Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 20 Januari 2014

Mendagri dan Proyeksi Bencana Aceh (USMAN HAMID)

AKHIR   tahun lalu, tepatnya 27 Desember 2013, DPR Aceh mengesahkan Rencana Tata Ruang Aceh yang baru.
Tiga hari kemudian, kalangan mahasiswa, aktivis, dan perwakilan warga berdemonstrasi di depan gedung DPRA. Isu ini heboh di Aceh, tapi sepi dari perhatian publik nasional. Ada apa?

Pasca-Perjanjian Helsinki, Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menerbitkan serangkaian kebijakan di bidang pembangunan ekonomi. Niatnya baik. Pemerintahan terpilih berusaha menyediakan lapangan usaha bagi warganya yang pernah angkat senjata.

Lebih dari itu adalah membangkitkan ketenangan dan kesejahteraan orang Aceh. Pada era Soekarno hingga awal rezim Soeharto, Aceh jadi salah satu lumbung padi Indonesia, bahkan Asia. Namun terpuruk sejak Aceh ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) pada 1989.

Kali ini, DPR Aceh memandang perubahan rencana tata ruang ini mendesak. Mereka menilai yang lama tak memungkinkan bagi Aceh bisa mengelola sumber kekayaan alamnya sendiri dan untuk kesejahteraan rakyat mereka sendiri. Dari proyek perkebunan sawit berskala besar sampai pertambangan emas. Ini dapat dimengerti.

Namun, masalahnya tak sesederhana itu. Urusan hutan di Aceh ini telah dibahas sejak lama dan sempat jadi isu kontroversial awal 2013. Saat itu ada kabar Pemerintah Aceh akan membuka lahan hutan lindung seluas 1,2 hektar demi perkebunan sawit dan pertambangan. Jika ini benar, jelas terbentang potensi bencana alam di masa depan.

Kita wajib menghormati otoritas pemerintahan Aceh, termasuk DPR Aceh. Namun, tak berarti kita tak boleh menyampaikan kritik dan peninjauan ulang.  Apalagi  jika ada potensi bencana di balik keputusan itu. Kunci akhir keputusan ini ada di tangan Kementerian Dalam Negeri.

Pertama, sejak 2000 hingga 2012, Indonesia mengalami deforestasi yang amat drastis. Tak terkecuali di Aceh. Pada jangka pendek, tentu investasi perkebunan dan tambang bisa menghasilkan pendapatan besar. Dampak jangka panjangnya tak kalah serius. Sekarang saja ada banjir bandang, longsor, jalan rusak, atau rumah-rumah roboh dan jatuh korban jiwa. Rakyat Aceh juga yang menderita.

Kedua, analisis dampak lingkungan yang beredar di tangan Pemerintah Aceh dan DPR Aceh juga telah secara konsisten memperingatkan akibat konversi kawasan hutan. Secara ekologis, ini sangat sensitif, terutama karena wilayah itu curam dan medan yang bergelombang. Bagi pembangunan jangka panjang dan upaya mitigasi bencana, reboisasi lebih dinilai sebagai cara yang masuk akal ke depan bagi Aceh. Jadi, bukan deforestasi!

Ketiga, secara legal, inilah kesempatan Menteri Dalam Negeri memeriksa isi perubahan rencana tata ruang tersebut: apakah konsisten dengan Pasal 150 UU Pemerintahan Aceh No 11/2006 yang berbunyi: (1) Pemerintah menugaskan Pemerintah Aceh melakukan pengelolaan kawasan ekosistem Leuser di wilayah Aceh dalam bentuk pelindungan, pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi kawasan, dan pemanfaatan secara lestari; (2) Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota dilarang mengeluarkan izin pengusahaan hutan dalam kawasan ekosistem Leuser sebagaimana dimaksud pada Ayat (1).

Lebih jauh, Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang diatur oleh UU No 26/2007 juncto PP No 26/2008 telah tersurat menunjuk "Ekosistem Leuser sebagai Kawasan Strategis Nasional untuk Fungsi Perlindungan Lingkungan dan melarang aktivitas yang dapat mengurangi fungsi perlindungan lingkungan Kawasan Ekosistem Leuser".

Kita menanti keputusan tepat dan bijaksana. Mendagri punya tak lebih dari 14 hari kerja untuk mengevaluasi dan memberi tanggapan resmi, sekitar 21 Januari mendatang, mengembalikan hasil kajian kritisnya kepada Gubernur Aceh untuk diterapkan.

Usman Hamid, Pendiri Public Virtue dan Change.org Indonesia; Mahasiswa Pascasarjana Australian National University College of Asia and the Pacific

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004256617
Powered by Telkomsel BlackBerry®

1 komentar:

Powered By Blogger