Yonky Karman
Ia selalu mencari-cari kesulitan dan tidak dapat keluar daripadanya. Kira-kira itu yang dinamakan: tragis. Pramoedya Ananta Toer, "Bumi Manusia", 165
Lebih mudah mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia daripada memastikan perjalanannya selamat mencapai cita-cita besar Republik.
Liku-liku kesulitan perjalanan Republik sebagian karena kapasitas pemimpin yang ternyata lebih kecil daripada persoalan yang harus ia selesaikan. Karakter korup- tif bangsa belum berubah. Struktur pere- konomian ekstraktif seperti di era koloni- al. Hanya bedanya: sekarang yang dikede- pankan bukan kekuatan senjata, melain- kan teknologi dan modal. Perjalanan Republik minus terobosan besar yang membawa bangsa bebas dari labirin persoalan.
Saat jadi koresponden AFP di Jakarta sekitar empat tahun, Brian May menulis panjang lebar tentang Indonesia yang memiliki segala syarat negara maju (The Indo- nesian Tragedy, 1978). Kaya sumber daya alam. Kaya keanekaragaman flora dan fau- na. Iklim bersahabat sepanjang tahun. Jumlah penduduk besar sebagai pasar po- tensial. Kebiasaan hidup bergotong royong modal sosial yang besar. Namun, May me- mandang Indonesia sulit jadi bangsa maju dan masalahnya pada hambatan kultural. Lawrence E Harrison dan Samuel P Huntington 20 tahun kemudian mengangkat soal bagaimana nilai kultural menentukan kemajuan bangsa (Culture Matters: How Values Shape Human Progress, 2000).
Meski hidup di era modern, Indonesia belum modern dalam laku dan pikir kare- na mentalitas prakapitalisnya. Modern tak berarti kebarat-baratan, tetapi rasional mengikuti prinsip modernitas. Selain Jepang, contoh terbaru di Asia adalah Korea Selatan: berhasil mengatasi hambatan mentalitas prakapitalis tanpa kebarat-baratan.
Orientasi non-ekonomis
Ekonomis dalam bahasa sederhana berarti jelas hitungan antara pemasukan dan pengeluaran, jelas inventarisasi milik, jeli melihat peluang bisnis yang ada, mengantisipasi prospek bisnis, menyingkirkan inefisiensi secara sistematis, dan mampu berhemat. Menurut May, masyarakat Indonesia lebih berorientasi sosial daripada ekonomis. Agama dan gengsi membuat hitungan ekonomis jadi tak relevan.
Bantuan ekonomi Barat untuk negara berkembang adalah mitos selama bebera- pa dekade periode pembangunan Indonesia. Indonesia menggantungkan diri pada utang dari Barat dalam format bantuan ekonomi, padahal besar bantuan itu tidak melebihi subsidi ekspor negara maju ke Indonesia. Produk ekspor Indonesia pun tak bisa menembus negara Barat. Pereko- nomian nasional tidak terangkat jadi mandiri. Ekspor bahan mentah tanpa upaya memperbesar nilai tambahnya, ironisnya kemudian kembali dalam bentuk impor dengan harga berkali lipat.
Berbagai syarat ketat dibebankan kepada Indonesia oleh negara pemberi utang. Kompensasi dinikmati negara donor dalam bentuk kemudahan usaha. Tenaga ahli dan bahan baku dari negara donor harus dipakai dalam pembangunan meski tidak ekonomis. Kemandirian ekonomi tak terbangun karena pemerintah abai memba- ngun kapasitas bisnis dan produksi bangsa. Singapura yang tak punya apa-apa ber- modalkan tertib administrasi kemudian menjadi bangsa kaya dan dipercaya dalam bisnis internasional.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia malah membangun kekuatan tentara di darat berlebihan. Kekuatan yang berlebih- an itu disalurkan dalam format dwifungsi ABRI, yang dalam praktiknya jadi bentuk lain militerisme. Pemisahan kekuatan tentara dan polisi malah menyisakan rivalitas di lapangan antara keduanya. Ketika keamanan menjadi masalah siapa bisa bayar berapa, berlakulah pendekatan teritorial- militeristik seperti di Papua.
Pembangunan maritim diabaikan. Indonesia tidak belajar dari Hindia Belanda yang tak punya angkatan laut. Kapal pe- rang yang lalu-lalang di Hindia adalah mi- lik Kerajaan Belanda. Lalu Hindia Belanda dikalahkan AL Inggris pada 1811, kemudi- an ditaklukkan AL Jepang dalam Perang Dunia II. Indonesia tak berjaya di laut. Kapal asing mencuri dan menguras kekayaan laut di perairan Indonesia.
Malthus meramalkan kecenderungan pertambahan populasi manusia menurut deret ukur dengan pertambahan suplai makanan hanya menurut deret hitung. Ke- benaran teori itu serius bagi Indonesia yang sebagian besar rakyatnya miskin dan negara bermasalah dengan ketahanan pangan. Berkali-kali negara kalah oleh ulah spekulan atau importir pangan dan rakyat kecil harus bayar mahal untuk makanan.
Orientasi irasional
Kemajuan Indonesia di era modern tak ditentukan dari apakah rakyatnya sudah bersentuhan dengan hasil teknologi modern. Banyak orang Indonesia menimba ilmu modern yang berkembang di Barat atau malah pergi ke sana. Ketika kembali ke Indonesia, mereka menghadapi realitas kultur kerja tak modern. Korupsi adalah sebuah praktik irasional yang bertentangan dengan prinsip birokrasi modern.
Banyak petahana terpilih kembali dengan perolehan suara di bawah 50 persen, bahkan bersaing ketat dengan saingannya. Mereka terpilih kembali sebab banyak dari masyarakat pemilih kurang berorientasi ekonomis. Masyarakat tak marah melihat kinerja rendah jajaran birokrasi yang pernah dipimpin petahana. Keberagamaan masyarakat begitu lembek sehingga tidak berdaya memerangi korupsi.
Di era otonomi daerah, persyaratan ter- kait keagamaan melekat dalam seleksi pe- gawai negeri, padahal Indonesia bukan re- publik agama. Keberagamaan formal meningkat, tetapi semakin berani juga orang korupsi. Publik ditipu. Bantuan sosial dire- kayasa. Keberagamaan di ruang publik tak berakar pada kesederhanaan dan kejujur- an yang bersumber pada ajaran agama.
Pejabat dan politikus kita pandai memanfaatkan agama sebab masyarakat kita mudah ditaklukkan pesona agama. Masyarakat kita menutup mata tentang bagaimana orang bisa menjadi kaya apabila yang bersangkutan menyumbang untuk proyek keagamaan. Agama kemudian dipakai sebagai tameng menutupi mismanajemen dan inkompetensi. Akhlak individual bukan solusi penyakit sosial. Tiada korelasi langsung antara keberagamaan individual dan penyakit sosial.
Indonesia butuh pemimpin yang tak ra- jin mengimbau, tetapi mampu mengimplementasikan moralitas publik dalam kepemimpinannya. Dengan tindakan dan teladan, ia menghidupi moralitas publik membawa keluar Republik dari labirin persoalan.
Yonky Karman Pengajar di STT Jakarta
(Kompas cetak, 21 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar