Kerusuhan terjadi di penjara yang kelebihan beban. Sejumlah bangunan LP dibakar. Sejumlah narapidana, termasuk napi teroris, kabur. Sebagaimana dilaporkan sejumlah media, kemarahan napi karena dipicu matinya aliran listrik dan tersendatnya pasokan air. Penyebab itu tentunya masih harus diselidiki karena ada juga spekulasi napi resah karena ada pengetatan pemberian remisi.
Menurut catatan Deputi Program Pusat Kajian Tahanan Gatot Goei, kerusuhan di LP Tanjung Gusta terbesar di Indonesia yang mengakibatkan lebih dari 100 napi melarikan diri. Peristiwa itu, menurut Gatot, disebabkan ketidaksiapan petugas LP mengamankan areal LP.
LP Tanjung Gusta, Medan, memang kelebihan beban. LP yang seharusnya hanya dihuni 1.054 warga binaan kini dijejali 2.600 narapidana. Meski demikian, kisah LP yang kelebihan beban adalah kisah lama yang tak kunjung selesai. Bukan hanya Tanjung Gusta, LP lain di Indonesia, ketika terjadi masalah di LP, kelebihan beban selalu disebut sebagai salah satu penyebab.
Kerusuhan di Tanjung Gusta sangat disesalkan dan itu menambah daftar hitam pengelolaan lembaga pemasyarakatan. Cerita di balik penjara tak beranjak dari isu penjara sebagai tempat peredaran narkotika, napi memiliki fasilitas khusus, dan isu miring lainnya.
Kementerian Hukum dan HAM, khususnya Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana, sebenarnya telah melakukan langkah progresif menata lembaga pemasyarakatan. Denny kerap melakukan sidak ke lembaga pemasyarakatan meski sidak itu sering mendapat perlawanan dari pihak lembaga pemasyarakatan sendiri.
Perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap sistem pemasyarakatan. Isu kelebihan kapasitas harus segera dicari solusinya. Apakah napi di LP yang kelebihan beban dipindah ke LP lain atau jika tak ada lagi tempat, harus dibangun LP yang baru.
Kita dorong Kementerian Hukum dan HAM membentuk tim menyelidiki latar belakang kerusuhan di sana. Apakah semata-mata karena faktor kelebihan kapasitas, listrik mati dan air yang tersendat, atau ada faktor lain yang justru lebih besar dari itu semua. Langkah darurat harus dilakukan, termasuk mengembalikan kendali LP ke tangan aparat yang berhak dan bukan di tangan napi. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan harus mengumumkan jumlah napi yang kabur dan siapa saja agar masyarakat bisa ikut membantu memberikan informasi.
Kita tak ingin kaburnya napi dianggap sebagai hal biasa saja, sama halnya dengan hilangnya 250 dinamit di Bogor yang sampai sekarang belum bisa ditemukan. Penangkapan kembali napi yang kabur harus jadi prioritas agar tak membuat masyarakat resah. "Pemberontakan" Tanjung Gusta bukanlah peristiwa biasa-biasa saja!
(Kompas, 13 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar