SYAMSUL ARIFIN
Aksi kekerasan di sekitar kita sudah sampai pada tahap mengkhawatirkan. Kekerasan mulai biasa dilakukan pihak yang seharusnya menjadi teladan mencegah aksi kekerasan.
Sejumlah anggota Batalyon Zeni Konstruksi/13 memukul empat anggota staf Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di pos penjagaan Dewan Pimpinan Pusat PDI-P. Peristiwa pada Sabtu (20/4) malam itu kian menambah statistik kekerasan yang dilakukan TNI.
Pada 23 Maret, empat tahanan LP Cebongan, Sleman, tewas setelah ditembak oknum TNI AD. Sebelumnya, pada 7 Maret, anggota TNI terlibat bentrok dengan Polri di Kota Baturaja, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan.
Semua rentetan kekerasan yang melibatkan korps bersenjata itu terjadi dalam rentang waktu hanya satu bulan meski lokasi berbeda-beda. Mengapa terjadi anomali penggunaan otoritas pada pemegang senjata?
Otoritas kekerasan
TNI dan Polri adalah dua institusi aparatur kenegaraan yang dalam kacamata Weberian memiliki otoritas menggunakan kekerasan untuk menjamin ketertiban sosial (social order). Secara legal, kedua institusi ini boleh menggunakan kekerasan jika terjadi ancaman yang dapat mengganggu ketertiban masyarakat.
Akan tetapi, peristiwa yang terjadi di tiga tempat itu menyerupai aksi kekerasan yang lazim terjadi pada masyarakat primitif yang memang belum memiliki pranata hukum memadai. Pada masyarakat primitif, kekerasan biasa dilakukan aktor non-negara sebagai mekanisme pembalasan terhadap kekerasan yang dilakukan individu atau kelompok lain.
Begitu pranata hukum modern terbentuk, masyarakat tidak lagi dibenarkan menggunakan kekerasan. Di samping dapat memutus mata rantai aksi balas dendam, pranata itu juga dapat memulihkan tertib sosial. Inilah yang disebut dengan transformasi dari hukum represif ke hukum yang lebih menekankan pada pemulihan keadaan normal (restitutive). Namun, peristiwa yang diaktori oknum TNI dan Polri itu justru mengembalikan memori kolektif pada kondisi manusia primitif yang biasa balas dendam.
Ironisnya, aksi kekerasan ini semakin sering terbiasa terjadi di sekitar kita. Ini merupakan pertanda nyata, kekerasan sudah dianggap sebagai hal biasa. Fenomena inilah yang disebut banalisasi. Kekerasan yang sejatinya merupakan modus kejahatan mulai dianggap sebagai peristiwa biasa. Banalisasi tidak hanya terjadi pada otoritas kekerasan, tetapi juga pada masyarakat sipil, aparatur negara, dan para pejabat publik kita.
Banalisasi keburukan
Banalisasi pada pejabat publik terlihat dari cara mereka memenuhi tuntutan hidup sebagai bagian dari komunitas elitis. Meski sudah mendapat posisi tinggi dan menikmati remunerasi memadai (gaji pokok dan fasilitas yang fantastis), ternyata mereka masih juga korupsi.
Menurut ekonom yang juga Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional, Dradjad H Wibowo, di Jurnal Parlemen, data penghasilan beberapa pejabat eselon I di sebuah kementerian rata-rata bisa mencapai Rp 2,23 miliar per tahun. Ia membandingkan dengan penghasilan David Cameron—PM Inggris—yang "hanya" Rp 2,03 miliar per tahun.
Silakan pembaca menghitung sendiri pendapatan yang diterima pejabat eselon puncak dalam setiap bulannya. Dengan pendapatan sebesar itu, secara sosiologis seseorang bisa duduk dengan gagah sebagai kelas menengah puncak (upper middle class). Kenyataannya, sekalipun berkelimpahan secara material (affluent), masih banyak pejabat publik yang belum terpuaskan. Alih-alih menjalankan tugasnya mewujudkan kebaikan publik (good public), yakni kebaikan bagi seluruh warga, mereka justru mengutamakan kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.
Modus yang paling banyak digunakan pejabat publik adalah korupsi. Per definisi, korupsi merupakan penyalahgunaan kepercayaan (sebagai pejabat publik) yang didorong oleh motif mendapatkan keuntungan material melimpah. Seorang pejabat dari institusi kepolisian yang sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), misalnya, bisa memiliki kekayaan ratusan miliar rupiah.
Dari mana kekayaan itu diperoleh? Menurut logika KPK, kekayaan itu tidak mungkin dimiliki seorang pejabat jika tidak menyalahgunakan kekuasaannya. Modus penyalahgunaan kekuasaan bervariasi. Ada yang berbentuk pemberian suap (korupsi transaktif), pungutan secara paksa (korupsi ekstortif), dan pemberian hadiah atau fee kepada pejabat untuk mendapat kemudahan (korupsi invensif).
Pendorong korupsi
Dapat disimpulkan, keterbatasan material ternyata bukan faktor pendorong korupsi. Penghasilan bulanan pejabat publik kita lebih dari cukup. Artinya, dorongan korupsi bukan karena faktor keterdesakan pemenuhan kebutuhan hidup (corruption by need). Jika memperhatikan tampilan pejabat yang berurusan dengan KPK, tidak salah bahwa keserakahan ditambah adanya peluang menjadi pendorong pejabat melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), termasuk di dalamnya modus korupsi.
Sebagaimana kekerasan yang mulai dianggap sebagai fenomena biasa, korupsi pun juga mulai dianggap sebagai hal yang lumrah. Jadi, mulai muncul fenomena banalisasi korupsi. Korupsi yang sejatinya sebagai modus kejahatan (evil) kemudian dianggap sebagai hal yang biasa.
Pertanyaannya, mengapa banalisasi terjadi di sekitar kita?
Dua fenomena besar yang dijadikan sebagai bahan perbincangan pada tulisan ini, yakni kekerasan dan korupsi, secara denotatif memiliki makna negatif secara moral.
Korupsi yang dilakukan pejabat publik merupakan bentuk pengingkaran terhadap kepercayaan (trust) publik (warga) yang hanya memberikan keuntungan material kepada pelakunya, dan sebaliknya menjadikan publik sebagai korban. Kekerasan juga merupakan pengingkaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal.
Kehampaan moral
Terlepas dari berbagai atribut yang disandang sejak dilahirkan, pada diri manusia terdapat kecenderungan alamiah ingin diakui, dihargai, dan dilindungi. Jika kecenderungan ini bisa dipenuhi, kebahagiaan yang dirasakan. Namun, jika sebaliknya yang terjadi, manusia akan merasakan penderitaan.
Tidak ada satu pun manusia yang ingin menderita akibat kekerasan oleh pihak lain. Suatu tindakan yang berdampak destruktif bagi pihak lain berakar pada kondisi dalam diri kita yang sedang mengalami kehampaan atau nihilisme secara moral. Tindakan yang bakal muncul di saat mengalami kehampaan moral bisa dipastikan menimbulkan akibat buruk terhadap orang lain.
Mengapa demikian? Nihilisme sebagaimana dijelaskan dalam literatur mengandung pengertian pengingkaran dan pembangkangan terhadap nilai-nilai kesusilaan, kemanusiaan, keindahan, dan sikap-sikap keutamaan lainnya. Kita perlu khawatir karena fenomena nihilisme ini mulai berkecambah di sekitar kita.
SYAMSUL ARIFIN Guru Besar Universitas Muhammadiyah Malang
(Kompas cetak, 14 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar