Tahun 2013 bukan sekadar Tahun Ular dalam perhitungan kalender Tiongkok klasik, melainkan juga tahun pemanasan menuju Pilpres 2014.
Politik yang di arena praksis mengalami peyorasi makna sebagai cara untuk meraih kekuasaan, dalam pemikiran Aristoteles sejatinya memiliki makna yang mulia. Sebab, ia berkaitan dengan hal-hal kenegaraan. Menurutnya, kemunculan sebuah negara tak terlepas dari watak politik manusia: zoon politicon, makhluk yang berpolitik.
Tak jarang dikenal ungkapan, manusia adalah hewan yang berpikir (human is an animal rational). Berdasarkan tabiat itu, maka kepada negaralah manusia mempraktikkan watak politik tersebut.
Berbagai nama kandidat calon presiden yang diembuskan di ruang publik di awal tahun telah memetakan arena pertarungan politik dalam pilpres mendatang. Bukan tak mungkin segera diikuti berbagai praktik transaksi politik, afirmasi politik, hingga kampanye hitam dalam dimensi banalitas politik.
Kontestasi politik di era modern berakar pada kedigdayaan kultur Barat, yang tak jarang menafikan kultur lokal yang di dalamnya terkandung berbagai akar nilai budaya luhur. Seluruh kontestasi berujung pada hitungan angka pemilih yang amat sering berangkat dari pencitraan.
Tak heran ruang publik sarat muatan berbagai pencitraan politik kaum elite yang memberangus suara kritis publik. Rekam jejak para aktor dipoles dalam tampilan baru sebagai tokoh yang populis, bersih, dicintai rakyat, dan piawai dalam bernegara. Akibatnya, berbagai kontestasi sering kali diwarnai praktik kampanye hitam yang berakar dari naluri buas manusia di era homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya).
Politik di era postmodern sejatinya meletakkan dasar eksistensinya di atas kedigdayaan kultur lokal serta segala sesuatu yang berasal dari wilayah sendiri. Politik postmodern mempromosikan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Maka, politik di era postmodern telah menjadi rahim bagi lahirnya para pemimpin yang menempatkan kesejahteraan rakyatnya sebagai pilar kekuasaan politiknya.
Blusukan ke kampung-kampung kumuh, berdialog secara bebas dan egaliter dengan rakyatnya, serta sikap empati seakan-akan menandai berakhirnya politik modern yang sarat pencitraan dan kontestasi. Politik di era postmodern memungkinkan diskursus mengenai pluralitas, yang kaya dan miskin bisa berdampingan dalam ruang publik yang sama. Tak saling mengganggu, malah memungkinkan terjadinya sinergi.
Politik postmodernitas telah mendekonstruksi politik quidditas (esensi) yang menekankan bahwa kesejatian dilahirkan oleh representasi, bukan sekadar esensi. Kesejatian dalam postmodernitas dimaknai sebagai kehadiran atau representasi. Maka, rakyat sangat paham: negara ini memang sarat masalah, banjir tak mudah diatasi karena faktor geospasial yang buruk, misalnya.
Namun, kehadiran sang pemimpin di kala rakyat kesusahan tak hanya memastikan negara masih ada, tetapi juga empati sang pemimpin, yang bersama rakyatnya hendak mencari solusi atas masalah, telah mengalahkan pendewaan rasionalitas manusia yang mengembalikan pemahaman bahwa manusia adalah makhluk kultural.
Dengan demikian, rasionalitas harus dibangun di atas nilai-nilai kultural yang beraneka ragam. Manusia bukan sekadar sederet konstituen yang berakhir nasibnya dalam kotak suara.
W RIAWAN TJANDRA Pengamat Filsafat Hukum, Pengajar FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
(Kompas cetak, 16 Jan. 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar