Para menteri luar negeri ASEAN akhir Juni lalu bertemu di Bandar Seri Begawan, Brunei, menghadiri serangkaian Konferensi Tingkat Menteri ASEAN dengan mitra dialognya, termasuk Forum Regional ASEAN.
Menlu Filipina Albert del Rosario pada hari pertama di ibu kota Brunei itu mengeluarkan pernyataan bahwa Filipina sangat prihatin melihat peningkatan militerisasi di Laut China Selatan. Del Rosario menyatakan, kehadiran kapal perang dan paramiliter secara masif di dua gugusan karang di Laut China Selatan—Scarborough Shoal dan Second Thomas Shoal—menimbulkan prasangka mengkhawatirkan.
Bagi Filipina, gugusan karang itu termasuk zona ekonomi eksklusifnya sesuai dengan hukum laut internasional. Filipina telah mengajukan perkara ini ke Mahkamah Arbitrase Internasional untuk mencari penyelesaian di jalur hukum internasional.
Sebaliknya, China berdasarkan alasan sejarah merasa memilikinya sejak kejayaan Dinasti Han. Kehadiran kapal perang China ini, menurut Del Rosario, merupakan "ancaman pada usaha memelihara perdamaian dan stabilitas kawasan". Manuver Filipina ini menunjukkan bahwa masalah Laut China Selatan menjadi fokus bahasan dalam Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ASEAN dan Forum Regional ASEAN (ARF) di Brunei.
Sikap China
Menanggapi posisi Filipina yang asertif mengenai Laut China Selatan, Harian Rakyat yang selalu mencerminkan pandangan Partai Komunis China telah mengeluarkan sikap keras dalam editorial 23 Juni 2013, menuduh Filipina ingin memakai ASEAN melanggar kedaulatannya di Laut China Selatan dan memberi peringatan akan kemungkinan tindakan balasan.
Dalam kupasannya, Harian Rakyat menyatakan, Filipina telah menyeret-nyeret AS sebagai patronnya dan menunggangi ASEAN mencapai maksudnya. Memang sebelumnya sebuah kapal pemusnah Angkatan Laut AS ikut bergabung dengan kapal perang AL Filipina dalam latihan perang-perangan di perairan dekat Scarborough Shoal.
Harian Rakyat mengancam apabila Filipina terus melakukan provokasi terhadap China, tindakan balasan akan sulit dihindarkan. Sikap keras China menyangkut integritas wilayahnya berkaitan erat dengan budaya politiknya sejak lama.
Mereka menganggap bahwa China mengalami masa penderi- taan dan penghinaan yang berke- panjangan sejak Dinasti Qing oleh kekuasaan negara-negara Barat dan Jepang. Wilayahnya hi- lang satu per satu, menurut China, karena kekuatan kolonialisme dan imperialisme di masa lalu.
Karena itu, sikap tegas China mengenai keutuhan wilayahnya merupakan wujud usahanya mengembalikan kebanggaan dan kejayaan Tiongkok. Siapa pun yang berkuasa di Beijing selalu memperhitungkan budaya politik ini, termasuk presiden baru Xi Jinping. Ini terlihat jelas dalam posisi China mengenai sengketa Laut China Timur, Laut China Selatan, dan Tibet. Malahan di Alun-alun Tian An Men telah dibangun monumen baru menggunakan teknologi canggih mempertontonkan kemajuan Tibet di bawah China.
Tantangan ASEAN
Bagi ASEAN, sengketa Laut China Selatan menimbulkan dampak tak menguntungkan. Bila tak dikelola dengan baik, sengketa ini akan mendorong teru- langnya perpecahan ASEAN seperti di Phnom Penh November 2012. Pernyataan bersama ASEAN mengenai Laut China Selatan tak disepakati bersama. Dalam hal ini, keutuhan ASEAN bergoyang oleng karena tekanan eksternal yang kuat. Padahal, sentralitas ASEAN yang diperjuangkan bersama di berbagai forum akan ternoda bila tak didu- kung keutuhan ASEAN yang bulat.
Seperti diketahui, Taiwan dan beberapa negara ASEAN seperti Filipina, Vietnam, Brunei, dan Malaysia mengajukan klaim memiliki kedaulatan atas bagian tertentu dari Laut China Selatan. ASEAN telah berusaha lebih dari satu dekade memperoleh kesepakatan China melahirkan Kode Perilaku yang mengikat para pihak dalam melakukan kegiatannya di Laut China Selatan.
Deklarasi Perilaku yang berisi kemauan politik dari tiap pihak mempersiapkan mulainya perundingan mengenai Kode Perilaku telah disepakati bersama pada 2002. Meski demikian, sampai saat ini China belum memberi kepastian posisinya secara jelas.
Memang ada indikasi dari Beijing mempertimbangkan sungguh-sungguh usul ASEAN mengenai Kode Perilaku itu, tetapi kapan dan di mana dimulainya perundingan, siapa saja peserta perundingan, berapa lama jangka waktu perundingan, apa agenda- nya masih tanda tanya besar.
Bagi ASEAN, sengketa Laut China Selatan memiliki dua komponen. Pertama, komponen kedaulatan: berbagai negara mengajukan klaim yang tumpang tindih. Masalahnya kompleks karena ada dua kubu yang menggunakan dasar argumen yang bertolak belakang. China dan Taiwan menggunakan argumen sejarah dalam memperjuangkan tuntutannya. Filipina, Vietnam, Brunei, dan Malaysia menggunakan argumen zona ekonomi eksklusif sesuai dengan hukum laut internasional.
Pemecahan masalah ini akan lama karena tiap argumen memi- liki celah-celah kelemahannya sehingga penyelesaian tuntasnya bisa mencakup antargenerasi. Meski demikian, bila tiap pihak berhasil menciptakan suasana batiniah yang nyaman, di tengah absennya penyelesaian masalah kedaulatan, proyek pengembangan bersama dapat dimulai dengan membawa manfaat bersama atas kekayaan alam yang dikandungnya.
Komponen kedua menyangkut perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan yang dapat memengaruhi stabilitas di Asia Tenggara dan pada gilirannya menentukan laju pembangunan di ASEAN. Tindakan ekstra aser- tif dan provokatif anggota ASEAN akan memancing tindakan balasan yang dapat memicu konflik bersenjata sehingga menjauhkan pemecahan sengketa dengan cara damai. Hal ini akan menimbulkan instabilitas kawasan yang akan mencemaskan investor, mengganggu lalu lintas perdagangan, dan dengan sendirinya akan memengaruhi laju investasi ke ASEAN.
China adalah negara besar, salah satu anggota tetap Dewan Keamanan PBB, dan diperkirakan ekonominya akan terbesar di dunia pada 2020. Jadi, hubungan Indonesia dan ASEAN dengan China harus dilihat tidak terbatas hanya pada masalah Sengketa Laut China Selatan.
Sebaliknya, Asia Tenggara mengharapkan keteladanan dari China, negara terbesar di Asia. Benua Asia telah melahirkan agama-agama dan peradaban unggul dunia di masa lalu. Prediksi kini mengarah pada kesamaan pandangan bahwa pusat gravitasi ekonomi internasional akan bergeser ke Asia. Sudah sewajarnya Asia juga berkontribusi mendorong kelahiran norma etika dalam hubungan internasional. Dalam hal ini, kelahiran Kode Perilaku di Laut China Selatan merupakan contoh awal dari kemuliaan bangsa-bangsa di Asia.
Makarim Wibisono
Ketua Governing Board dari Indonesian Council of World Affairs (ICWA)
(Kompas cetak, 11 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar