Perekonomian Indonesia sudah berulang kali mengalami gejolak. Yang terjadi pertengahan tahun ini tak seberapa dibandingkan dengan keadaan pada akhir tahun 2008. Kala itu nilai tukar rupiah melorot ke titik terendah, Rp 12.400 per dollar AS. Inflasi menembus dua digit di kisaran 12 persen selama Juli-November 2008. Cadangan devisa pada November 2008 masih sekitar separuh dari posisi akhir Juni 2013.
Ekspor melorot dari 140 miliar dollar AS pada tahun 2008 menjadi 120 miliar dollar AS pada tahun 2009. Tekanan berat juga terjadi pada penanaman modal asing langsung yang anjlok 53 persen, dari 9,3 miliar dollar AS pada tahun 2008 menjadi 4,9 miliar dollar AS pada tahun 2009.
Di tengah letupan krisis finansial global, perekonomian Indonesia masih bisa tumbuh 6,0 persen pada tahun 2008, turun hanya 0,3 persen dari tahun sebelumnya sebesar 6,3 persen. Tatkala dunia mengalami resesi setahun kemudian, perekonomian Indonesia masih bisa tumbuh positif 4,6 persen.
Salah satu kunci keberhasilan meredam gejolak eksternal adalah kebijakan fiskal yang antisiklikal, sebagaimana tecermin dari defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang meningkat tajam, dari hanya 0,08 persen produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2008 menjadi 1,58 persen PDB pada tahun 2009.
Konsumsi pemerintah naik cukup tajam pada tahun 2008 dan 2009, masing-masing sebesar 10,4 persen dan 15,7 persen. Pada tahun 2009, sumbangan konsumsi pemerintah terhadap pertumbuhan PDB mencapai 28,3 persen.
Sayangnya, sejak tahun 2012, konsumsi pemerintah melempem. Pada tahun 2012, konsumsi pemerintah hanya naik 1,2 persen dan pada triwulan I-2013 bahkan hanya 0,4 persen. Akibatnya, sumbangan konsumsi pemerintah terhadap pertumbuhan PDB hampir nihil, hanya 1,6 persen pada tahun 2012 dan 0,5 persen pada triwulan I-2013.
Kesamaan antara tahun 2009 dan 2013 adalah pada konsumsi rumah tangga yang tumbuh cukup kuat, sekitar 5 persen, sehingga menyumbang sekitar separuh pertumbuhan ekonomi. Konsumsi rumah tangga diperkirakan masih tetap cukup tinggi di kisaran 5 persen untuk jangka menengah ke depan.
Dengan demikian, penopang agar pertumbuhan ekonomi tahun 2013 mendekati target 6,3 persen adalah penanaman modal
asing langsung serta peningkatan ekspor dan pengendalian impor dengan cara-cara
cerdas.
Penanaman modal asing langsung masih berpotensi meningkat sehingga dapat mengompensasikan kecenderungan penurunan pertumbuhan kredit dari sumber-sumber pembiayaan dalam negeri, juga sekaligus mengimbangi fluktuasi tajam arus investasi portofolio, sehingga mampu menahan kemerosotan cadangan devisa lebih lanjut.
Langkah Bank Indonesia (BI) tampaknya cukup sigap dan terukur dengan kembali menaikkan BI Rate sebesar 50 basis poin menjadi 6,5 persen, menaikkan suku bunga deposit facility 50 basis poin menjadi 4,75 persen, dan mempertahankan lending facility pada aras 6,75 persen. Dengan kebijakan ini, laju inflasi diharapkan tak menjadi liar dan gejolak arus finansial bisa diredam.
Jika pemerintah pun bertindak dengan sigap dan penuh determinasi, niscaya keseimbangan eksternal akan segera pulih. Masyarakat tidak akan panik dengan menjual saham dan membeli valuta asing. Apalagi kalau para pemimpin memberikan contoh nyata dengan menjual kekayaannya dalam bentuk valuta asing.
Yang tak bisa ditawar adalah memobilisasikan segala daya untuk meningkatkan ekspor. Paket pembaruan yang komprehensif merupakan tuntutan untuk memperlancar arus ekspor. Industri manufaktur harus menjadi tulang punggung. Sangatlah memilukan kalau setelah hampir 68 tahun merdeka, tetapi hampir separuh ekspor total kita hanya disumbangkan oleh enam komoditas primer: batubara, gas alam, minyak sawit, minyak mentah, karet, dan tembaga.
Pada saat yang sama harus diupayakan agar impor lebih selektif, terutama impor dari China. Defisit perdagangan kita dengan China naik sangat tajam, dari hanya 3,9 miliar dollar AS pada tahun 2011 menjadi 8,1 miliar dollar AS pada tahun 2012.
Semakin derasnya produk-produk impor dari China ditengarai menekan produksi dalam negeri dan berpotensi menambah angka pengangguran. Diplomasi dagang dengan China harus kian gencar, termasuk pembukaan akses yang lebih luas bagi produk-produk ekspor kita di pasar China. Menteri Perdagangan jangan hanya sibuk menampilkan diri di televisi berkampanye untuk menjadi presiden atas biaya negara. Lakukanlah yang menjadi tugas hakiki Menteri Perdagangan, yakni mengamankan pasar dalam negeri dan membuka akses bagi produk-produk kita di luar negeri.
Selain langkah-langkah di atas yang harus dilakukan sekarang juga, ada satu pekerjaan rumah besar yang harus mulai ditangani, yakni penguatan sektor keuangan dalam negeri. Bagaimana mungkin kita bakal memiliki daya tahan yang semakin kokoh dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi, tetapi penopang dari dalam negeri tak kunjung menguat. Kita tidak bakal bisa berlari lebih kencang jika fungsi jantung jauh dari optimal.
Kita berpotensi mengalami terpaan lebih dahsyat sepanjang pemilikan saham oleh asing (non-residents) masih sangat tinggi, bahkan nilainya jauh melebihi cadangan devisa yang kita miliki. Ditambah lagi dengan porsi pemilikan asing terhadap keseluruhan surat utang negara yang juga relatif tinggi.
Untuk itu, tak ada cara lain agar mengalir darah segar baru di dalam perekonomian, kecuali dengan menghadirkan sesegera mungkin Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Jangan memandang SJSN sebagai beban atau ongkos karena SJSN merupakan investasi berkelanjutan yang memperkokoh kemandirian.
Faisal Basri - Ekonom
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar