Ramadhan kembali datang. Semestinya kedatangan bulan puasa tidak sekadar perjalanan waktu, tetapi bagi kaum Muslim Indonesia mestinya merupakan kesempatan untuk mencapai derajat takwa (Al Baqarah, 2:183).
Boleh jadi ibadah Ramadhan 1433 Hijriah lalu telah berhasil mengangkat harkat al-sha'imin wa al-sha'imat (mereka yang puasa) ke tingkat takwa. Tetapi, ketakwaan boleh jadi pula menurun sepanjang pasca- Ramadhan seperti ditegaskan hadis Nabi Muhammad SAW, keimanan juga bisa meningkat dan merosot (al-iman yazid wa yanqus).
Ibadah puasa juga adalah latihan pembentukan integritas, kepaduan pribadi, yang kafah dan tawhidik, tauhid. Melalui ibadah puasa—yang harus dikerjakan dalam waktu dengan tata cara dan disiplin tertentu sangat ketat—mereka yang berpuasa dapat membangun atau memperkuat integritas, yang bermula pada pribadi, selanjutnya dapat terwujud pula dalam keluarga, masyarakat, umat dan bangsa.
Disintegritas pribadi dan publik
Puasa, seperti ibadah-ibadah lain dalam Islam, meniscayakan integritas. Orang beriman dan berislam tidak cukup hanya ketika bersembahyang, berpuasa, berzakat dan berhaji, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Keimanan dan keislaman mestinya juga terlihat di kantor, di pasar, di sekolah, di jalan raya, dan seterusnya. Jika tidak, yang terlihat dalam ruang-ruang itu adalah disintegritas orang beriman dan berislam.
Jika dikontraskan dengan tujuan ibadah puasa, bisa dipastikan salah satu masalah besar yang dihadapi Indonesia sampai sekarang ini adalah merosotnya integritas diri, baik pribadi maupun publik. Terlihat jelas disintegritas pada berbagai tingkatan kehidupan sejak dari pribadi sampai masyarakat dan bangsa. Adanya disintegritas mencerminkan belum tercapainya derajat takwa, yaitu terpeliharanya mereka yang beriman dari pelanggaran terhadap ajaran dan nilai agama. Disintegritas itu sekaligus memperlihatkan split personality, pribadi terbelah, tidak menyatu dan tidak tawhidik.
Dalam disintegritas pribadi, banyak kaum beriman yang berpuasa dan mengerjakan ibadah-ibadah lain—baik wajib maupun sunah—melakukan tindakan tidak terpuji yang melanggar ajaran dan nilai agama, ketentuan hukum negara-bangsa, adat istiadat dan kesantunan umum. Lebih jauh, pelanggaran tersebut bukan hanya bertentangan dengan esensi dan tujuan ibadah, melainkan juga dengan keadaban pribadi dan publik.
Akibatnya terlihat jelas adanya ironi pahit. Dari tahun ke tahun terus terjadi meningkatnya kesemarakan keagamaan. Orang beriman berlomba-lomba mendirikan rumah ibadah yang banyak dan kian megah. Makin banyak pula yang naik haji, umrah, dan ziarah keagamaan dan rohani lain. Simbolisme keagamaan lain, seperti jilbab, peci haji, atau baju koko, juga kian merambah ranah publik.
Tetapi pada segi lain, terlihat jelas pula makin terpuruknya integritas personal dan publik. Bisa disaksikan kian merajalelanya korupsi, narkoba, dan berbagai bentuk penyakit sosial lain. Orang-orang kelihatan tidak gentar menghadapi ancaman hukuman negara dan neraka seperti ditegaskan Kitab Suci.
Pada saat sama, angkara murka juga meluas dalam bentuk intoleransi dan kekerasan. Mereka yang merasa punya kekuatan semaunya menindas kelompok yang dianggap menyimpang. Orang berlomba-lomba melampiaskan insting paling primitifnya, yang dalam terminologi Islam disebut nafs al-ammarah dan nafs al-lawwamah untuk menindas orang lain.
Asketisme dan "qana'ah"
Bagaimana seharusnya hawa nafsu bisa dikendalikan? Ibadah puasa adalah latihan pengendalian hawa nafsu angkara murka agar dapat memiliki al-naf al-muthma'innah, hawa nafsu terkendali dan tenang. Tetapi, agar tujuan ini berhasil secara nyata, ibadah puasa hendaknya tidak dijadikan sekadar pemenuhan kewajiban keagamaan belaka. Lebih daripada itu, ibadah puasa hendaknya menjadi salah satu lokus penting bagi peningkatan rohani ke maqamat (posisi kerohanian) lebih tinggi.
Para pengamal tasawuf (mutashawwifun atau kaum sufi) menjadikan puasa— baik Ramadhan, Senin dan Kamis, maupun puasa Nabi Daud (selang hari)—sebagai ibadah sangat penting untuk mencapai kesempurnaan rohani. Dengan tingkat maqamat lebih tinggi dan selalu meningkat, mereka dapat mencapai ma'rifat ('pengetahuan tentang Tuhan') untuk selanjutnya bisa membuka "hijab" yang menghalangi komunikasi dan hubungan dengan Tuhan.
Karena itu, puasa adalah salah satu lokus penting bagi aktualisasi asketisme, yang dalam istilah tasawuf (sufisme) disebut sebagai zuhud. Hidup sederhana dengan pengendalian hawa nafsu secara ketat (zuhud) sering disalahpahami sebagai 'meninggalkan kehidupan duniawi'. Padahal, zuhud secara sederhana bermakna sebagai kemampuan mengendalikan hawa nafsu duniawi dan material yang dapat membuat manusia terpuruk ke dalam lembah kenistaan tidak berdasar.
Dalam konteks itu, seseorang boleh saja kaya, tetapi ia zuhud dengan membuat dirinya tak dikendalikan hawa nafsu jasmaniah dan material. Dengan pengendalian diri, seseorang yang zuhud justru memanfaatkan dunia material dan fisik untuk mencapai tujuan kerohanian lebih tinggi.
Lebih jauh, dengan zuhud dapat dikembangkan sikap qana'ah, bersyukur, dan merasa puas dengan rezeki dan nikmat yang diberikan Tuhan kepadanya. Dengan sikap qana'ah, seseorang tidak ngoyo dan, karena itu, terjauh dari hawa nafsu rakus—yang terlihat kian tidak terkendali dalam kehidupan negara-bangsa kita. Berapa banyak terlihat orang yang begitu rakus harta, rakus kekuasaan, dan bahkan rakus seks, yang belakangan kian sering pula digunakan sebagai alat gratifikasi.
Jika puasa dapat kembali memperkuat integritas, orang beriman mesti memahami ibadah ini sebagai latihan asketisme untuk menumbuhkan sikap qana'ah. Dengan asketisme dan qana'ah yang dilatih selama puasa Ramadhan dan diaktualisasikan dengan komitmen dan konsistensi di sepanjang tahun, insya Allah, pribadi masyarakat dan bangsa kita dapat kembali menegakkan integritasnya.
Azyumardi Azra
Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta; Anggota Council on Faith, World Economic Forum, Davos
(Kompas cetak, 19 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar