Mengiringi kesuksesan revolusi shale-gas—walaupun ditentang oleh sejumlah kalangan di dalam negeri, terutama aktivis lingkungan—Pemerintah Amerika Serikat akhirnya mengumumkan izin bersyarat kepada proyek LNG Freeport di Texas untuk mengekspor gas bumi ke negara-negara yang tidak memiliki perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan AS.
Freeport mendapat izin mengekspor gas 1,4 miliar kaki kubik per hari selama 20 tahun. Ini adalah pemberian izin yang kedua, sebelumnya Terminal LNG Sabine Pass di Lousiana diberi otorisasi untuk mengekspor 2,2 miliar kaki kubik per hari. Hingga hari ini, ekspor belum berjalan karena masih menghadapi beberapa kendala domestik.
Seandainya ekspor gas dari AS sudah berjalan, diperkirakan akan terjadi pergeseran peta geo-energi yang berdampak terhadap kebijakan energi di sejumlah negara, yang berimbas terhadap harga komoditas, baik gas maupun minyak bumi.
Keberhasilan revolusi shale-gas AS akan segera diikuti oleh beberapa negara lain, seperti Arab, China, bahkan Indonesia. Arab Saudi sudah mencanangkan rencana eksplorasi shale-gas yang diklaim memiliki potensi terbesar kelima di dunia. Tidak mau kalah, China juga mengklaim memiliki potensi cadangan shale-gas, yang katanya lebih besar daripada AS dan berambisi memproduksi 100 miliar kubik meter gas sebelum 2020.
Indonesia melalui Pertamina sudah menandatangani kontrak bagi hasil shale-gas yang pertama pada 15 Mei 2013. Pemerintah RI memprediksi potensi cadangan shale-gas di Indonesia mencapai 574 triliun kaki kubik, tersebar di 60 cekungan. Kendati banyak kalangan yang meragukan angka-angka tersebut, Pemerintah Indonesia telah menerima sedikitnya 75 proposal dari sejumlah perusahaan asing untuk mengembangkan shale-gas di Indonesia. Diperkirakan potensi shale-gas di Indonesia dapat dikembangkan secara komersial dalam satu dasawarsa.
Australia jadi sekutu AS?
Di luar dugaan, dalam waktu yang tidak terlalu lama, Australia siap jadi sekutu AS membangun poros energi baru sebagai sentrum penghasil dan pengekspor gas bumi yang penting di Asia Pasifik. Australia dewasa ini memiliki cadangan gas nomor 12 terbesar di dunia, yaitu 110 triliun kaki kubik dan akan terus bertambah dengan ditemukannya beberapa cekungan migas baru.
Bahkan Australia kini sudah menjadi negara pengekspor gas keempat terbesar di dunia dan berkemas jadi salah satu sentrum gas dunia. Australia tengah mempersiapkan pembangunan tujuh kilang LNG baru dengan anggaran 200 miliar dollar AS. Apabila kelak seluruh kilang siap berproduksi, Australia sanggup mengekspor 95,7 juta ton per tahun, lima kali lipat volume ekspor Indonesia sekarang.
Kesuksesan AS mengembangkan shale-gas diikuti oleh keberuntungan luar biasa dalam meningkatkan cadangan dan produksi minyak bumi. Sejak 2011, produksi minyak AS meningkat sekitar 30 persen dari 5,5 juta barrel per hari menjadi 7,2 juta barrel per hari. International Energy Agency (IEA) memprediksi, pada 2017, produksi minyak AS akan melampaui produksi minyak Arab Saudi.
Sementara itu, mengiringi booming minyak di AS, Irak diprediksi akan bangkit dan mampu menaikkan produksi hingga 6 juta barrel per hari pada 2020, bahkan bisa melebihi 8 juta barrel per hari pada 2035, dengan ongkos produksi jauh lebih murah dibandingkan di AS. IEA memprediksi, dalam dua dekade, Irak akan menggeser kedudukan Rusia sebagai negara pengekspor minyak terbesar kedua di dunia.
Kendati produksi minyak di AS dan Irak akan mengalami pelonjakan yang luar biasa, kapasitas produksi minyak di kawasan lain—seperti Arab Saudi, sebagian negara OPEC, bahkan Indonesia—diprediksi akan terus turun, sehingga banyak kalangan percaya harga minyak dunia tak bakal jatuh. Sebaliknya cenderung meningkat walaupun tidak sedahsyat perkiraan awal.
Pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, memang tidak setinggi China. Namun, sebagian bertahan pada kisaran 6 persen sehingga permintaan energi tetap meningkat secara konsisten. Sementara itu, kemampuan ekspor negara-negara OPEC, terutama Arab Saudi, tertekan karena melonjaknya kebutuhan domestik.
Dampak bagi Indonesia
Dari kontroversi di atas, dengan fenomena booming minyak AS ditambah Irak, harga minyak dunia dipercaya tidak akan turun bahkan cenderung naik kendati tidak sedahsyat perkiraan awal. Sebagian analis IEA menduga harga minyak dunia mencapai 125 dollar AS per barrel pada 2035, bandingkan harga minyak Brent pada hari ini yang bergerak sekitar 100 dollar AS per barrel.
Bagaimana dengan Indonesia? Kenaikan harga BBM baru-baru ini memang untuk sementara berhasil menekan volume impor minyak mentah dan BBM. Namun, dengan tingkat pertumbuhan ekonomi sekitar 6 persen per tahun, konsumsi BBM akan meningkat secara konsisten. Sayangnya hal itu belum diimbangi peningkatan produksi migas yang sepadan sehingga defisit neraca perdagangan migas yang pada tahun 2012 mencapai 5,6 miliar dollar AS akan sulit ditekan, bahkan cenderung terus membesar.
Serupa dengan minyak, dampak booming gas—jika AS benar- benar merealisasikan ekspor gas ke negara-negara non-FTA, ditambah membanjirnya gas dari Australia—adalah penurunan harga gas, terutama bagi kontrak-kontrak gas baru. Indonesia terancam kehilangan devisa cukup signifikan apabila proyek-proyek gas baru, seperti Masela, Donggi-Senoro, dan East Natuna, terlambat dan baru berproduksi selepas 2017.
Tak heran bila para kontraktor pengembang gas di Indonesia cenderung mengulur-ulur waktu pengembangan lapangan serta meminta berbagai tambahan insentif. Hal itu karena para investor khawatir setelah 2020 harga gas bumi, khususnya untuk ekspor, akan jatuh di bawah 10 dollar AS per seribu kaki kubik. Adapun harga gas domestik tidak beranjak naik, sementara semakin banyak volume gas dibutuhkan di dalam negeri. Ini adalah kesempatan untuk "memaksa" kontraktor mengalokasikan gas ke dalam negeri sebanyak mungkin.
Pergeseran peta "geo-energi" dunia tampaknya belum berpihak kepada peningkatan cadangan migas Indonesia.
Eddy Purwanto
Deputi BP Migas 2002-2009
(Kompas cetak, 22 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar