Oleh Mirza Adityaswara
Pasar keuangan sedang bergairah. Per 6 Maret, dibandingkan awal tahun, indeks bursa saham Indonesia mencetak rekor, meningkat 12 persen ke 4.825.
Demikian pula halnya di pasar dunia. Indeks bursa saham New York meningkat 9 persen ke 14.296. Ini artinya telah menembus tingkat tertinggi yang pernah dicapai tahun 2007.
Indeks bursa saham Nikkei Jepang juga naik 15 persen sejak awal tahun ke 11.932. Indeks bursa saham Financial Times London membukukan keuntungan 9 persen ke 6.428 pada periode yang sama.
Apakah ekonomi dunia memang sedemikian cemerlang sehingga investor pasar modal juga menjadi sedemikian optimistis?
Perlu diketahui, harga di pasar modal bergerak karena ada ekspektasi. Pergerakan harga di pasar modal cenderung overshoot (berlebihan), yaitu saat kondisi positif akan optimistis berlebihan dan saat kondisi negatif akan pesimistis berlebihan.
Apakah indeks bursa saham sudah melebihi nilai fundamental ekonomi dan melebihi kinerja fundamental korporasi Indonesia? Sulit menjawabnya.
Masih wajar
Valuasi saham saat ini dengan metode price to earning ratio (PER) adalah 15 kali. Nilai ini bukan lagi murah, melainkan juga belum sangat mahal. Berhubung momentum laju pertumbuhan ekonomi dan kinerja laba korporasi Indonesia masih menunjukkan angka pertumbuhan lebih tinggi daripada tahun lalu, kenaikan harga saham saat ini tampaknya masih wajar.
Realisasi pertumbuhan ekonomi serta laba korporasi Indonesia pada kuartal IV tahun 2012 serta ekspektasi kinerja pada semester I-2013 masih menunjukkan tren yang mendukung optimisme tersebut. Data ekonomi dunia juga menunjang ekspansi ekonomi di Amerika, Jepang, dan stabilisasi di Eropa.
Di Amerika, jumlah orang yang mendapatkan pekerjaan pada Februari meningkat menjadi 238.000. Padahal, dalam enam bulan terakhir, penambahan tenaga kerja hanya 187.000 per bulan. Angka pengangguran di Amerika terus membaik menjadi 7,7 persen.
Meskipun demikian, kondisi ini masih jauh dibanding kondisi ekonomi Amerika saat booming tahun 2005, dengan angka pengangguran hanya 5,3 persen. Optimisme ini membuat para ekonom memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi Amerika tahun ini bisa mencapai 3 persen: jauh lebih tinggi daripada prediksi IMF yang hanya 2 persen.
Data ekonomi Jepang juga menunjukkan penguatan. Pertumbuhan ekonomi Jepang kuartal IV-2012 tumbuh 0,2 persen, padahal sebelumnya diprediksi minus 0,4 persen. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi Jepang secara keseluruhan pada 2012 adalah 2,0 persen dan diprediksi tumbuh 2,5 persen tahun 2013. Ini suatu tingkat yang baik untuk ekonomi yang selama dua dekade dilanda resesi.
Pasar keuangan bergairah dengan arah kebijakan Perdana Menteri Jepang yang baru, Shinzo Abe, yang menginginkan kebijakan moneter longgar serta mata uang yen lemah untuk menunjang ekspor Jepang.
Di Eropa tampaknya situasi ekonomi mulai stabil, tetapi masih jauh dari memuaskan. Kepercayaan di Eropa masih bergantung pada injeksi likuiditas bank sentral. Jerman, dengan kondisi ekonomi terbesar di Eropa setelah pertumbuhan negatif 0,6 persen kuartal terakhir tahun 2012, diperkirakan akan mulai pulih dengan tumbuh surplus 0.4 persen pada kuartal pertama tahun ini dan tumbuh 0,9 persen pada keseluruhan tahun 2013.
Adapun Perancis, sebagai ekonomi kedua terbesar di Eropa, diperkirakan mencetak pertumbuhan surplus, tetapi hanya 0,1 persen di kuartal I tahun ini setelah mengalami kontraksi pada kuartal IV tahun lalu.
Masih berat
Negara dengan krisis ekonomi seperti Yunani masih mengalami periode sangat berat, yaitu pertumbuhan ekonomi negatif 6,4 persen tahun 2012. Ini pun setelah kontraksi ekonomi 7,1 persen tahun 2011. Bahkan, pada tahun 2013, ekonomi Yunani diperkirakan akan mengalami pertumbuhan minus 4,5 persen.
Walaupun ekonomi di Yunani, Portugal, dan Spanyol masih sulit, investor melihat kondisi tidak akan lebih buruk lagi sehingga beberapa investor sudah berani berinvestasi di pasar keuangan. Itu terbukti dengan membaiknya imbal hasil (yield) surat utang jangka 10 tahun Yunani, dari 30 persen pada April 2012 menjadi 11 persen pada Maret 2013. Pembaikan signifikan juga terjadi pada yield obligasi Pemerintah Portugal dan Spanyol.
Negara kita pernah mengalami periode sulit seperti Yunani, yaitu saat krisis ekonomi 1998-1999. Terpuruknya ekonomi Eropa disebabkan oleh pengelolaan ekonomi buruk, yaitu banyak utang, defisit anggaran, dan perbankan yang terlalu agresif. Kita jangan bermain-main dengan pengelolaan stabilitas ekonomi makro karena jika suatu negara tidak dipercaya oleh pasar keuangan, harga yang harus dibayar sangat mahal.
Yunani perlu waktu sekitar 10 tahun agar ekonominya dapat kembali pada kondisi sebelum 2008. Hal yang sama dialami Indonesia setelah krisis ekonomi tahun 1998. Jadi, kita tetap harus waspada.
Kondisi Indonesia
Saat ini ekonomi Indonesia melaju cukup kencang (6,2 persen) meski di semester II tahun lalu terjadi perlambatan kinerja sektor komoditas tambang dan perkebunan. Harga ekspor komoditas tambang dan perkebunan tahun lalu menurun, yang kemudian berakibat pada penurunan penerimaan pajak nonmigas tahun 2012.
Namun, seiring pemulihan ekonomi China, diharapkan permintaan terhadap komoditas tambang dan energi akan meningkat meski sulit kembali cemerlang seperti 2005-2007. Saat itu ekonomi China tumbuh di atas 10 persen per tahun.
Di tengah situasi ekonomi negara maju yang belum optimal dan pemimpin China generasi baru yang tidak ingin menciptakan gelembung ekonomi (bubble), maka ekonomi China diperkirakan cukup nyaman dengan pertumbuhan 8,5-9,5 persen lima tahun ke depan.
Karena sektor komoditas tambang dan perkebunan mengalami moderasi, agar neraca perdagangan tetap surplus, Indonesia harus mendiversifikasi produk ekspor dan menekan impor yang tidak perlu. Impor barang modal diperlukan, impor bahan mentah dan bahan penolong juga masih diperlukan karena kita tidak mampu memproduksi dengan cukup di dalam negeri.
Namun, masalah serius adalah impor minyak. Meningkatnya konsumsi BBM di dalam negeri akibat terlalu murahnya harga BBM bersubsidi telah membuat neraca perdagangan dan neraca barang serta jasa mengalami defisit sehingga menyedot cadangan devisa. Kenaikan signifikan di subsidi BBM telah membuat utang pemerintah meningkat, padahal konsumsi BBM sebagian besar oleh golongan mampu. Tanpa koreksi, pasti akan jadi beban pemerintah pasca-2014.
Untungnya aliran modal asing langsung (PMA) mengalami peningkatan dan aliran modal portofolio tetap mengalir masuk ke Indonesia. Namun, agar kita tidak mengalami krisis ekonomi seperti Yunani, sebaiknya subsidi BBM dikurangi agar defisit di neraca perdagangan dan neraca fiskal dapat segera teratasi.
Mirza Adityaswara Ekonom, Pengurus ISEI Pusat
(Kompas cetak, 30 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar