Di tengah melambungnya harga kebutuhan pokok dan maraknya kekerasan, pihak Istana melemparkan isu kudeta. Bagi saya, isu ini memperkuat indikasi bahwa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono terasing dari jantung kehidupan rakyat.
Yang dikeluhkan SBY kian tidak relevan dengan masalah yang dihadapi rakyat. SBY tidak menyadari, sejatinya yang dikudeta adalah kedaulatan rakyat, bukan kekuasaan Presiden. Betapa tidak. Sebagai negara demokratis, secara normatif kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat. Ne- gara diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat. Kepentingan rakyat berada pada posisi sentral. Namun, yang terjadi, rakyat sudah digulingkan dari kekuasaan tertingginya dan kini jatuh terjerembap di dasar piramida penderitaan.
Derita rakyat
Indikator ekonomi makro dinilai positif, terlihat dari pertumbuhan ekonomi, arus investasi, dan peringkat sebagai negara layak utang. Namun, itu semua dicapai dengan cara-cara yang menyakiti dan menambah penderitaan rakyat. Indikasinya, pertama, parahnya ketidakadilan sosial. Indeks gini meningkat dari 0,38 di tahun 2010 menjadi 0,41 (2011). Artinya, ada 1 persen warga yang menguasai 41 persen total kekayaan Indonesia. Menurut Forbes, 25 orang terkaya Indonesia menguasai Rp 530 triliun atau setengah dari total APBN 2012. Sementara pendapatan 29 juta warga miskin dan 70 juta warga hampir miskin kian tergerus inflasi.
Credit Suisse Research Institute mencatat Indonesia sebagai salah satu negara dengan laju pertumbuhan orang kaya tertinggi di dunia. Sekitar 112.000 orang kaya di Indonesia memiliki aset minimal 1 juta dollar AS. Sayang, Indonesia sangat lambat menurunkan tingkat kemiskinan (hanya 6 persen dalam kurun 2002-2012). Padahal, dalam kurun sama, Vietnam berhasil menurunkan kemiskinan hingga 18,5 persen.
Di saat jumlah orang kaya melambung, tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan juga meningkat. Indeks kedalaman kemiskinan naik dari 1,88 (Maret 2012) menjadi 1,90 (September 2012). Indeks keparahan kemiskinan naik dari 0,47 menjadi 0,48 pada periode yang sama. Pengeluaran warga miskin kian menjauhi garis kemiskinan. Menjadi kaya tentulah hak setiap orang. Namun, meningkatnya jumlah orang terkaya di saat jutaan orang miskin kian miskin memberi isyarat; ada hak-hak orang miskin yang dihilangkan.
Kedua, pertumbuhan ekonomi bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam (SDA). Hal itu terlihat dari meningkatnya ekspor berbasis SDA dari 41 persen (2011) ke 65 persen (2012). Dalam pengelolaan SDA, pemerintah memberi peran berlebihan kepada korporasi sekaligus melepas tanggung jawab melindungi warga dari pelanggaran HAM oleh korporasi. Akibatnya, hak rakyat atas tanah, air, dan keberlangsungan hidup dirampas dengan kekerasan.
Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis mencatat, konflik SDA dan agraria kian eskalatif. Pada tahun 2012 terjadi 232 konflik yang disertai kekerasan dan pelanggaran HAM di 98 kabupaten/kota di 22 provinsi. Dari jumlah itu, 69 persen melibatkan korporasi perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
Ketiga, pelayanan publik semakin meninggalkan rakyat miskin. Ini terlihat, misalnya, dari rencana PT KAI menghapus kereta ekonomi dan menggantinya dengan kereta AC bertarif tak terjangkau rakyat miskin. Frekuensi kereta ekonomi dikurangi, rakyat miskin dipaksa berjubel mempertaruhkan keselamatannya. Sebelumnya, PT KAI mensterilkan stasiun dari pedagang kecil yang banyak berjualan di peron dan lahan milik stasiun. Ironisnya, pedagang bermodal besar justru dapat tempat istimewa di area stasiun.
Warga miskin kian sulit mengakses layanan kesehatan. Komnas Perlindungan Anak mencatat, setidaknya delapan bayi miskin meninggal setelah ditolak rumah sakit dan ratusan pasien miskin ditolak rumah sakit. Indonesia Corruption Watch pada 2010 menemukan, dari 986 pasien miskin pemegang Jamkesmas, Jamkesda, Gakin, dan SKTM di 19 rumah sakit di Jabodetabek, 70 persen mengalami kesulitan mengakses layanan kesehatan.
Di daerah, kondisinya lebih mengenaskan. Tempat pelayanan ada, tetapi tenaga medis dan obat tak ada. Kematian yang tak perlu terlalu sering terjadi. Kabar terbaru, 95 warga Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, meninggal karena busung lapar. Bahkan, seorang guru di Maybrat, Papua Barat, terpaksa membiarkan anaknya menderita gizi buruk. Untuk berobat, ia harus menempuh 12 jam perjalanan darat. Sementara tujuh bulan gajinya belum dibayar.
Bila layanan transportasi dan kesehatan saja sulit didapat, apalagi layanan tempat tinggal. Warga miskin mayoritas bekerja di sektor informal dan sulit mengakses layanan kredit pemilikan rumah. Bahkan di Depok, pemerintahnya membuat aturan yang mewajibkan pengembang membangun rumah dengan luas minimal yang hanya bisa diakses golongan kaya. Artinya, orang miskin dilarang tinggal di Depok.
Keempat, meningkatnya kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, termasuk perdagangan bayi. Tekanan ekonomi dan menyempitnya ruang hidup rakyat miskin lebih banyak diderita perempuan dan anak.
Politik penjarahan
Setiap pemilu, rakyat seolah-olah menunjukkan kedaulatannya, memilih pemimpin dan para wakilnya. Namun, itu semua ritual belaka sebab de facto sistem politik RI adalah politik penjarahan yang tak mengenal kepentingan rakyat dan hanya menjadikan rakyat figuran. Disebut politik penjarahan karena partai berebut posisi bukan untuk kebijakan yang meningkatkan kualitas hidup rakyat, tetapi untuk memperbesar peluang menjarah kekayaan negara.
Hasilnya, sepertiga dari gubernur dan seperempat dari hampir 500 kepala daerah terseret kasus korupsi. Hal serupa terjadi pada pejabat publik dan pengurus partai. Sementara sumpah SBY menjadi yang terdepan dalam pemberantasan korupsi belum terbukti. Yang terjadi justru sebaliknya, SBY terbelenggu korupsi yang membelit partainya sendiri.
Akhir kata, judul tulisan ini rasanya kurang pas. Pada kenyataannya, rakyat dan SBY sudah dikudeta. Rakyat dikudeta dari kedaulatannya; SBY mengudeta kekuasaannya sendiri. Posisi SBY tetap presiden, tetapi ia banyak diam terhadap banyak kasus kekerasan dan penyelewengan kekuasaan oleh aparat negara dan korporasi yang meruntuhkan wibawa negara.
Sri Palupi Peneliti Institute for Ecosoc Rights
(Kompas cetak, 12 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar