Setiap menjelang Lebaran, situasi melejitnya harga pangan pokok hampir selalu terjadi dan pemerintah pun selalu panik. Solusi krisis pangan sebenarnya dapat didekati dari sisi suplai dan sisi permintaan.
Tulisan Siswono Yudo Husodo (Kompas, 18/7/2013) sangat menarik mengupas solusi sisi suplai. Nah, bagaimana solusi untuk sisi permintaan? Data Badan Pusat Statistik yang diolah pemerintah menunjukkan, harga daging sapi Rp 66.163/kg (Juli 2011) jadi
Rp 76.764/kg (Juli 2012) dan kini Rp 94.795/kg (Juli 2013). Begitu pula produk hortikultura. Dibandingkan Juli 2012, harga bawang merah Juli 2013 melejit 269 persen, cabe rawit 137,99 persen.
Sementara harga ikan kembung naik 10,32 persen dan bandeng 7,24 persen. Saat ini harga ikan kembung Rp 28.198/kg dan bandeng Rp 26.704/kg. Artinya harga ikan tersebut masih terkendali dan terjangkau masyarakat dibandingkan daging sapi.
Krisis di atas menuntut stabilisasi harga dengan meningkatkan suplai. Namun, tak mudah mengatasinya dengan peningkatan produksi. Karena itu, impor akhirnya digenjot. Dalam jangka panjang ini berbahaya. Kegandrungan pada impor akan menurunkan gairah petani dan nelayan untuk terus berproduksi.
Perilaku konsumen
Seiring solusi di sisi suplai, perlu dipertimbangkan solusi di sisi permintaan melalui pendidikan konsumen. Apakah mungkin selera konsumen diubah?
Dulu batik identik dengan pakaian untuk kondangan. Tapi, berkat kampanye besar-besaran akhirnya kini batik jadi pakaian sehari-hari. Di Vietnam, 20 tahun lalu orang enggan makan udang karena harganya amat murah sehingga identik dengan konsumsi orang miskin. Tapi kini udang jadi bergengsi dan diminati. Dulu jarang orang makan lele, tetapi sekarang orang menyukai lele.
Artinya, perilaku konsumen bisa diubah. Menurut Ujang Sumarwan (2011), pakar konsumen FEMA-IPB, ada dua macam manfaat yang jadi pertimbangan konsumen mengubah perilaku: manfaat fungsional dan psikososial. Manfaat fungsional yang diperoleh dari mengonsumsi udang adalah rasa kenyang, enak, dan bergizi. Namun, konsumen dapat manfaat psikososial, yaitu karena dia akan ditempatkan ke dalam kelas menengah ke atas. Perubahan pengetahuan akan manfaat sebuah produk itu akan mengubah perilaku konsumen.
Krisis suplai daging sapi saat ini mestinya bisa jadi momentum mengubah perilaku konsumen, yakni mendorong peningkatan konsumsi ikan yang kini masih 33 kg/kapita/tahun. Karena, keduanya adalah sumber protein hewani sehingga berpotensi saling menyubstitusi. Juga, karena ikan kini cukup tersedia dengan produksi 15,23 juta ton dan harga terjangkau. Lalu bagaimana langkah mengubah perilaku untuk peningkatan konsumsi ikan?
Engel dkk (1994) melihat faktor individu konsumen (sumber daya, pengetahuan, dan gaya hidup) serta faktor lingkungan (kelas sosial, budaya, dan keluarga) memengaruhi perilakunya. Dari konsep Engel ini, bisa diturunkan ke dalam sejumlah langkah.
Pertama, bagi masyarakat menengah-bawah perlu ditekankan pengetahuan tentang manfaat fungsional ikan (ikan memiliki kandungan protein tinggi) serta manfaat psikososial (ikan telah jadi makanan kelas atas). Ini penting karena kecenderungan sebagian masyarakat pesisir menghindari makan ikan karena masalah status. Di desa pesisir, seolah makan ikan identik kelas menengah-bawah. Karena itu, bagi mereka mengonsumsi ikan memiliki risiko psikososial. Namun bagi masyarakat pedalaman nonpesisir faktornya adalah sumber daya konsumen, yakni daya beli: harga ikan lebih mahal daripada di pesisir. Tapi dibandingkan daging sapi, daya beli mereka terhadap ikan lebih tinggi.
Kedua, penguatan kelompok acuan untuk melancarkan pengaruh informasi kedua jenis manfaat tersebut kepada khalayak luas. Ini bisa dikemas dalam kampanye yang sistematis ataupun komunikasi interpersonal. Di Jepang, ada lagu "wajib" sakana (ikan) bagi anak TK. Ini bentuk kampanye efektif buat anak-anak. Hal ini karena Jepang pun mulai khawatir dengan fenomena McDonaldization yang dianggap mengancam tradisi makan ikan di Jepang. Dokter, guru sekolah, dan keluarga merupakan kelompok acuan strategis untuk melancarkan pengaruh.
Ketiga, sisi suplai pun perlu disentuh dengan diversifikasi produk ikan sehingga lebih praktis dan variatif. Seperti, bakso ikan mestinya bisa menyubstitusi bakso sapi. Bagi masyarakat menengah ke bawah, konsumsi daging sapi tertinggi bisa jadi dalam bentuk bakso. Keempat, hal ketiga di atas menuntut ketersediaan ikan sepanjang tahun. Karena itu, sistem logistik ikan perlu segera dikembangkan.
Tentu, pendidikan konsumen tak hanya dalam konteks substitusi sapi dan ikan, tapi juga beras dan nonberas serta hortikultur. Mendidik konsumen untuk menemukan produk substitusi adalah sisi lain solusi krisis pangan, dengan tidak melupakan upaya kita untuk tetap berjuang mengatasi sisi suplai.
Arif Satria, Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB
(Kompas cetak, 26 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar