Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 07 Juni 2013

Kekerasan Pilkada Palembang (Tajuk Rencana Kompas)

Kekerasan yang diduga terkait dengan pemilihan kepala daerah kembali terjadi di Palembang. Sejumlah toko dibakar massa yang tak puas atas hasil pilkada.

Hasil pemilihan wali kota Palembang memang berlangsung ketat. Selisihnya hanya 0,001 persen! Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pasangan Sarimuda-Nelly Rosdiana sebagai pemenang mengalahkan pasangan Romi Herton-Harnojoyo. Dalam penetapan KPU Palembang, 13 April 2013, Sarimuda unggul dengan selisih delapan suara!

Namun, dalam sengketa pilkada itu, Mahkamah Konstitusi (MK) membuat keputusan berbeda pada 20 Mei 2013. MK memenangkan pasangan Romi Herton-Harnojoyo dengan selisih 23 suara! Putusan MK inilah yang tak bisa diterima pendukung pasangan Sarimuda-Nelly Rosdiana. Massa memprotes putusan MK yang membatalkan kemenangan pasangan calon Sarimuda-Nelly Rosdiana.

Secara konstitusional, MK memang berwenang menetapkan sengketa pilkada, termasuk memerintahkan pemungutan suara ulang. Putusan MK yang membatalkan kemenangan Sarimuda bisa dibenarkan dari sisi kewenangan MK. Namun, selisih suara yang amat tipis seharusnya juga menjadi pertimbangan MK dalam mengambil keputusan, termasuk jika putusan MK itu mengoreksi putusan KPU.

Putusan MK memang final dan mengikat. Belum ada langkah yang disediakan konstitusi untuk meninjau ulang putusan MK. Dengan cara pandang itu, putusan MK harus dijalankan, termasuk dengan menjelaskan kepada masyarakat bagaimana MK bisa sampai pada kesimpulan untuk mengubah penghitungan suara dari selisih delapan suara menjadi selisih 23 suara.

Pembakaran sejumlah toko tentunya amat disesalkan dan menambah sejarah gelap pilkada di Indonesia. Langkah hukum harus diambil terhadap para pelaku pembakaran, termasuk siapa pun yang memprovokasi terjadinya kekerasan.

Kekerasan di Sumsel haruslah menjadi pelajaran bagi kita semua, khususnya soal penetapan pemenang pemilu dengan selisih amat tipis. UU Pilkada hanya menetapkan kemenangan secara sederhana, yakni calon yang memperoleh suara terbanyak, berapa pun selisihnya. Dalam kasus Pilkada Palembang, selisih delapan suara seharusnya menjadi pertimbangan serius agar demokrasi prosedural tidak berubah menjadi kriminal karena tidak bisa diterima warganya.

Menahan diri dan menghormati otoritas yang berwenang adalah langkah yang paling bijak dalam situasi hangat seperti di Palembang. Budaya kekerasan tidaklah sesuai dengan demokrasi. Kita pun menantikan putusan bijak MK dalam kasus sengketa yang sama ketatnya, yakni dalam pemilihan gubernur Bali. Kita berharap demokrasi kita kian matang dengan menghormati otoritas-otoritas yang ada dan bukan dengan cara kekerasan.

(Tajuk Rencana Kompas, 7 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger