Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 08 Januari 2014

Korupsi Bukan Cuma Soal Uang (Todung Mulya Lubis)

TAK satu negara pun yang bisa mengukur korupsi aktual yang terjadi. Semua studi dan penelitian mengenai korupsi hanya bisa datang dengan estimasi korupsi dalam satu-dua kasus yang pasti tak menggambarkan aktualitas korupsi.
Paling banter kondisi korupsi itu dilihat dari persepsi masyarakat tentang korupsi yang didapatkan dari survei seperti yang dilakukan oleh Transparency International atau KPK, misalnya. Beberapa studi yang mencoba menghitung korupsi aktual akhirnya mengakui bahwa studi mereka gagal dalam mendeteksi korupsi yang memang tidak bisa terjangkau, terutama karena korupsi yang begitu menyebar secara horizontal dan vertikal.

Kalaupun studi mengenai korupsi aktual itu terjadi, itu akan bisa dilakukan pada kasus- kasus tertentu, seperti yang dilakukan Benjamin W Olken, ekonom dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), dalam tulisannya "Monitoring Corruption: Evidence From a Field Experiment in Indonesia".

Olken meneliti mengenai korupsi aktual dalam pembangunan proyek jalan di 600 desa. Ia membandingkan biaya aktual proyek dengan biaya estimasi proyek yang dibuat secara independen. Setiap unit biaya diteliti (semen, aspal, dan lain-lain). Dari hasil studi tersebut bisa dilihat selisih dana yang cukup signifikan.

Olken mengatakan bahwa dana yang hilang itu berkisar pada angka 24 persen untuk setiap proyek yang didapat dari selisih biaya resmi proyek jalan dikurangi biaya estimasi independen dari ahli teknik. Inilah yang dia sebut sebagai missing expenditure.

Kalau angka 24 persen ini dijadikan patokan, bisa dibayangkan berapa banyak dana yang hilang atau dikorupsi dalam sejumlah proyek. Namun, saya masih meragukan angka 24 persen itu sebagai angka korupsi aktual karena kualitas jalan yang di bawah standar juga harus dihitung sebagai korupsi aktual tambahan. Alhasil, kita bisa jadi dapat persentase lebih besar. Namun, ini kan baru untuk proyek jalan di 600 desa tersebut?

Saya tidak percaya kita bisa melakukan generalisasi atas semua proyek pengadaan yang kompleksitasnya berbeda-beda. Apakah dalam kasus Hambalang, Wisma Atlet, pembangkit listrik, pelabuhan udara, dan gedung pemerintahan  kita akan mendapat angka yang sama? 
Hampir pasti, jawabannya tidak sama.

Banyak bentuk korupsi
Selain itu, korupsi bukan soal pengadaan semata. Banyak bentuk korupsi lain yang terjadi, baik itu dalam sejumlah pemberian izin monopoli impor atau ekspor maupun penghindaran pajak, bea masuk, dan penyunatan dana bantuan, termasuk bantuan untuk bencana. Malah ada proyek yang pada dasarnya bukan korupsi, melainkan bisa dilihat sebagai korupsi.

Sebuah kabupaten membangun bandara yang megah, padahal itu tak diperlukan karena di ibu kota provinsi sudah ada bandara memadai. Namun, bandara itu tetap dibangun sebagian karena gengsi ingin punya pelabuhan udara megah, sebagian karena persaingan dengan provinsi. Kalau diselisik, di situ tidak ada korupsi. Secara akuntansi tidak ada pengeluaran yang tidak dipertanggungjawabkan. Tidak ada suap. Namun, untuk apa bandara tersebut dibangun? Tak banyak gunanya. Mubazir. Di sini yang terjadi adalah misuse of power yang pada hakikatnya juga korupsi. 

Jadi, begitu banyak tipologi korupsi yang tak mungkin semuanya bisa dijangkau. Tanpa mengurangi apresiasi terhadap semua studi kasus mengenai korupsi aktual, saya harus mengatakan bahwa kita hanya akan bisa memperkirakan korupsi yang terjadi dan mereka-reka jumlahnya. Jumlahnya memang tak sedikit. Coba lihat kasus-kasus korupsi yang putusannya dibuat pengadilan dalam beberapa minggu terakhir.

Dalam kasus Angelina Sondakh, ada denda Rp 500 juta dan uang pengganti  Rp 12,58 miliar dan 2,35 juta dollar AS atau keseluruhannya sekitar Rp 39,6 miliar. Dalam kasus Irjen Djoko Susilo ada denda Rp 1 miliar dan uang pengganti Rp 32 miliar. Lalu, dalam kasus Luthfi Hasan Ishaaq, ada denda Rp 1 miliar. Dalam kasus korupsi yang melibatkan mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Deli Serdang, Faisal, hukuman dendanya Rp 500 juta dan uang pengganti Rp 98 miliar.

Jumlah denda dan uang pengganti ini tidak kecil dan jika semua kasus korupsi didata, kita akan dapat angka yang jumlahnya cukup besar. Namun, sekali lagi, jumlah uang denda dan uang pengganti tak bisa ditafsirkan sebagai korupsi aktual yang terjadi. Jumlah uang yang dikorupsi di luar mereka yang ditangkap jauh lebih besar. Angka ini masih jauh dari korupsi yang terjadi.

Lebih baik saat ini kita bersyukur karena lembaga pengadilan memulai tradisi baru menjatuhkan pidana penjara yang berat kepada para koruptor, seperti Angelina Sondakh yang dihukum 14 tahun penjara, Luthfi Hasan Ishaaq dihukum penjara 16 tahun, Djoko Susilo dihukum penjara 18 tahun, dan Faisal dihukum penjara 12 tahun. Hukuman seberat ini adalah hukuman berat, apalagi kalau kepada mereka tak diberi remisi. 

Sekali lagi saya tak mencegah ikhtiar mengetahui korupsi aktual karena itu sangat penting. Namun, saya harus mengatakan bahwa dalam banyak ikhtiar usaha itu tak mencapai hasil yang maksimal.

Sangat mahal
Dari semua studi yang ada, kita tetap bisa membuat kesimpulan bahwa ongkos korupsi itu sangat mahal walaupun bisa dikatakan bahwa estimasi moneter atau nilai persentase korupsi itu tak mencerminkan angka sebenarnya dan, karenanya, tak pernah menjadi jantung dari diskursus mengenai korupsi. Kenapa? Karena pada dasarnya korupsi itu rahasia, tanpa jejak (kalau bisa). Peter John Perry mengatakan, "Corruption is a secret and secretive practice which aims to leave no traces."

Dalam bagian lain dari tulisannya, Political Corruption and Political Geography, Perry mengatakan, "Unsurprisingly some undoubted experts abandon all idea of measurement, the loss to the public is colossal and impossible to estimate". Memang, korupsi pada akhirnya bukanlah soal uang semata-mata. Korupsi pada gilirannya akan merusak tatanan kebangsaan, demokrasi, rule of law, dan legitimasi negara.

Korupsi akan merusak pabrik sosial kita. Korupsi akan membelah bangsa ini dengan luka penuh darah dan tak mudah disembuhkan. Korupsi akan membuat pertanyaan menjadi sah: apa guna kita bernegara?

Todung Mulya Lubis, 
Fellow, Ash Center,
Harvard Kennedy School;
Ketua Umum Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003869338
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger