Di setiap pembahasan RAPBN di DPR, hal yang selalu muncul adalah bagaimana menggenjot sumber penerimaan negara, yaitu pajak dan pendapatan negara bukan pajak. Di saat pengeluaran sangat besar, dituntut penerimaan yang besar juga, tak terkecuali untuk sektor kelautan dan perikanan.
Pada saat saya diundang menjadi narasumber di DPR, beberapa waktu lalu, pertanyaan yang selalu diajukan adalah mengapa sektor kelautan dan perikanan (KP) menyumbang pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sangat kecil, tak sebanding dengan anggaran pembangunan sektor KP yang disetujui DPR setiap tahun? Bukankah laut kita luas dan menyimpan kekayaan yang luar biasa?
Sumber PNBP sektor KP terdiri atas dua macam, yaitu sumber daya alam (SDA) dan non- SDA. Pertama, SDA terdiri dari Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) dan Pungutan Hasil Perikanan (PHP). Pungutan tersebut memiliki dasar hukum, yaitu Pasal 48 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, direvisi menjadi UU No 45/2009, yang mengatakan: "memperoleh manfaat langsung dari sumber daya ikan dan lingkungannya dikenakan pungutan perikanan." Kedua, non- SDA mencakup jasa pelabuhan perikanan (tambat labuh, pas masuk, sewa lahan dan alat), jasa penggunaan fasilitas, dan jasa pengembangan penangkapan ikan.
Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), total PNBP KP pada 2012 Rp 276 miliar, dengan sumbangan SDA mencapai sekitar Rp 215 miliar dan non-SDA Rp 61 miliar. Angka PNBP 2012 ini tertinggi sejak 2009, tetapi lebih rendah daripada pencapaian 2003-2005 yang pernah mencapai Rp 297 miliar.
Namun, nilai PNBP tersebut belum dianggap signifikan oleh anggota DPR. Pertanyaannya, mengapa PNBP KP tak pernah lebih besar dari Rp 300 miliar?
Pertama, pungutan perikanan hanya ditujukan untuk kapal berukuran lebih dari 30 GT dan beroperasi di atas 12 mil. Sementara itu, struktur armada perikanan kita didominasi armada kecil. Data KKP menunjukkan, jumlah armada perikanan mencapai 590.352 unit, 98,77 persen adalah armada kapal dengan ukuran kurang dari 30 GT. Dengan demikian, armada di atas 30 GT dan terkena pungutan hanya 1,23 persen. Jadi, bagaimana mungkin 1,23 persen armada bisa mendongkrak PNBP?
Kedua, hanya nilai PNBP KP tersebut yang dikelola oleh KKP. Sebenarnya potensi penerimaan negara cukup besar, tetapi tersebar ke beberapa instansi, baik pusat maupun daerah. Dari data KKP, retribusi lelang di tempat pelelangan ikan (TPI) yang dikelola daerah bisa mencapai Rp 1,2 triliun. Begitu pula jasa pelabuhan yang dikelola perum pelabuhan sebesar Rp 125 miliar. Belum lagi lelang putusan pengadilan kapal ilegal yang dikelola instansi lain.
Ketiga, pemerintah memilih tak mengizinkan kapal asing beroperasi. Ini berbeda dengan tahun 2003-2006 saat kapal asing diizinkan beroperasi sehingga menambah PNBP. Meski demikian, kini kapal ilegal pun masih berkeliaran, yang produksinya langsung dibawa keluar tanpa dilaporkan. Aktivitas ilegal ini menyebabkan PNBP KP "bocor".
Sejumlah catatan
Tentu kita pun menginginkan agar PNBP KP bisa meningkat karena hasil PNBP pun akhirnya akan kembali untuk membangun sektor ini. Namun, ada sejumlah catatan terkait upaya ini.
Pertama, kita harus kembali pada ukuran pembangunan KP sehingga yang terpenting adalah sejauh mana pembangunan KP bisa menyejahterakan masyarakat pesisir, meningkatkan devisa, memperluas lapangan kerja, serta melestarikan sumber daya alam. Artinya yang dinilai adalah efek pengganda dari program pembangunan tersebut dan bukan semata nilai sumbangan langsung untuk negara. Hal ini mengingat KKP bukan "mesin uang" sebagaimana BUMN.
Kedua, hingga saat ini masih terjadi pungutan ganda. UU No 12/1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) juga ditafsirkan mewajibkan pelaku perikanan membayar PBB laut dengan cara penghitungan yang agak mirip dengan penghitungan pungutan perikanan. Dengan adanya PPP dan PHP, ditambah lagi ada PBB laut, akan semakin memberatkan pelaku usaha perikanan.
Ketiga, ke depan, PNBP sebaiknya jangan dibebankan pada pungutan perikanan tangkap. Hal ini mengingat sumber daya ikan di beberapa wilayah sudah semakin menipis. Bila tidak hati-hati, menggenjot PNBP dari sumber ini bisa berbahaya terhadap kelestarian sumber daya. Justru yang perlu diupayakan dari perikanan tangkap adalah penyelamatan potensi penerimaan negara dari kegiatan pencurian ikan oleh kapal asing. Dengan demikian, pengawasan perikanan harus makin ditingkatkan.
Keempat, harga BBM sebentar lagi naik, yang tentu akan berdampak pada perikanan tangkap. Pengalaman masa lalu, setiap terjadi kenaikan harga BBM, tidak sedikit nelayan yang tidak melaut. Dengan demikian, produksi berpotensi menurun. Dengan menurunnya produksi, tentu PNBP yang bersumber dari PHP juga akan menurun.
Kelima, sudah saatnya sumber PNBP baru diarahkan pada budi daya perikanan, wisata bahari, dan jasa kelautan lainnya. Namun, kita harus hati-hati terhadap jenis kegiatan yang baru mulai tumbuh ini. Jangan sampai malah disinsentif bagi pelaku baru yang akan masuk.
Tentu bisa dipahami tekanan agar PNBP KP naik. Namun, mesti dipahami pula mengapa PNBP KP selama ini relatif kecil karena selama ini hanya dari perikanan. Sementara laut itu multisektor dan sebagian PNBP-nya tersebar di sektor lain. Semoga kondisi ini tidak melemahkan semangat kita untuk terus memajukan kelautan dan perikanan.
Arif Satria Dekan Fakultas Ekologi Manusia, IPB; Ketua Umum Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia
(Kompas cetak, 15 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar