Pemerintah memang menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Negara Binaan. Intinya, PP itu memperketat pemberian remisi bagi terpidana korupsi, teroris, dan narkotika. Ketiga tindak pidana itu merupakan kejahatan berdampak luar biasa terhadap kemanusiaan.
Benarkah spekulasi keresahan napi atas terbitnya PP No 99/2012 tersebut masih harus dibuktikan dengan penyelidikan menyeluruh atas "pemberontakan" napi di Tanjung Gusta. Kita dukung langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang telah memerintahkan Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo memerintahkan penyelidikan menyeluruh soal terjadinya "pemberontakan" napi di LP Tanjung Gusta.
Penerbitan PP No 99/2012 itu tidaklah serta-merta. Pemerintah mencoba menanggapi kegeraman publik atas rendahnya vonis terpidana korupsi. Sudah vonis hakim terhadap terdakwa kasus korupsi rendah, napi masih diberi diskon melalui remisi. Akibatnya, terpidana korupsi hanya menjalani hukuman tidak lebih dari setengah dari vonis penjara yang diputuskan hakim. Dengan tidak adanya vonis yang bersemangatkan perampasan aset, napi masih bisa menikmati kekayaan hasil korupsi. Tak ada efek jera!
Hasil penelitian Rimawan Pradiptyo mengenai "Korupsi di Indonesia dalam Perspektif Ilmu Ekonomi" dalam buku Korupsi Mengorupsi Indonesia (2009) menunjukkan kerugian negara akibat korupsi selama kurun waktu 2001-2008 sebesar Rp 67,55 triliun, sementara putusan hakim hanya memerintahkan pengembalian Rp 4,76 triliun. Sisanya, Rp 62,79 triliun, dibayar pembayar pajak! Adapun rata-rata hukuman koruptor berkisar 25 bulan hingga 40 bulan penjara!
Kondisi itu mengoyak rasa keadilan publik. Korupsi atau perampokan uang negara merupakan pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak ekonomi, sosial, dan budaya. Uang negara yang dirampok itu seharusnya bisa dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur jalan, pembangunan gedung sekolah yang hampir ambruk, ataupun fasilitas publik lainnya.
Dengan latar belakang itu, pengetatan remisi adalah jawaban atas kegeraman publik. Bahwa ada perlawanan politik atau hukum terhadap PP itu sah saja dalam sebuah negara demokrasi. Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso dari Partai Golkar berkirim surat kepada Presiden Yudhoyono mengenai PP tersebut dan meminta Presiden memberikan solusi. Langkah uji materi PP juga diajukan ke Mahkamah Agung. Kita berharap pemerintah tidak melangkah mundur dalam memberantas korupsi di negeri ini meski akan ada perlawanan. Publik akan melihat tontonan di panggung politik dan hukum serta komitmen elite bangsa memberantas korupsi.
(Kompas cetak, 15 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar