Arie Sujito
Rasa aman jadi barang mahal. Sampai-sampai masyarakat harus mempersenjatai diri dengan senjata api, badik, atau parang. Masyarakat hidup dalam kecemasan saat kekerasan kian memprihatinkan.
Dalam dua bulan terakhir, peristiwa kekerasan dan kekejian tindak kriminal terus terjadi, bahkan membabi-buta. Aksi brutal tidak hanya merampok dengan senjata, tetapi juga dalam bentuk kekerasan seksual, mutilasi, dan membakar korban (Kompas, 11/3/2013).
Rangkaian kejadian itu menjadi bentuk teror sosial dengan dampak ketakutan masyarakat. Jika negara—dalam hal ini pemerintah dan aparat keamanan—tidak menjamin segera mengatasi kasus-kasus tersebut dan gagal meyakinkan masyarakat bahwa negara aman, rasa frustrasi dan ketakutan akan meluas.
Kerentanan sosial
Melihat gejalanya sejauh ini, paling tidak ada beberapa hal yang bisa menjelaskan. Pertama, ada kecenderungan korban dan pelaku tindakan brutal adalah keluarga miskin. Makin susahnya kehidupan karena keterbatasan akses ekonomi dalam pemenuhan kebutuhan hidup dan kesenjangan sosial berdampak pada kerentanan jiwa mereka karena beban yang begitu berat. Sementara jaminan sosial yang semestinya dipenuhi oleh pihak yang berwenang sulit didapatkan.
Tumpukan masalah sosial ekonomi pada masyarakat dengan cepat mengalami eskalasi menjadi kekerasan. Masyarakat, terutama kaum miskin, yang senantiasa terkena dampaknya karena mereka begitu rentan.
Kedua, begitu banyak fakta mengenai proses penegakan hukum yang tidak memenuhi rasa keadilan. Kasus perselisihan dan sengketa antarpihak yang dibawa ke ranah hukum rata-rata cacat secara etik karena sekadar memenuhi prosedur formal sehingga mengabaikan pemenuhan nilai keadilan.
Wajar jika hal tersebut berdampak pada makin meluasnya pragmatisme dalam penyelesaian masalah. Ujungnya mencari jalan pintas jika ada kesulitan karena hukum dianggap tidak menjawab problem yang dihadapinya.
Ketiga, institusi negara dengan segala perangkat di dalamnya mengalami krisis kepercayaan. Tanggung jawab negara kepada warganya, seperti pemenuhan rasa aman, layanan publik dasar, serta kebutuhan kelayakan hidup makin minim diperbincangkan sebagai bagian dari kepentingan publik. Para pemegang kekuasaan, baik di eksekutif maupun legislatif, terlalu sibuk dengan diri sendiri: dari mencari kekuasaan sampai memperkaya diri sehingga akhirnya tidak memedulikan nasib masyarakat.
Delegitimasi negara
Aksi brutal sebagai puncak gunung es beban sosial ekonomi kurang mendapatkan respons. Selama ini negara cenderung "kaget" jika muncul kasus-kasus yang menghebohkan, padahal semestinya bisa diantisipasi. Kejadian itu terus berlangsung dan secara perlahan mengekspresikan bentuk delegitimasi negara.
Dalam hal penanganan yang dilakukan pemerintah atas aksi brutal ini, pola penyelesaian cenderung menggunakan pendekatan darurat dan kasuistik. Aparat negara selalu mengoperasikan hukum dan pola represi di mana pelakunya ditangkap dan diadili. Setelah itu seolah sudah selesai.
Dalam jangka pendek memang reda, tetapi bukan berarti masalah telah terselesaikan. Faktanya, tiba-tiba kasus yang sama kembali muncul, bahkan dengan pola yang hampir mirip.
Oleh karena itu, pendekatan darurat atas aksi brutal tentu saja tidak cukup. Penanganan cara instan seperti itu perlu dilanjutkan dan dilengkapi dengan pendekatan kebijakan sosial. Tujuannya untuk memastikan masyarakat sejahtera dan tidak ada kesenjangan sosial. Perspektif ini mengharuskan negara bertanggung jawab mengatasi kemiskinan dan kesenjangan sosial sebagai masalah krusial bangsa ini.
Di sisi lain, pembenahan pada sistem penegakan hukum harus konsisten dilakukan. Penanganan masalah membutuhkan kepastian, bukan semata urusan prosedur, melainkan mencerminkan prinsip keadilan. Aparat hukum harus tegas menindak pelaku kekerasan tanpa tergoda urusan pragmatis sesaat.
Pulihkan kepercayaan
Komitmen dan konsistensi aparat hukum dipertaruhkan. Itu salah satu cara yang bisa secara bertahap memulihkan kepercayaan masyarakat pada lembaga negara sebagai pelindung warganya. Sekaligus membuktikan bahwa hukum menjadi solusi, bukan sumber masalah.
Jika pendekatan itu dapat dilakukan, tantangan berikutnya adalah mendorong transformasi menuju masyarakat yang beradab. Ekspresi kekerasan dan tindakan brutal adalah indikator ketidakberadaban.
Jika demokrasi berjalan baik, diisi kebijakan sosial serta dipilari penegakan hukum yang berkeadilan, maka praktik sosial yang manusiawi, dialogis, dan dengan nilai-nilai moralitas sosial akan mengikis tindakan aksi brutal. Inilah cerminan masyarakat madani yang kita cita-citakan.
Arie Sujito Sosiolog Universitas Gadjah Mada
(Kompas cetak, 20 maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar