Data tersebut harapan sekaligus pertanyaan. Harapan sebab 69,4 persen lulusan SMA, lebih dari separuh pendaftar dalam Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri 2013 (sekitar 407.000 dari 585.789 orang), ingin menjadi guru. Pertanyaannya, apakah data itu cermin perubahan positif terhadap profesi guru? Puluhan tahun profesi guru dan dosen terpuruk. Dicoba dengan segala cara agar pamornya naik, terakhir secara kelembagaan institut keguruan dan ilmu pendidikan diubah menjadi universitas dan perbaikan kesejahteraan. Namun, profesi guru tetap belum jadi pilihan pertama. Kita gembira. Sebab, keprihatinan rendahnya penghargaan pada profesi keguruan sudah berjalan cukup lama, mulai dari rendahnya kesejahteraan, selalu jadi kambing hitam kemerosotan mutu. Kalau benar gejala melonjaknya pendaftar identik naiknya minat jadi guru, itu perlu disyukuri.
Nyinyir sudah kita sampaikan penting dan strategisnya profesi guru. Kita tidak ingin sampaikan lagi. Kita mau ingatkan ke masih perlunya telaah mendalam tentang sebab-akibat dan logika melonjaknya minat pendaftar ke lembaga kependidikan dengan naiknya minat jadi guru. Jangan-jangan itu hanya strategi meraih gelar S-1 yang tak otomatis perubahan minat apalagi kecenderungan umum.
Gugatan di atas masuk akal. Ingin kita ke sampingkan jawaban atas gugatan ini, dan lebih penting solusi kita selamatkan mereka yang berminat ke profesi keguruan punya kemudahan daripada mereka yang menjadi guru karena kepepet (terpaksa).
UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen membolehkan semua sarjana dari program studi apa pun mengambil profesi guru. Itu karena dalam penerimaan calon guru yang lebih dipentingkan adalah kompetensi atas ilmu dan bukan kompetensi mendidik yang diperoleh dari pedagogi di lembaga kependidikan. Calon guru lulusan ilmu kependidikan potensial tergusur. Padahal, sarjana non-kependidikan menjadi guru karena kepepet setelah tidak diterima bekerja sesuai bidang yang mereka tempuh.
Guru itu pendidik, bukan hanya pengajar. Mengajar berarti menyampaikan ilmu, mendidik berarti menjadikan yang tidak terdidik menjadi terdidik. Yang pertama kurang menuntut pengembangan karakter, yang kedua sebaliknya. Oleh karena itu, ketika diprihatinkan masalah minimnya pendidikan karakter, salah satu penyebabnya terletak pada guru sekadar jadi pengajar bukan pendidik.
Usulan konkretnya, arahkan proses pendidikan mahasiswa program studi ilmu kependidikan bukan hanya ilmu, melainkan juga minat sebagai pendidik. Berikan kemudahan lulusan program studi kependidikan ketika berebut di lapangan kerja kependidikan dibandingkan dengan sarjana non-kependidikan. Terakhir, kembangkan, persubur, dan selamatkan minat dan kompetensi mereka sebagai pendidik dalam profesi keguruan.
(Kompas, 10 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar