Kenaikan harga tersebut wajar karena masyarakat memiliki kebiasaan menaikkan konsumsi pangan meskipun pada dasarnya bulan puasa adalah untuk menahan diri, termasuk terhadap konsumsi makanan.
Kenaikan harga pangan, terutama yang segar, menjelang Lebaran kali ini berbeda karena didahului kenaikan harga bahan bakar minyak pada akhir Juni lalu. Karena itu, beban inflasi menjadi lebih berat bagi masyarakat.
Pemerintah berusaha mengendalikan harga dengan segera mengimpor cabai dan daging beku, selain sapi hidup siap potong. Ini bertentangan dengan kebijakan mengutamakan peningkatan produksi dan nilai tambah di dalam negeri serta perluasan lapangan kerja.
Langkah tersebut memberi kesan reaktif, seolah tak ada perencanaan. Padahal, peningkatan konsumsi menjelang Lebaran rutin terjadi. Yang muncul di ruang publik justru saling menyalahkan antarlembaga pemerintah.
Lebih mendasar dari menjamin ketersediaan pangan menjelang Lebaran, lonjakan harga tersebut menuntut evaluasi menyeluruh sistem produksi dan tata niaga pangan nasional. Evaluasi penting agar kekisruhan tak terulang dan Indonesia mencapai target ketahanan pangan. Perubahan iklim dan konflik di sejumlah wilayah di dunia bukan mustahil membuat impor tak mungkin dilakukan.
Di sektor produksi dan budidaya ada banyak masalah. Mengacu pada hasil diskusi Forum Ekonomi Nusantara yang diselenggarakan Harian Kompas dan Bank BNI, Kamis lalu, laporan Badan Pemeriksa Keuangan tahun lalu menunjukkan, banyak program peningkatan produksi tak berjalan efektif, antara lain perluasan lahan, intensifikasi tanaman, penyuluhan, dan pengelolaan stok pangan.
Bank Dunia mengingatkan pentingnya sektor pangan untuk Indonesia. Namun, pengembangannya terkendala, antara lain, oleh transportasi dan logistik sehingga kelebihan produksi satu daerah menjadi tidak ekonomis saat didistribusikan ke wilayah lain.
Pelajaran mahal dari kenaikan harga pangan kali ini adalah kenaikan harga BBM jangan dilakukan menjelang hari besar keagamaan. Hal lain adalah kelalaian pemerintah mengurus petani, nelayan, dan peternak saat harga produk mereka jatuh. Kerugian petani selama setahun karena tidak ada manajemen stok pangan dikompensasi pada hari besar keagamaan, seperti Lebaran.
Impor pangan hanya obat untuk gejala suatu penyakit, tetapi penyakitnya belum disembuhkan. Agrobisnis pangan pekerjaan lintas sektor yang memerlukan konduktor untuk mengorkestrasi agar mencapai kinerja yang diinginkan. Tanpa pemecahan kreatif dan konsisten, lonjakan harga akan terjadi lagi menjelang Lebaran tahun depan. Jangan heran apabila muncul suara sumbang ada pemburu rente dalam impor pangan, terutama pada tahun politik 2014.
(Kompas, 20 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar