Berbagai kasus konflik agama, terakhir kasus Sampang, memperlihatkan betapa kompleks penanganan kehidupan umat beragama di Tanah Air.
Dalam konteks penegakan nilai-nilai demokrasi dan kebebasan sipil, gejala tersebut menjadi tantangan paling nyata bagi kehidupan beragama di negeri ini. Jika persoalan ini dibiarkan tanpa solusi yang tuntas-menyeluruh, tak ada jaminan bahwa persoalan yang sama tak akan terulang di kemudian hari.
Dalam konteks ini, hal paling mendesak dilakukan oleh agen-agen negara (baca: lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif) adalah menggarisbawahi batas-batas jaminan kebebasan beragama di Tanah Air; apakah kebebasan beragama sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 itu benar-benar ada atau tidak? Apakah kebebasan itu merupakan kebebasan bersyarat atau tidak? Dengan kata lain, kebebasan seperti apa yang dikehendaki sejumlah peraturan perundang-undangan kita?
Selain itu, negara harus segera menuntaskan sejumlah istilah "bersayap" yang selama ini dianggap problematik dan sering menjadi onak duri dalam kehidupan beragama kita. Di antara istilah tersebut adalah aliran sesat dan penghinaan terhadap ajaran agama. Pertanyaannya: kapan sebuah sekte, doktrin, atau aliran keagamaan tertentu dapat diklasifikasikan sebagai sesat atau menghina agama dan, karena itu, harus diberangus?
Politik elektoral
Kasus Sampang semestinya tidak perlu terjadi seandainya negara mampu memfungsikan dirinya secara maksimal sebagai agen pengurai persoalan. Terpenting lagi, negara harus mampu menjauhkan diri dari bias-bias politik elektoral. Yang dimaksud dengan bias politik elektoral di sini adalah masuknya faktor kepentingan politik akibat kalkulasi untung-rugi di tingkat akar rumput. Tidak dapat dimungkiri, bias-bias kepentingan dapat mengintervensi, bahkan menghegemoni agen-agen negara sehingga produk kebijakannya tidak adil bagi masyarakat kebanyakan.
Dalam konteks politik elektoral, ketiadaan atau keengganan negara bertindak dalam kasus intoleransi beragama dapat dipahami sebagai strategi politik yang dirancang untuk menjaga keseimbangan elektoral. Dalam hal ini, tindakan menegakkan konstitusi jelas bukan tindakan populer dan, karena itu, cenderung dihindari oleh agen-agen negara. Hal ini dapat dipahami karena tindakan tegas terhadap para pelanggar kebebasan beragama dapat berimplikasi pada pergerakan negatif pendulum elektoral. Ibarat buah simalakama: maju kena, mundur kena.
Namun, penerapan strategi elektoral tersebut harus ditebus dengan harga mahal: digadaikannya jaminan kebebasan beragama demi menghindari penggerusan suara di tingkat akar rumput. Dalam kondisi semacam ini, kelompok minoritas menjadi pihak paling rentan menjadi korban pelanggaran. Faktor inilah yang menyebabkan alat-alat negara enggan menunjukkan sikap pemihakan yang tegas terhadap supremasi hukum dan konstitusi. Sebaliknya, mereka cenderung "membeli suara" dengan cara diam dan abstain.
Oleh karena itu, konflik sosial dalam konteks politik elektoral dapat bermakna dua hal sekaligus: bencana dan berkah terselubung, blessings in disguise. Dikatakan bencana karena negara "terpaksa" abstain dan bahkan mengabaikan konstitusi demi menghindari pergerakan negatif pendulum elektoral.
Sementara itu, konflik sosial dapat dimaknai sebagai berkah terselubung karena alat-alat negara—yang sebagiannya dihuni oleh orang-orang parpol—dapat "mengail di air keruh".
Dengan kata lain, negara sedang berselancar secara politik di atas gelombang arus elektoral yang justru menjauhkan negara dari konstitusi. Negara tidak hadir dalam penegakan konstitusi. Dalam konteks ini, gerak negara dikerdilkan oleh hasrat elektoral yang diembuskan oleh nalar politik yang menguasai alat-alat negara. Setali tiga uang adalah sikap para tokoh politik. Sikap mereka idem ditto dengan sikap negara. Mereka tidak berani mengambil risiko kehilangan basis elektoral akibat pemihakan kepada supremasi hukum dan konstitusi.
Fungsi negara
Untuk mencegah semakin memburuknya situasi di daerah konflik, sudah saatnya negara meninggalkan strategi politik elektoral untuk kemudian mengambil tindakan pemihakan aktif atas supremasi hukum dan konstitusi. Kata memihak jelas berbeda dengan berpihak. Jika kata berpihak hanya mengimplikasikan keberpihakan pasif, di dalam memihak terdapat tindakan aktif untuk menegakkan supremasi hukum dan konstitusi. Artinya, negara harus "pasang badan" demi ketegakan supremasi hukum dan konstitusi.
Dalam konteks keberpihakan aktif tersebut, negara semestinya memainkan lima fungsi berikut ini.
Pertama, fungsi komunikasi dan penerangan. Artinya, negara harus menjalankan fungsi komunikasi di antara pihak-pihak yang bertikai untuk mencairkan kesalahpahaman di antara mereka. Mereka tidak mungkin bertikai hanya semata-mata karena berbeda secara teologis dan ideologis. Akumulasi berbagai faktor seperti politik, ekonomi, dan sosial pasti berkontribusi terhadap memburuknya kesalahpahaman di antara mereka.
Kedua, fungsi edukasi dan advokasi. Semestinya negara mengambil peran aktif mengedukasi masyarakat untuk bersama-sama menegakkan hukum dan konstitusi. Perlu juga diadvokasikan agar masyarakat menghindari cara-cara main hakim sendiri dan kekerasan dalam menyelesaikan konflik. Masyarakat harus diadvokasi bahwa kepenganutan terhadap aliran tertentu merupakan hak setiap warga negara yang dilindungi undang-undang. Artinya, sejauh tidak ditemukan unsur pelanggaran hukum dalam kepenganutan tersebut, eksistensinya tidak boleh diberangus.
Ketiga, fungsi pencegahan (preventif). Jauh sebelum api konflik berkobar, negara semestinya mampu mencegah meletusnya konflik melalui manajemen konflik yang sehat dan bermartabat. Dalam konteks ini, relokasi warga Syiah ke tempat pengungsian tidak akan meredam api konflik, tetapi justru memeliharanya menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Keempat, fungsi penyembuhan (kuratif). Jika pun konflik tidak dapat dihindari akibat "kelalaian" pihak-pihak terkait, negara harus mengupayakan metode rekonsiliasi dan resolusi konflik yang adil dan bermartabat di antara pihak-pihak yang bertikai. Harus ada upaya pemetaan terhadap akar masalah secara menyeluruh untuk kemudian melokalisasi agar tidak menjalar ke mana-mana.
Kelima, fungsi penindakan melalui pemberian sanksi bagi yang melanggar. Siapa pun di antara pihak-pihak yang bertikai yang mencoba melawan konstitusi harus ditindak secara tegas berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Negara harus menegakkan supremasi hukum dan konstitusi di atas segala-galanya. Hanya dengan cara-cara semacam inilah, situasi dapat dikendalikan dan dipulihkan kembali.
Mengutip Jokowi, negara tidak boleh kalah. Saatnya negara memihak!
Masdar Hilmy
Dosen IAIN Sunan Ampel dan Editor-in-chief Journal of Indonesian Islam;
Ini merupakan Pendapat Pribadi
(Kompas cetak, 13 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar