In the post-crisis world, resilience must be a goal for all countries if they are to endure another significant downturn.
Christine Lagarde, Managing Director of the IMF
Pernyataan Lagarde itu disampaikan pada Pertemuan Tahunan Forum Ekonomi Dunia 2013 di Davos, Swiss, Januari, dengan maksud mengingatkan semua pemimpin negara di dunia untuk lebih meningkatkan daya tahan ekonominya menghadapi gejolak ekonomi global.
Ketidakpastian ekonomi global diperkirakan masih tetap tinggi dalam beberapa tahun ke depan seiring dengan krisis berkepanjangan di Eropa dan masih rapuhnya kondisi anggaran pemerintah negara maju karena tingginya beban utang mereka.
Indonesia selama ini berhasil membuktikan punya daya tahan ekonomi yang kuat dan stabil menghadapi guncangan ekonomi global. Dalam kurun 2010-2012, perekonomian tumbuh rata-rata 6,3 persen dengan standar deviasi (std) hanya 0,2. Sementara Malaysia tumbuh rata-rata 5,6 persen dengan std 1,5. Demikian pula Thailand dan Filipina yang tumbuh dengan rata-rata 4,5 persen dan 6,0 persen, tetapi dengan std yang tinggi, yakni 4,0 dan 1,9. Makin tinggi standar deviasi artinya pertumbuhan ekonomi makin berfluktuasi dan menunjukkan daya tahan yang rendah terhadap gejolak eksternal.
Daya tahan ekonomi Indonesia tinggi karena ketergantungan Indonesia terhadap ekspor yang relatif kecil, hanya sekitar 24 persen dari total produk domestik bruto (PDB) dibandingkan dengan Malaysia yang mencapai sekitar 90 persen, Thailand 64 persen, dan Filipina 153 persen. Akibatnya, perlambatan permintaan global tidak terlalu menekan ekonomi Indonesia karena didukung ekonomi domestik dengan dua motor penggerak, yakni konsumsi masyarakat dan investasi yang menyumbangkan sekitar 88 persen dari PDB. Selama tiga tahun terakhir, keduanya tumbuh dengan rata-rata 4,9 persen dan 9,0 persen.
Struktur penduduk yang sehat yang didominasi usia produktif ditambah tumbuhnya kelompok masyarakat berpendapatan menengah akan terus mendorong pertumbuhan konsumsi masyarakat pada masa mendatang. Demikian pula investasi, sumber daya alam, tenaga kerja yang kita miliki, serta potensi pasar yang tinggi semestinya akan tetap jadi daya tarik bagi para investor. Bukan hanya sebagai pasar dari produk yang dihasilkan, melainkan juga pusat produksi dalam rangkaian jaringan produksi mereka.
Mengkhawatirkan
Meski demikian, gejala yang terlihat dalam pertumbuhan investasi belakangan ini mengkhawatirkan. Pertumbuhan investasi kuartalan sejak kuartal 3-2012 menunjukkan perlambatan dari yang sebelumnya tumbuh 12,5 persen per tahun di kuartal 2- 2012 melambat menjadi 7,3 persen per tahun di kuartal 4-2012. Beberapa indikator utama juga mengindikasikan bahwa investasi ke depan akan melambat, seperti yang ditunjukkan oleh menurunnya impor barang modal dalam dua bulan terakhir ini, yakni -12,8 persen per tahun.
Hal serupa juga diperlihatkan pada pertumbuhan kredit investasi yang 25,5 persen per tahun (Januari 2013) dibandingkan dengan 30,3 persen per tahun (Oktober 2012). Tren yang sama juga diperlihatkan pada besarnya penanaman modal asing (PMA) yang pertumbuhannya mulai lambat sejak kuartal 3-2012 meskipun secara total pada 2012 tumbuh 26 persen dibandingkan dengan PMA 2011.
Perkembangan pada beberapa indikator itu mengindikasikan mulai terjadi moderasi dalam pertumbuhan investasi pada 2013. Tim Ekonomi Mandiri memperkirakan pertumbuhan investasi pada 2013 sebesar 8-8,5 persen dibandingkan 2012 dengan 9,8 persen.
Gejala perlambatan investasi pada 2013 sebenarnya sangat disayangkan dan patut menjadi perhatian kita bersama karena dapat mengurangi daya tahan ekonomi kita terhadap gejolak ekonomi global. Padahal, secara umum investor masih menganggap Indonesia sebagai salah satu tujuan utama investasi. Survei The Economist pada Januari 2013 menempatkan Indonesia sebagai negara tujuan investasi nomor tiga di Asia di bawah China dan India.
Bahkan, UNCTAD menyebutkan Indonesia menjadi negara tujuan investasi nomor empat di dunia setelah China, AS, dan India. Jadi, Indonesia pada dasarnya hingga saat ini merupakan primadona bagi investor. Namun, investasi tak masuk begitu saja. Harus ada faktor penarik yang membuat minat investor berinvestasi terus meningkat. Saat ini justru dirasakan berkurangnya faktor itu karena adanya beberapa masalah domestik baik yang bersifat struktural maupun nonstruktural.
Global Competitiveness Report 2012-2013 menempatkan Indonesia pada peringkat 50 dari 144 negara dalam iklim investasi, jauh di bawah Malaysia dan Thailand yang berperingkat 25 dan 38. Peringkat Indonesia bahkan turun dari peringkat 46 (2012).
Ada empat masalah utama yang mengganggu iklim investasi di Indonesia, yakni birokrasi yang tak efisien, tingkat korupsi yang tinggi, kurangnya infrastruktur, serta terbatasnya kuali- tas tenaga kerja dan kakunya atu- ran ketenagakerjaan. Masalah lain yang menjadi hambatan bagi investor di Indonesia belakangan ini adalah terbatasnya keberadaan lahan kawasan industri.
Pesatnya pertumbuhan investasi tanpa diimbangi dengan tersedianya lahan kawasan industri mendorong naiknya harga lahan kawasan industri sehingga akan mengurangi daya saing investasi di Indonesia. Dominasi kawasan industri yang dimiliki swasta membuat harga lahan semakin tinggi karena sangat bersifat komersial. Peran pemerintah dalam penyediaan lahan kawasan industri harus ditingkatkan.
Lampu kuning terhadap pertumbuhan investasi di Indonesia mulai terlihat. Tanpa upaya serius pemerintah dan pihak terkait lain memperbaiki iklim investasi, Indonesia dapat kehilangan momentum pertumbuhan yang pada gilirannya akan mengurangi daya tahan ekonomi Indonesia menghadapi gejolak ekonomi global. Ini saat pemerintah, penegak hukum, pelaku bisnis, atau buruh bekerja sama memperbaiki iklim investasi sehingga dapat mendorong pertumbuhan investasi yang sangat dibutuhkan mencapai pertumbuhan ekonomi berkualitas dan berkelanjutan.
Destry Damayanti Chief Economist Bank Mandiri
(Kompas cetak, 12 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar