Utang Pemerintah Indonesia pertengahan tahun 2013 menumpuk hingga Rp 2.023 triliun. Itu berarti rata-rata satu warga negara Indonesia menanggung utang Rp 8,5 juta. Dampaknya, rakyat semakin miskin.
Total sejak 2004 hingga saat ini peningkatan utang semasa pemerintahan SBY Rp 724,22 triliun. Akhir 2004 utang pemerintah masih Rp 1.299,50 triliun. Kenaikan yang amat signifikan ini berdampak pada APBN yang kian tergerus karena harus bayar cicilan pokok dan bunga utang.
Pada 2013, misalnya, pemerintah berencana membayar cicilan pokok dan bunga: Rp 299,708 triliun, 17,3 persen dari total belanja negara pada APBN Perubahan 2013 (Rp 1.726,2 triliun). Pada 2013 total anggaran kemiskinan Rp 115,5 triliun, hanya 6,7 persen dari total belanja negara. Politik anggaran pemerintah kontras: memilih menyubsidi orang kaya pemilik surat berharga negara daripada menyubsidi BBM untuk rakyat miskin.
Utang luar negeri secara bilateral banyak berasal dari Jepang: rata-rata Rp 259,64 triliun per tahun, 38,3 persen dari total utang per tahun. Utang dari hubungan multilateral yang berasal dari Bank Dunia, menurut data Dirjen Pengelola Utang, per Mei 2013 sekitar Rp 122 triliun, 21 persen dari total utang. Bank Pembangunan Asia per Mei 2013 menyumbang Rp 95,77 triliun, 16 persen dari total utang luar negeri. Data itu belum termasuk Surat Berharga Negara (SBN) dan valas.
Jika demikian halnya, mimpi rezim pemerintahan yang antiutang luar negeri pupus sudah. Setelah Soeharto, sepertinya warisan utang menggunung menjadi tradisi peninggalan dosa rezim untuk anak cucunya.
Dengan beban utang yang kian besar setiap tahun, dan tak diimbangi dengan peningkatan pendapatan, APBN dikhawatirkan jebol dan negara bisa bangkrut. Total pembayaran cicilan pokok dan bunga utang dalam negeri dan luar negeri saja (2005-2012): Rp 1.584,88 triliun.
Selain menyedot uang negara dalam jumlah besar, dana asing berbentuk utang dan hibah luar negeri juga membuat intervensi mendalam terhadap kebijakan ekonomi. Sejumlah kebijakan dan puluhan UU yang merugikan kepentingan nasional adalah produk tak langsung dana asing itu, antara lain UU No 22/2001 Migas yang belum direvisi, UU No 7/2004 Sumber Daya Air, UU No 30/2007 Energi, UU No 25/2007 Penanaman Modal, UU No 9/2009 Badan Hukum Pendidikan, UU No 19/2003 BUMN, dan UU No 27/2007 Pengelolaan Pesisir dan Pulau Kecil.
Beberapa UU itu secara jelas menjadikan kepentingan nasional subordinat dari kepentingan modal asing di Indonesia. Bahkan, melalui UU Penanaman Modal, pihak asing dapat menguasai sektor strategis di Indonesia hingga 95 persen. Perusahaan asing juga mendapat fasilitas dan hak yang sama dengan perusahaan dalam negeri.
Mengapa pemerintah mengingkari fakta itu dan terus menambah utang luar negeri dan dalam negeri?
Setidaknya empat argumenta- si yang selalu digembar-gemborkan setiap tahun.
Pertama, utang pemerintah diperlukan untuk membiayai defisit APBN. Kedua, meskipun nominal meningkat, rasio terhadap PDB dalam posisi aman. Ketiga, utang pemerintah diarahkan untuk mendapatkan pembiayaan publik dengan biaya dan risiko rendah dan jangka panjang. Keempat, pengelolaan fiskal dan utang semakin baik.
Menyesatkan
Argumentasi pemerintah itu, jika tak diperbaiki, menyesatkan. Ada indikasi, defisit APBN semakin menggelembung tiap tahun. Neraca yang defisit hanya ditindaklanjuti dengan solusi instan: utang, bukan menaikkan pendapatan negara dari usaha asing dan sumber daya alam kita.
Terkait rasio dengan PDB, melihat dengan kacamata itu tampak manis: rasio pinjaman, SBN, dan PDB setiap tahun menurun. Hingga 2013 hanya berkisar 16,6 persen hingga 23,1 persen. Bahkan, pada 2012 Indonesia dalam rasio utang dengan PDB lebih baik dari negara yang mengalami krisis, seperti Italia (127 persen), Jerman (82 persen), Jepang (237 persen), atau AS (106,5 persen). Rasio PDB adalah total produksi dalam negeri beserta asing. Bagaimana dengan rasio produk nasional bruto? Tentu hasilnya akan beda terkait produksi dalam negeri tanpa asing.
Alih-alih dengan argumen risiko rendah dan jangka panjang, hantu jatuh tempo utang justru makin mengancam. Obligasi rekap BLBI jatuh tempo pada 2033 dengan nilai Rp 127 triliun. Ini mengerikan. Perampokan oleh pengusaha hitam, tetapi beban utangnya dibiayai negara.
Jika terus dibiarkan, utang pemerintah akan jadi bom waktu ekonomi Indonesia dan mempernganga jurang antara pemodal dan rakyat miskin. Langkah lebih radikal barangkali perlu dipikirkan oleh pemerintahan SBY: moratorium utang pemerintah. Meski bukan ide baru, moratorium utang, khususnya dalam negeri, ini cukup realistis karena mayoritas utang dalam negeri sekitar 64 persen dari total utang. Utang dalam negeri itu dinikmati bank pemerintah atau swasta. Pemerintah mudah mengambil sikap tegas.
DPR sebagai pengawas pemerintah yang tak pernah dilibatkan dalam membahas utang harus mengambil langkah politik yang tegas untuk menghentikan utang dan mendesak pemerintah agar tak meneruskan obligasi rekap yang hanya menguntungkan pengusaha nakal era Orde Baru yang saat ini terus menyusu kepada negara.
Apung Widadi
Peneliti Politik Anggaran
di Indonesia Budget
(Kompas cetak, 13 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar