Kontroversi pembahasan RUU Organisasi Kemasyarakatan berlanjut. Terakhir, PBNU mengusulkan pengesahan RUU Ormas ditunda.
RUU yang disiapkan sejak 2000-an itu dimaksudkan pemerintah untuk memberikan dasar hukum membubarkan anarkisme berkelompok. Masuk akal, sebab sejak reformasi 1998, kepolisian tidak mampu mengatasi anarkisme berkelompok. Yang terjadi adalah pembiaran.
Ada beberapa titik kontroversi. Pertama, naskah RUU kurang melihat faktor kesejarahan ormas dalam kontribusi pembentukan NKRI. Ormas punya andil penting dan besar. Kedua, definisi ormas dalam RUU terlalu luas, mencakup kelompok apa saja dalam masyarakat. Keluasan itu bahkan dikhawatirkan berdampak pada tergerusnya kebebasan berpendapat. Ketiga, menyangkut pembubaran ormas dan tumpang tindihnya UU yang mengatur ormas dan UU Yayasan. Keempat, menyangkut kekhawatiran tergerusnya kebebasan memperoleh dan menyiarkan informasi untuk publik. Hak atas informasi, salah satu hak asasi manusia pun dilemahkan. Secara tidak langsung, RUU ini bersinggungan dengan UU yang mengatur kebebasan pers.
Padahal, untuk mengatasi pembiaran, yang dibutuhkan terutama bukan landasan hukum, melainkan kehadiran negara dalam penegakan hukum. Anarkisme perseorangan dan berkelompok diancam (diatasi) dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Adanya kewajiban ormas mendaftarkan diri sesuai Permendagri Nomor 33 Tahun 2012 dan berlaku sejak 23 April 2012 seharusnya tidak dikonsep sebagai upaya mengekang sepak terjang ormas. Permendagri itu, bahkan UU No 8/1985, perlu ditempatkan sebagai sarana menjamin eksistensi ormas sebagai partner pemerintah.
Melihat adanya kontroversi yang menyangkut demokratisasi, sari pati reformasi politik pascareformasi, wajarlah pengesahan RUU Ormas ditunda. Pengesahan tidak berarti menafikan perlunya regulasi, tetapi lebih pada mengembalikan esensi lembaga kemasyarakatan sebagai partner pemerintah. Secara institusional, ormas itu serba nonpemerintah, tetapi dalam asas dan tujuan sama: demokratisasi dan peningkatan harkat dan martabat manusia. Landasan hukum pun perlu kesepakatan sehingga bisa diterapkan. Sia-sia DPR menyetujui RUU yang masih penuh kontroversi, yang berpotensi dibatalkan MK.
Kita dukung keberatan yang disampaikan, termasuk kekhawatiran terancamnya kebebasan pers. Dalam posisi DPR sebagai ekspresi suara rakyat (ideal yuridis), keberatan itu perlu didengarkan. Usulan PBNU dan Muhammadiyah—dua ormas besar dalam arti jumlah, institusional, dan pengaruh—perlu diberi perhatian ekstra.
RUU Ormas dengan konsep yang masih kontroversial, kalau dipaksakan, disahkan, dan diundangkan, hanyalah mubazir. Pembahasan dengan hati jernih dan tulus—mungkin untuk DPR periode berikut—langkah berikut penundaan pengesahan RUU Ormas.
(Tajuk Rencana Kompas, 9 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar