Kementerian Dalam Negeri pernah menyatakan kekhawatiran: 80 persen daerah otonomi cenderung gagal.
Melalui berbagai forum dan kesempat- an, para cendekia dan pengamat menilai bahwa "pemekaran wilayah menjadi dae- rah otonom yang baru belum menyentuh kepentingan rakyat, kecuali elite politik lokal yang sekadar ingin menjadi gubernur atau bupati atau pejabat lainnya. Pemekaran selama ini terkesan hanya menjadi ajang pengerukan anggaran negara".
Ungkapan seperti itu sama sekali bukan barang baru. Gejala melesetnya sasaran pemekaran itu telah terlihat lima tahun lalu. Cita pembaruan kehidupan di bidang pemerintahan daerah pada awalnya juga dilandaskan pada paham dari/untuk dan atas nama aspirasi politik (kedaerahan), demokrasi, desentralisasi, pemerataan pembangunan, dan lain-lain yang ujungnya memberi otonomi "lebih bertanggung jawab" kepada daerah.
Tanpa kontrol yang baik
Dalam perkembangannya, arti dan perwujudan kata bertanggung jawab dengan berbagai dalih dimaknai menjadi bukan saja seluas-luasnya dan sebesar-besarnya, melainkan juga tanpa kontrol yang baik. Lantas kalau sekarang timbul kekhawatiran dan berbagai sinisme seperti tadi, bagaimana hal itu harus dinalar?
Data tentang keuangan daerah yang disusun Kementerian Dalam Negeri menunjukkan betapa performa dan kinerja otonomi hingga Tahun Anggaran 2012 memang kurang begitu menggembirakan. Hingga akhir 2012, dari 34 provinsi dan 491 kabupaten dan kota, hanya beberapa yang menunjukkan kinerja positif atau menunjukkan kecenderungan baik.
Secara nasional, kemampuan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/ kota menggali pendapatan daerah (PD) da- lam Tahun Anggaran 2012 hanya rata-rata 34% [terdiri dari pendapatan asli daerah (PAD) dan pendapatan lain-lain yang sah (PLYS)]. Artinya, dalam keseluruhan jumlah anggaran dalam APBD, rata-rata 66% sisanya masih bertumpu pada/ditopang dana perimbangan dari APBN.
Bila besaran di tingkat nasional itu di- pilah, kontribusi PD di tingkat provinsi ra- ta-rata lebih kurang 60%, lebih besar dibandingkan dengan kontribusi PD di tingkat kabupaten/kota yang hanya sekitar 21% (PAD 9% dan PLYS 12%).
Dari 34 provinsi yang ada hingga akhir 2012, memang banyak di antaranya yang mampu menggali PD di atas 50% terhadap total tiap APBD 2012. DI Aceh mencapai ±77%; DKI Jakarta ±70%; Jawa Barat ±85%; Jawa Tengah ±80%; Jawa Timur ±79%; Sulawesi Selatan ±70%; Papua ±57%. Masih ada lagi di atas 50%, tetapi ada pula yang masih jauh dari angka itu. Beberapa provinsi hanya memiliki PD 32% dari total APBD 2012, ada yang hanya 30%, dan bahkan hanya ±20%.
Kata memang banyak sengaja ditulis miring karena fenomena yang terkandung di dalamnya. Banyak kabupaten/kota dalam beberapa provinsi yang memang banyak tadi ternyata masih parah kondisi dan kemampuan mereka menggali PD dan malah sama keadaannya dengan kabupaten/kota dalam provinsi yang kemampuan PD-nya masih kurang dari 50%.
Di tingkat kabupaten/kota, kemampuan menggali potensi PD bahkan hanya ra- ta-rata ±21%. Kabupaten Simeulue di DI Aceh hanya memiliki total PD 7% dari to- tal APBD 2012 yang besarnya Rp 404 mi- liar. Persentase yang sama ada di Kota Sa- bang: 7% dari total APBD 2012 sebesar Rp 355,3 miliar. Kabupaten Aceh Utara, pene- rima dana perimbangan terbesar (Rp 1 tri- liun) di antara 29 kabupaten/kota, hanya memiliki total PD 8% (Rp 90,4 miliar) dari total APBD 2012: Rp 1.102,6 triliun.
Contoh serupa juga bisa dipetik secara acak di Provinsi Papua Barat yang PD-nya mencapai 57,3%. Sepuluh kabupaten di da- lamnya hanya memiliki PD rata-rata anta- ra 11% dan 22%. Satu di antaranya Kabu- paten Maybrat dengan total PD Rp 74 mi- liar (17% dari APBD) hanya memiliki PAD (bagian dari PD) kurang dari Rp 1 miliar atau ±1,4%. Adapun Bintuni, yang menerima dana perimbangan terbesar (Rp 754,5 miliar) di antara 11 kabupaten/kota di provinsi itu, hanya memiliki PD 13,7% dari total APBD 2012 yang berjumlah Rp 875,7 miliar. Hanya Kota Sorong yang me- miliki PD tertinggi, mencapai 30%.
Di Provinsi Papua dengan PD ±70% ke- adaannya lebih kurang sama. Di antara 28 kabupaten dan satu kota di dalamnya, dua kabupaten penerima dana perimbangan terbesar, yaitu Mimika (menerima Rp 1,067 triliun) hanya memiliki PD sebesar 26% dan Merauke (menerima Rp 1,023 triliun) hanya memiliki PD 15% (dan PAD hanya 8%) saja. Enam kabupaten lainnya bahkan masih memiliki PAD di kisaran Rp 1-2 miliar saja, yang berarti kurang dari 1% terhadap APBD 2012 mereka.
Provinsi Kalimantan Timur, yang menerima Dana Perimbangan terbesar (Rp 4,3 triliun) di antara 34 provinsi di In- donesia, hanya memiliki PD ±30%. Kutai Kartanegara, yang dikenal luas sebagai penerima Dana Perimbangan terbesar di antara semua kabupaten di Indonesia (Rp 3,5 triliun), memiliki PD sekitar 17%. Sama halnya dengan Kutai Timur dan Kutai Ba- rat yang juga sekitar 17%.
Kemampuan menggarap PD tiga kabu- paten itu justru kalah jauh dari Samarinda yang memiliki PD ±36%, atau Balikpapan dengan PD ±35%, atau Berau 28%, atau Pasir 23%. Di provinsi ini kemampuan menggarap PD di antara kabupaten dan kota lainnya juga berlangsung hanya pada kisaran 14-36% tadi.
Bagaimana dengan kabupaten dan kota di provinsi dengan kemampuan PD di bawah 50%? Di Provinsi Gorontalo dengan PD 30%, hanya Kota Gorontalo yang PD-nya mencapai 25%. Adapun di lima kabupaten lain, PD hanya berkisar 7-18%. Gorontalo Utara bahkan hanya memiliki PD kurang dari 1% (dan PAD 0,5%) dari total APBD 2012 yang berjumlah Rp 342,6 miliar. Di Provinsi Sulawesi Barat yang memiliki PD hanya ±30%, semua lima kabupaten di dalamnya hanya memiliki PD 5-16%. Mamuju Utara, sebagai contoh, memiliki PD 5% (PAD 1,9%) dari total APBD yang berjumlah Rp 408,9 miliar.
Lebih menarik lagi, rendahnya PD dan PAD kabupaten itu ternyata bukan mono- poli "luar Jawa". Kabupaten Tasikmalaya di Jawa Barat hanya memiliki PD 6% dan PAD 3%. Pemalang di Jawa Tengah yang memiliki PD 20% hanya memiliki PAD 6%. Madiun di Jawa Timur yang memiliki PD 22% juga hanya memiliki PAD 5%.
Tiga langkah
Bagaimana menyikapi potret seperti itu? Pertama, karena tak pernah ada angka yang digunakan sebagai acuan dan dipedo- mani dalam pembentukan daerah otonom, jelas tak mudah memberi pendapat tentang ujung kekhawatiran tadi. Tanpa angka itu pula, kekhawatiran akan tetap ada untuk jangka waktu yang tak dapat dipas- tikan kapan berakhir. Mengapa angka itu belum juga ada? Tampaknya bukan karena tidak dapat dihitung dan ditentukan, te- tapi jangan-jangan tidak dikehendaki.
Kedua, kalaupun 50% dijadikan ambang batas bawah bagi kemampuan pemerintah daerah untuk mengumpulkan PAD (tanpa PLYS) terhadap total APBD, hal itu pun masih sulit dilaksanakan, terutama secara politis. Hingga tingkat provinsi pun, baru 11 provinsi yang mampu menggali PAD di atas 50%. Tahun 2012, sebagai misal, kemampuan tertinggi dalam menggali PAD hanya 76% (Jawa Timur). Bila diturunkan hingga 30%, hanya 21 provinsi. Seandainya diturunkan hingga 20%, hanya ada 24 provinsi.
Menggunakan data itu dan mengaitkan- nya dengan logika ketentuan UU bahwa status otonomi dapat "ditarik/dibatalkan" kembali, hampir dapat dipastikan hal itu tak akan jadi pilihan. Pertimbangan politik, terutama keutuhan bangsa dan negara, akan segera jadi taruhan, apalagi kalau berupa "pembubaran dan penggabungan kembali" dengan provinsi lainnya.
Bahkan, dalam kasus provinsi yang hanya memiliki kemampuan menggali PAD di bawah 10%, pemikiran ke arah itu pasti tak akan memperoleh akomodasi. Dalam UUD, provinsi mewakili konsep "daerah besar" yang menjadi referensi pikir pertama dalam konteks pembagian wilayah negara (dan pemerintahan daerahnya).
Bahwa konsep otonomi harus mencerminkan kemampuan mengurus beberapa fungsi sebagai urusan rumah tangga sendiri dan, dengan begitu, soal kemampuan mengelola secara efektif, efisien, optimal sumber daya daerah menjadi sine qua non sifatnya, maka fenomena pemerintah provinsi yang "tampak hebat" secara makro, tetapi hal yang sama tidak tecermin pada kabupaten/kota yang ada di dalamnya, semestinya dicermati.
Bila Papua atau Aceh atau Maluku Uta- ra memiliki performa dan kinerja rendah, dan kabupaten/kota di dalamnya juga rendah, mungkin masih dapat dipahami. Namun, bila Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur memiliki kabupaten yang hanya memiliki PAD kurang dari 7%, pastilah ada yang salah dalam konsep atau sistemnya.
Ketiga, dengan memperhatikan besarnya pengaruh politik, pemikiran tentang pembenahan konsep maupun praktik agaknya lebih realistis bila pendekatan di- fokuskan pada performa dan kinerja kabupaten/kota. Penggabungan ke daerah otonom lain (atau daerah otonom lain yang sebelum pemekaran merupakan daerah induknya) sebagaimana diisyaratkan dalam UU Pemerintahan Daerah mestinya menjadi pilihan yang secara rasional dipertimbangkan. Kehebohan politik pasti ada meski tidak akan lebih besar daripada kalau membubarkan provinsi.
Penggabungan sesungguhnya pilihan legal juga rasional. Bila hal itu juga terpaksa tak ditempuh, beberapa hal sepan- tasnya dipertimbangkan saksama.
A. Kebijakan moratorium pembentukan daerah otonom baru benar-benar dilaksanakan dengan konsisten. Sikap dan langkah yang tak konsisten hanya akan memperburuk keadaan.
B. Kriteria dan elaborasi syarat pembentukan daerah otonom dan penggabungannya harus secepatnya dipertegas, diperjelas, dan dipegang teguh.
C. Pembangunan kemampuan aparatur daerah dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian roda pemerintahan dan pembangunan khususnya dalam pengelolaan anggaran harus diberi prioritas. Bila perlu, digelontor aparat perbantuan dari pusat sambil menciptakan sistem yang mampu mencairkan sentimen primordialisme dan rasa kedaerahan yang sempit
D. Penumbuhan prinsip reward and punishment berlandaskan aturan main yang jelas dan melaksanakannya dengan tegas. Performa dan kinerja yang tak menunjukkan perbaikan dari tahun anggaran sebelumnya harus berisiko tidak bertambahnya pemberian Dana Perimbangan untuk tahun berikutnya.
Bambang Kesowo
Anggota Dewan Penasihat Ikatan Alumni Lemhannas
(Kompas cetak, 11 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar