Ahmad Syafii Maarif
Di saat kritis dan serba tidak pasti sekarang, Indonesia benar-benar memerlukan para negarawan besar untuk memulihkan kepercayaan rakyat kepada institusi negara.
Masih dapatkah kita berharap kepada partai politik untuk memenuhi harapan itu? Mari kita telusuri sekilas sejarah kepartaian di negeri ini.
Partai yang mula-mula lahir dari rahim Bumi Nusantara pada dasawarsa kedua abad ke-20 adalah Sarekat Islam (SI) dan Indische Partij (IP). Sama-sama berdiri pada tahun 1912, masing-masing dipimpin HOS Tjokroaminoto (16 Agustus 1882-17 Desember 1934) dan kawan-kawan, dan EFE Douwes Dekker (8 Oktober 1879-28 Agustus 1950), Tjipto Mangoenkoesoemo (4 Maret 1886-8 Maret 1943), dan Soewardi Soerjaningrat/Ki Hadjar Dewantara (2 Mei 1889-26 April 1959).
IP adalah partai radikal yang sejak awal menuntut Hindia Timur lepas dari negeri induk. Sayangnya, partai ini belum bisa berbuat banyak karena para pemimpinnya ditangkap dan kemudian diasingkan pada tahun 1913. SI ketika itu belum terang- terangan menuntut kemerdekaan meski dari gelagatnya, pihak penguasa membaca tujuan partai SI serupa IP.
Berbeda dengan IP yang tidak pernah membesar, SI sampai pada tahun 1916 muncul sebagai partai besar yang sangat berpengaruh. Apalagi, Tjokroaminoto kemudian mendapat darah intelektual baru yang berasal dari Minangkabau, HA Salim (8 Oktober 1884-4 November 1954), dan Abdoel Moeis (3 Juli 1883-17 Januari 1959), penulis novel Salah Asoehan.
Potensi negarawan
Nama-nama besar di atas sebenarnya punya potensi untuk tampil sebagai negarawan yang berasal dari partai sekiranya mereka punya peluang untuk itu. Di antara nama-nama itu, hanya HA Salim dan Ki Hadjar yang cukup dikenal publik di era Indonesia merdeka.
Tjokroaminoto bahkan telah wafat pada tahun 1934, lima tahun menjelang meletusnya Perang Dunia II atau 11 tahun sebelum proklamasi. Dr Tjipto Mangoenkoesoemo wafat tahun 1943, dua setengah tahun sebelum proklamasi. Akan halnya Tjokroaminoto, karena banyak anak asuhannya menjadi orang penting di Indonesia, seperti Soekarno, Alimin, Moeso, dan Maridjan Kartosoewirjo, tidak salah jika dinobatkan sebagai Bapak Nasionalisme Indonesia. Gaya pidato Soekarno banyak dipengaruhinya.
Douwes Dekker, seorang Indo, pernah dibuang ke Kupang, Suriname, dan Belanda. Sikap radikalnya bukan saja muncul dalam sepak terjang dan tuntutan IP, melainkan Douwes Dekker bahkan juga terlibat Perang Boer II di Afrika Selatan.
Dalam keterbatasan masing-masing, para pemimpin partai dan pejuang kemerdekaan itu adalah kaum idealis kelas satu yang sepanjang hidupnya hanya mengenal pengorbanan demi pengorbanan dan situasi ketertindasan di bawah sistem kolonial. Sungguh sangat berbeda dengan sebagian besar elite partai sekarang yang menjadikan bangsa dan negara sebagai sapi perahan tanpa rasa malu.
Sebuah partai tanpa idealisme untuk meraih sesuatu yang mulia dan besar mustahil akan melahirkan negarawan. Paling banter hanya memunculkan politisi rakus dan rabun ayam yang lebih merupakan perampok bangunan demokrasi yang sehat dan kuat, sesuatu yang masih jauh dari harapan kita semua.
Negarawan dan politisi
Untuk sekadar mengulangi perbedaan antara negarawan dan politisi, keterangan berikut masih baik disertakan. Negarawan adalah seorang yang bervisi ke depan untuk kebesaran bangsa dan negara jauh melampaui usianya. Kekuasaan baginya hanyalah sebuah wahana untuk mewujudkan cita-cita mulia politiknya demi tegaknya keadilan dan terwujudnya kesejahteraan bersama, dan untuk tujuan itu dia sangat rela menderita.
Sebaliknya, politisi adalah seorang pragmatis yang pada umumnya tunavisi, tetapi syahwatnya terhadap kekuasaan demikian dahsyat. Dengan kekuasaan di tangan, banyak kenikmatan duniawi yang dapat diperoleh. Nyaris tak ada kepedulian terhadap tegaknya keadilan dan terciptanya kesejahteraan umum bagi semua.
Kini, bangsa Indonesia sedang menanti kedatangan negarawan andal untuk memulihkan kedaulatan bangsa di bidang ekonomi ke tangan pemilik yang sah dari penguasaan asing dan agen-agen domestik yang sudah sangat dalam mendominasi jantung kekayaan kita. Manusia dengan mental seorang hamba adalah musuh cita-cita agung kemerdekaan kita.
Tokoh-tokoh bangsa yang naik panggung hingga ke puncak pascaproklamasi; Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono, semua punya potensi sebagai negarawan dengan kualifikasi dan jumlah "tetapi"-nya masing-masing yang kurang elok dibeberkan semua di sini. Pada pokoknya, dalam kaitan dengan artikel ini, semakin besar peluang diberikan kepada pihak asing untuk mengisap darah daging bangsa, semakin panjang pula daftar "tetapi" yang harus disandang seorang presiden.
Bagi pejuang sejati, masalah kedaulatan adalah sesuatu yang mutlak dimiliki sebuah bangsa dan negara merdeka. Harga diri dan martabat bangsa terletak di sana. Tanpa kedaulatan, kemerdekaan adalah ilusi. Trilogi Bung Karno masih relevan kita turunkan di sini: "Berdaulat dalam politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan."
Situasi sejarah Indonesia sekarang sungguh sedang berada di tikungan sejarah yang sangat mencemaskan. Di mana kedaulatan kita, mengapa digadaikan? Apa yang ada di benak politisi dalam menyaksikan kedaulatan yang telah tergadai ini? Bila batinnya tidak terusik juga, lebih baik mereka hidup dalam kolonialisme, tidak di alam kemerdekaan. Iklim kemerdekaan harus bersih dari mental budak dan pecundang.
Lewat partai
Kembali kepada pokok bahasan kita, semua yang naik ke posisi RI 1 pasti melalui partai atau pernah terlibat dalam perjuangan kepartaian. Soekarno lewat PNI. Soeharto dan Habibie diusung Golkar yang sepenuhnya berfungsi sebagai partai sekalipun ketika itu berlindung di balik nama Golongan Karya. Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono masing-masing diusung PKB, PDI-P, dan Partai Demokrat.
Sebelum tahun 2004, tidak ada presiden RI yang dipilih secara langsung. Dengan perubahan Pasal 7 UUD 1945, sejak tahun 2004 presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung lewat kendaraan partai.
Masalah serius yang diidap partai-partai politik sejak beberapa tahun terakhir adalah hilangnya kemandirian dalam hal keuangan karena sangat bergantung kepada dana negara, baik anggaran resmi maupun lewat cara-cara ilegal. Selain itu, hampir tidak ada parpol yang secara sungguh-sungguh melakukan pendidikan politik untuk melatih kadernya menjadi negarawan. Dengan fakta ini, adalah sia-sia berharap dari partai dalam tempo dekat akan munculnya para negarawan.
Dengan tingginya angka terpidana di kalangan gubernur, bupati, dan wali kota di seluruh Indonesia yang semuanya memakai kendaraan partai untuk naik, tidak ada kesimpulan lain yang tepat kecuali partai politik telah gagal mencetak para negarawan dan birokrat yang jujur sebagai pejabat publik. Akibat langsungnya adalah masyarakat luas belum terlayani kepentingan primernya.
Akhirnya, sampai detik ini pertanyaan dalam bentuk "Quo vadis partai politik?" belum juga terjawab. Dengan demikian, tingkat peradaban demokrasi Indonesia yang tercermin dalam kelakuan elite partai masih sangat rendah, kumuh, dan sarat masalah. Dengan kata lain, partai bukan sebagai penyangga negara, tetapi malah sebagai beban negara.
Negara telah lama menjadi sapi perahan elite politik partai, terutama partai yang terlibat dalam mesin kekuasaan. Apakah Indonesia akan terus berada di lorong buntu ini? Sebagai bangsa merdeka, mestinya lorong buntu itu diterobos secara berani melalui proses demokrasi.
Dapatkah Pemilu 2014 menjebol jalan buntu yang menghadang sistem demokrasi bagi tegaknya keadilan dan meratanya kesejahteraan rakyat? Mari kita beri jawaban positif terhadap pertanyaan kunci ini dengan membuang sikap apatis terhadap masa depan Indonesia, negeri yang sama-sama kita cintai dan sedang menanti pembelaan seluruh anak bangsa yang bebas dari mentalitas budak.
Ahmad Syafii Maarif Pendiri Maarif Institute
(Kompas cetak, 3 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar