Pidato Presiden Barack Obama belum lama ini di Universitas Pertahanan Nasional menegaskan kembali prioritas keamanan nasional tanpa membuat sebuah pernyataan yang bersifat menyeluruh.
Di saat yang sama juga ditandatangani sebuah pedoman kebijakan presiden (presidential policy guidance) tentang kapan AS dapat melaksanakan serangan dengan pesawat tanpa awak. Telah pula berlangsung pergeseran sebagian besar tanggung jawab atas serangan pesawat tanpa awak dari Badan Intelijen Pusat AS (CIA) ke pihak militer AS.
Obama juga meminta Kongres AS mengakhiri ristriksi transfer para teroris tertuduh dari Guantanamo Bay dan memerintahkan Departemen Pertahanan AS agar menentukan sebuah lokasi di AS untuk bisa melangsungkan pengadilan militer terhadap para tertuduh tersebut. Anggota badan legislatif AS memang menentang upaya membawa para tertuduh ke daratan AS. Direktur Amnesti Internasional Zeke Johnson menyebutkan langkah Obama sebagai hal yang luar biasa dan perlu dilanjutkan dengan aksi nyata (Spetalnick dan Rampton, 2013).
Peristiwa di atas sekaligus mengingatkan akan keberlanjutan asas pluralisme dan keterlibatan sukarela bangsa tersebut yang melandasi identitasnya pada gagasan perubahan yang berlangsung secara terus-menerus. Sejak peristiwa 11 September, AS terus mendapatkan tekanan dan ancaman dari Timur Tengah dan dari dalam AS sendiri, yang dikenal dengan istilah homegrown terrorism. Dengan pidato kontraterorismenya ini, Obama mengingatkan kembali masyarakat AS akan hasratnya di tahun 2008 untuk menutup Guantanamo Bay, simbol bahwa AS telah melanggar aturan hukum.
Presiden Obama mengusulkan pembentukan sebuah mahkamah rahasia untuk mengendalikan pemberlakuan serangan dengan pesawat tanpa awak. Namun, hal ini yang menentukan juga Kongres. Kebijakan kontraterorisme ini bukan tanpa batas karena akan berupa upaya persisten untuk menargetkan hal yang mampu mengakhiri jejaring kalangan ekstremis yang suka menggunakan kekerasan.
Obama mengatakan, "Upaya AS untuk secara sistematik mengakhiri organisasi para teroris akan terus berlanjut. Namun, perang ini, sebagaimana perang lainnya, harus berakhir. Sejarah menasihati soal ini. Juga hal ini dituntut oleh demokrasi AS."
Jelas bahwa pada dasarnya AS adalah sebuah gagasan yang mencakup di dalamnya asas kebebasan, demokrasi, kedaulatan rakyat, asas kesetaraan di muka hukum, individualisme, sistem ekonomi yang berdasarkan mekanisme pasar, kecenderungan progresif, pluralisme budaya, dan respek pada konstitusi. Rasa kebangsaan AS juga mencakup keterlibatan warga secara sukarela, idealisme politik, mendukung rasa kemenangan, dan memandang ke masa depan.
Namun, menurut Anatol Lieven (2004), kuatnya keterikatan ideologi yang penting untuk menjaga persatuan bangsa sering kali cenderung mengisolasi bangsa ini dari apa pun yang terjadi di luar diri mereka.
AS dan dunia Islam
Kebanyakan orang Amerika cenderung merespons ancaman terhadap negaranya dengan keras dan menggunakan kekerasan karena memang menyangkut pembelaan atas asas perekonomiannya, langgam kehidupannya, dan soal kebebasan bangsanya. Setelah tragedi 11 September, reaksi semacam ini sesungguhnya tulus dan hampir seluruh warganya sepakat. Namun, sikap AS ini lebih dianggap sebagai ekspresi nasionalisme yang radikal (Lieven, 2004).
Sayangnya, hal ini memang terjadi berbarengan dengan tumbuhnya rasa keresahan akibat hilangnya kendali atas peri kehidupan bangsanya dalam proses globalisasi. Akibat rasa nasionalisme macam inilah AS cenderung terlihat defensif. Padahal, prinsip-prinsip kehidupan bangsa Amerika benar-benar menjadi inspirasi bagi bangsa-bangsa lain di dunia dan keyakinan kita bahwa AS memang contoh proses modernisasi yang berhasil.
Sekalipun serangan teroris akan terus berlangsung, peperangan dengan menggunakan pesawat tanpa awak akan terus menjadi alat yang diandalkan militer AS. Presiden Obama menyatakan dengan tegas bahwa peperangan panjang melawan terorisme telah berakhir dan dunia kini akan menikmati kedamaian.
Dari pidato Obama kita bisa merasa tetap optimistis bahwa sebagian terbesar rakyat AS tetap berkomitmen pada demokrasi, pluralisme, dan kepatuhan pada peraturan. Kita saksikan sendiri betapa nilai serta institusi Amerika mempunyai kekuatan luar biasa dan berkelanjutan.
Keyakinan kita makin diperkuat oleh peristiwa di atas. Bahwa AS itu menarik, mungkin mendekati apa yang disebutkan Lieven sebagai "kekaisaran peradaban" (Lieven, 2004), di mana nilai-nilai luhurnya akan bertahan dan terus menginspirasi dunia akan citra Amerika Serikat sebagai sebuah demokrasi pluralis yang secara ekonomi berhasil, terbuka bagi segala ras di dunia, mengakui asas kesetaraan di muka hukum, dan pada dasarnya damai dan berkuasa.
Warga yang berada di dunia Muslim pun bisa memetik pelajaran dari pengalaman ini. Teristimewa rasa kepatuhan akan asas kesetaraan di muka hukum, yang pada gilirannya dapat menyuburkan hasrat untuk melakukan dialog antar-peradaban.
Suzie S Sudarman Ketua Pusat Kajian Wilayah Amerika, Universitas Indonesia
(Kompas cetak, 15 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar