Taufiq Kiemas, sahabat dan sekaligus adik yang amat saya cintai, telah berpulang ke rahmatullah. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Saya saat itu sedang berada di luar kota, tidak dapat melayat ataupun menghadiri pemakaman.
Maka, saya membuat tulisan ini pada peringatan 40 hari meninggalnya almarhum untuk mengenang suka duka persahabatan kami, terutama untuk berterima kasih pada jasa-jasa almarhum yang amat besar maknanya bagi kemajuan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Murah hati
Saat pertama kali berkenalan, pertengahan tahun 1990-an, saya baru tahu bahwa Taufiq Kiemas dan saya pernah tinggal di Yogyakarta. Ayah kami bersama- sama kaum Republikein lain memboyong keluarga ke Yogyakarta mengikuti para pemimpin republik ketika Jakarta jatuh ke tangan sekutu dan NICA.
Keluarga Kiemas bertetangga dengan Masdoelhak Nasution, doktor ilmu hukum lulusan Leiden Universiteit, karib ayah saya, Rahmad Nasution.
Taufiq Kiemas penuh perhatian pada aktivitas dan pribadi saya. Ia turut menyokong perjuangan lembaga bantuan hukum (LBH), termasuk memberikan bantuan finansial. Ia pula yang mengurus segala proses pemberangkatan saya untuk operasi jantung ke Australia.
Pada waktu lain, saya dirawat di RS MMC. Ketika sekretaris saya hendak membereskan administrasi, pihak rumah sakit menyampaikan bahwa Taufiq Kiemas telah memberi deposit untuk biaya pengobatan. Saya sungguh merasa terharu.
Kedekatan saya dengan Taufiq Kiemas secara politis semakin erat menjelang jatuhnya Orde Baru. Pada masa yang amat suram itu, penguasa dengan sewenang-wenang membabat habis pucuk kekuatan demokrasi. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dilemahkan, diintervensi, dan dipecah belah. Puncaknya pada 27 Juli 1997 ketika massa suruhan pihak tak bertanggung jawab berupaya mengambil alih gedung DPP PDI di Jalan Diponegoro 58. Terjadi bentrokan.
Para aktivis pro-demokrasi dan simpatisan Megawati Soekarnoputri dikambinghitamkan sebagai dalang dan pelaku kerusuhan. Gedung LBH saat itu berfungsi menjadi posko gerakan dan saya bersama-sama pengacara LBH lainnya memberi pembelaan.
Taufiq Kiemas amat mencemaskan kondisi ini. Dalam pandangannya, Orde Baru sudah menjadi suatu tirani kekuasaan yang sewenang-wenang. Ia kerap mengajak saya mendiskusikan perkembangan situasi nasional dan merumuskan langkah-langkah menyelamatkan republik dan masa depan demokrasi kita.
Latar belakang yang sama sebagai bagian dari kaum Republikein yang ikut menderita dalam pasang surut perjuangan revolusi kemerdekaan di ibu kota Yogyakarta membuat kami terpanggil meluruskan arah republik.
Semakin kerapnya pertemuan dan diskusi kami membuat saya menyadari bahwa Taufiq Kiemas sosok istimewa, politisi ulung yang cermat membaca arah pergerakan zaman dan tepat menghitung momentum perubahan. Ia ditempa segudang pengalaman politik, termasuk ketika menjadi aktivis mahasiswa dan harus mendekam dalam bui.
Taufiq Kiemas juga pribadi yang mampu menjalin hubungan baik dengan bermacam kalangan dan berbagai kelompok politik. Ia tidak segan-segan menemui siapa pun untuk menyatukan persepsi dalam perjuangan.
Saya kira kualitas pada diri Taufiq Kiemas itulah yang membuatnya mampu berperan besar dalam menyatukan visi dan gerakan pro-demokrasi, membangkitkan kembali kejayaan kelompok nasionalis lewat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), dan mengantarkan Megawati Soekarnoputri tampil sebagai tokoh reformasi sampai menjadi presiden kelima Republik Indonesia.
Nasionalis moderat
Peranan Taufiq Kiemas yang tak kalah besar adalah menyukseskan momentum amandemen UUD 1945. Agenda perubahan konstitusi pada saat itu mendapat resistensi sangat kuat. UUD 1945 (awal) dianggap sebagai dokumen sakral yang harus dipertahankan kemurniannya, tidak boleh diubah sedikit pun.
Pihak yang menolak amandemen umumnya terdiri atas kaum militer yang diindoktrinasi sebagai penjaga keotentikan UUD 1945 (awal). Yang lain adalah kaum cendekiawan dan politisi nasionalis-konservatif yang memandang UUD 1945 (awal) sebagai suatu dokumen agung yang lahir dari rahim revolusi.
Taufiq Kiemas adalah satu dari sedikit tokoh dari kelompok nasionalis pada masa itu yang di satu sisi amat setia kepada UUD 1945 (awal), tetapi di sisi lain mampu berpikir jernih dan dapat mengambil posisi moderat. Kesetiaannya terhadap UUD 1945 (awal) tidaklah jumud. Ia paham tiba saatnya memperbaiki dan menyempurnakan UUD 1945 (awal) agar menjadi konstitusi yang hidup dan mampu merespons perkembangan zaman (the living constitution).
Ketika pro-kontra amandemen meruncing, Taufiq Kiemas menyampaikan kepada saya bahwa perlu upaya untuk memberikan pemahaman, khususnya kepada anggota MPR, mengenai urgensi amandemen. Untuk itu, ia mengusulkan agar disertasi doktor saya, yang pada bagian kesimpulannya memuat rekomendasi amandemen UUD 1945, dapat dibaca politisi kita.
Taufiq Kiemas berinisiatif membiayai pencetakan kembali buku saya, lalu menyebarkannya kepada seluruh anggota MPR. Inilah bentuk apresiasi dan sekaligus bukti nyata dukungan pada upaya amandemen. Ketika akhirnya MPR berhasil melaksanakan amandemen demi amandemen selama empat kali dalam empat tahun berturut-turut (1999, 2000, 2001, 2002), hal itu tidak lepas dari perjuangan dan jerih payah Taufiq Kiemas.
Beberapa tahun terakhir, saat menjabat Ketua MPR, Taufiq Kiemas gencar menyosialisasikan buah pemikiran mengenai empat Pilar Kebangsaan, yaitu 1. Pancasila, 2. UUD 1945, 3. Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan 4. Bhinneka Tunggal Ika.
Saya memahami langkah Taufiq Kiemas sebagai ikhtiar seorang negarawan merespons berbagai problem kebangsaan yang belakangan makin merisaukan. Buah pemikiran dan ikhtiar tersebut tentu amat relevan dan perlu guna menghadapi tantangan kebangsaan saat ini, terutama untuk mengatasi masalah yang timbul akibat fundamentalisme dan kekerasan atas nama agama.
Kini Taufiq Kiemas telah tiada, tetapi visi dan cita-citanya untuk memperkokoh republik dan kehidupan kebangsaan perlu terus dihidupkan.
Adnan Buyung Nasution, Praktisi Hukum Senior
(Kompas cetak, 20 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar