dicabut dan kontraknya diakhiri.
Di sini pentingnya bagi kita untuk bersatu dan kritis membuat daftar mereka yang selama ini tercela, mulai dari daerah hingga pusat. Daftar hitam caleg bermasalah adalah simbol perlawanan terhadap mereka yang selama ini turut memperburuk kehidupan bangsa.
Pemilihan umum bisa menjadi momen untuk mengakhiri kontrak politik dengan mereka. Mari bersatu padu untuk tidak memilih mereka yang sudah terbukti hanya menjual retorika.
Benny Susetyo Pemerhati Masalah Sosial
(Kompas cetak, 11 Jan 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar