Ignorantia legis excusat neminem. Demikian salah satu postulat dalam ilmu hukum yang dapat diartikan bahwa ketidaktahuan akan undang-undang (hukum) bukan merupakan alasan pemaaf. Mengapa demikian? Postulat tersebut merupakan rangkaian dari postulat sebelumnya, nemo ius ignorare censetur atau iedereen wordt geacht de wet te kennen, yang berarti setiap orang dianggap tahu akan undang-undang (hukum).
Dalam beberapa literatur, postulat ini sering disebut sebagai fiksi hukum. Dirujuk kepada kedua postulat itu, pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada saat memperingati Hari Antikorupsi Sedunia dan Hari Hak Asasi Manusia di Istana Negara, Jakarta, Senin, 10 Desember 2012, menimbulkan kontroversi. Lebih kurang SBY menyatakan bahwa pejabat yang tidak begitu memahami korupsi kemudian terjerat kasus itu perlu "diselamatkan".
Penjelasan teoretis
Secara substansial pernyataan itu dalam konteks hukum pidana perlu dijelaskan secara teoretis. Ini terkait dengan asas geen straf zonder schuld atau tiada pidana tanpa kesalahan sebagai dasar dapat dipertanggungjawabkan pelaku. Elemen terpenting dalam pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan, yang salah satu unsurnya ialah adanya sikap batin antara pelaku dan perbuatan yang dilakukan. Sikap batin inilah yang kemudian melahirkan bentuk kesalahan dalam hukum pidana berupa kesengajaan atau kealpaan.
Dalam konteks Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kita miliki terdapat kurang lebih 30 perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi dengan bentuk kesalahan berupa kesengajaan, baik yang disebut secara tegas maupun tidak. Jika elemen kesengajaan disebutkan secara tegas, hal itu harus dibuktikan jaksa penuntut umum. Jika tidak disebutkan, elemen kesengajaan tersebut dianggap telah terbukti jika semua unsur perbuatan itu bisa dibuktikan. Syarat dari kesengajaan adalah mengetahui dan menghendaki karena, dengan demikian, dolus malus atau niat jahat dari pelaku dapat dibuktikan.
Akan tetapi, membuktikan adanya dolus malus tidaklah mudah, terlebih jika perbuatan tersebut dalam artian negatif atau tidak melakukan suatu perbuatan yang seharusnya dilakukan alias pembiaran. Oleh karena itu, WPJ Pompe dalam Handboek Van Het Nederlandse Strafrecht menyatakan bahwa untuk membuktikan adanya dolus malus dalam suatu perbuatan, dapat digunakan teori kesengajaan yang diobyektifkan berdasarkan kesesuaian fakta-fakta dengan bukti yang valid.
Tidak selamanya pula perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dapat dijatuhi pidana jika terdapat kesesatan di dalamnya. Ada dua kesesatan yang tidak dapat dijatuhi pidana, yakni feitelijke dwaling atau kesesatan fakta dan rechtsdwaling atau kesesatan hukum.
Kesesatan fakta berarti suatu kekeliruan yang dilakukan dengan tidak sengaja yang tertuju pada salah satu unsur perbuatan pidana. Sementara kesesatan hukum berarti melakukan suatu perbuatan dengan perkiraan hal itu tidak dilarang oleh undang-undang.
Rechtsdwaling ini masih dibagi lagi menjadi kekeliruan yang dapat dimengerti dan kekeliruan yang tidak dapat dimengerti. Jika dapat dibuktikan, kesesatan fakta dan kesesatan hukum akan memperlihatkan tidak adanya dolus malus pelaku dalam melakukan suatu perbuatan. Artinya, dia tidak mengetahui dan menghendaki hakikat perbuatan yang dilakukannya.
Persoalan lebih lanjut dalam hukum pidana, apa parameternya untuk membuktikan bahwa seseorang tidak mengetahui hakikat perbuatan yang dilakukannya? Paling tidak ada dua ukuran untuk menentukannya. Pertama, kedudukan, jabatan, dan tingkat pengetahuan orang tersebut. Kedua, kesesuaian antara fakta yang ada dan berdasarkan kesengajaan yang diobyektifkan. Orang tersebut dianggap tahu hakikat perbuatan yang dilakukannya.
Catatan untuk SBY
Kembali kepada substansi pidato SBY. Ada beberapa catatan.
Pertama, SBY hendak menyatakan bahwa seorang pejabat yang tidak memahami apa itu korupsi dan kemudian terjerat tindak pidana tersebut dapat dimasukkan ke dalam kesesatan hukum sehingga tidak dapat dipidanakan.
Kedua, jika pernyataan tersebut ditujukan kepada pejabat setingkat menteri, hal ini bertentangan dengan persyaratan menteri yang digariskan SBY sendiri. Bukankah ketika membentuk kabinet, persyaratan yang digariskan adalah memiliki integritas, kapabilitas, dan kapasitas intelektual yang memadai? Artinya, jika memiliki kapasitas intelektual yang memadai, seorang pejabat mestinya memahami mana tindakan yang koruptif dan mana yang bukan.
Ketiga, jika merujuk pada parameter ketidaktahuan sebagaimana diuraikan di atas, sulit bagi kita menyatakan bahwa pejabat setingkat menteri tidak mengetahui bahwa hakikat perbuatannya (apakah melakukan sesuatu ataukah tidak melakukan sesuatu) adalah tindakan koruptif. Namun, semua itu harus ada kesesuaian antara fakta sehingga berdasarkan kesengajaan yang diobyektifkan, menteri tersebut dianggap tahu.
Keempat, banyak yurisprudensi Mahkamah Agung yang menunjukkan ketidaktahuan seseorang kemudian terbantahkan berdasarkan kesengajaan yang diobyektifkan sehingga orang tersebut dianggap tahu dan dianggap ikut serta dalam melakukan tindak pidana. Terlebih, yurisprudensi Mahkamah Agung menganut teori penyertaan ekstensif.
Di sini, twee of meer verenigde personen (dua atau lebih orang bersekutu) tidak perlu mempunyai sifat dan karakter yang sama. Demikian pula motivasi dan kehendak yang sama dalam mewujudkan suatu tindak pidana. Lihat Putusan Mahkamah Agung dalam Forum Privilegiatum 23 Desember 1955 Nomor 1/1955/MA Pid. Menteri Kehakiman saat itu Djodi Gondokusumo yang memberikan izin tinggal kepada seorang warga negara asing yang telah dipersona- non-gratakan dianggap mengetahui penyuapan antara warga negara asing tersebut dan dua orang anak buah Djodi.
Eddy OS Hiariej Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
(Kompas cetak, 18 Jan 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar