Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 24 Februari 2014

Mengapa Kejahatan Luar Biasa? (Koreksi terhadap RUU KUHP/KUHAP

oleh ROMLI ATMASASMITAProfesor Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad)

Dua pekan terakhir masyarakat dipertontonkan pro dan kontra terhadap RUU KUHAP dan KUHP. Inti perdebatan adalah sekitar pertanyaan, apakah korupsi benar merupakan kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes) sehingga memerlukan sarana hukum dan lembaga yang luar biasa? 

Penulis, yang melontarkan konsep extra-ordinary crimes of corruption saat pergantian UU RI Nomor 31 Tahun 1999 dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001, berpijak pada dua hal. Pertama, TAP MPR RI Nomor XI Tahun 1998 ; yang menegaskan pemberantasan tuntas terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme yang telah terjadi pada kroni-kroni Soeharto. Kedua, kenyataan korupsi telah terjadi secara sistemik dan meluas dan terpusat pada satu sentral kekuasaan yang bersifat otoritarian yang berdampak telah merampas hak-hak ekonomi dan sosial 250 juta rakyat Indonesia. 

Bagian pernyataan ini dicantumkan di dalam bagian Menimbang UU RI Nomor 20 Tahun 2001. Kelanjutan perubahan strategis dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2001 adalah dimasukkan ketentuan gratifikasi (Pasal 12B hingga Pasal 12 C); bukti elektronik sebagai alat bukti petunjuk (Pasal 26A); pembuktian terbalik terbatas (limited reversal of burden of proof) dalam Pasal 37 A hingga Pasal 38 C. Tiga ketentuan tersebut hanya berlaku untuk tindak pidana korupsi dan ketika itu belum berlaku untuk tindak pidana narkotik dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). 

*** Penetapan korupsi merupakan kejahatan luar biasa telah memperoleh justifikasi baik secara politik maupun secara hukum di awal era reformasi ketika itu sehingga diperlukan sarana hukum acara yang bersifat khusus yang diperbolehkan penyimpangan terhadap KUHAP 1981 dan dibentuk pengadilan khusus tipikor. Tak lupa diperlukan lembaga independen untuk menangani korupsi mulai pencegahan sampai penindakan serta membangun sistem pemerintahan yang bersih dan bebas KKN. 

Lembaga ini (Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK) kemudian dibentuk dengan UU RI Nomor 30 Tahun 2002 sebagai amanat UU RI Nomor 31 Tahun 1999 (Pasal 43). Dasar perimbangannya adalah ketika itu kepolisian dan kejaksaan dipandang belum efektif untuk melaksanakan tugas baru dimaksud. Pemerintah SBY konsisten dengan korupsi sebagai kejahatan luar biasa telah mengeluarkan kebijakan khusus pemberian remisi yang diperketat terhadap narapidana korupsi selain narapidana terorisme dan narkoba. 

Namun, dalam RUU KUHP (2012) dan RUU KUHAP (2012) pemerintah berbeda dan cenderung tidak konsisten di mana delik khusus di luar KUHP, termasuk korupsi, narkoba, dan terorisme ditempatkan ke dalam RUU KUHP sebagai delik biasa. Kebijakan legislasi tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan paradigma dalam sistem hukum pidana Indonesia, kembali kepada asas kodifikasi total (total codification) dari asas kodifikasi parsial ( S u d a r t o ) yang telah dimulai dengan berlaku UU Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Ekonomi sampai saat ini. 

Perubahan tersebut justru tidak sejalan dan bahkan tidak relevan dan tidak strategis dihubungkan dengan kesigapan pemerintah meratifikasi konvensi internasional tentang korupsi, terorisme, dan narkoba. Padahal diperlukan kerja sama internasional terpadu dengan standar internasional pencegahan dan pemberantasan yang mengutamakan keseimbangan penanganan baik dari aspek kepentingan bangsa- bangsa maupun aspek perlindungan HAM. 

ICCPR sejatinya instrumen internasional yang bersifat payung dan pedoman umum dalam perlindungan HAM di setiap negara. Tetapi, setiap negara (berdaulat) tentu akan memperjuangkan perlindungan HAM dimaksud dalam konteks kultur, geografis, dan kepentingan negara (bangsa)-nya. 

Naif sekali jika bangsa Indonesia di tengah masa transisi menuju negara modern yang demokratis yang belum selesai tuntas beranggapan bahwa kesadaran hukum, stabilitas sosial dan ekonomi, serta kondisi geografis sama dengan bangsa di negara maju. Langkah yang mirip dengan hakim pemeriksa pendahuluan (hakim komisaris) telah dicoba dan gagal karena dalam praktik adalah 99% perkara praperadilan dikalahkan dan perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa tidak tercapai. 

*** Inti persoalan perlindungan HAM dalam praktik penegakan hukum di Indonesia sejatinya terletak pada mindset aparatur hukum, bukan perundang-undangannya. Perubahan kebijakan pemerintah SBY kembali kepada asas kodifikasi total merupakan bukti bahwa politik hukum pidana nasional masa yang akan datang tidak lagi mengakui sifat luar biasa korupsi, terorisme, narkoba, dan pencucian uang. Tafsir normatif dan logis atas perubahan paradigma tersebut adalah tidak dianut lagi asas ”lex specialis” dan secara mutatis mutandis ditiadakan adagium, ”lex specialis derogate lege generali”. 

Semua tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat betapa pun serius dan luas dampak kerugian yang diakibatkannya adalah tindak pidana biasa (lege generali) semata dan oleh karenanya tidak diperbolehkan lagi ada penyimpangan-penyimpangan hukum acara selain yang telah ditetapkan di dalam rancangan KUHAP (2012) yang tengah dibahas pemerintah dan DPR RI saat ini. Kesamaan nalar kedua tim penyusun (RUU KUHP dan KUHAP) sebagai contoh tampak pada pelarangan perbuatan penyadapan (Pasal 300 hingga 303 RUU KUHP) dan ketentuan hukum acara mengenai penyadapan (Pasal 83 hingga 84 RUU KUHAP). 

Sekalipun ketentuan hukum acara penyadapan terdapat kekecualian untuk tindak pidana serius termasuk korupsi, terorisme, psikotropika dan narkotika, serta pencucian uang, tetapi ketentuan tersebut tidak mencerminkan asas lex specialissama sekali karena asas kekhususan (specialis) berbeda signifikan dengan kekecualian. Dalam referensi hukum pidana yang diakui universal tidak dikenal nomenklatur ”kejahatan kekecualian”; selain ”kejahatan khusus” (specialized crimes). 

Kekecualian di dalam Pasal 83 jo Pasal 84 RUU KUHAP (2012) tidak akan menghapuskan kekhawatiran pandangan bahwa penegakan hukum terhadap korupsi, terorisme, narkoba, serta pencucian uang akan terpasung. Kekecualian tersebut masih akan diperparah dengan tenggat waktu yang sangat singkat dalam penangkapan (satu hari) dan penahanan (2x5x24 jam) dan pada tingkat pemeriksaan pengadilan untuk 2x30 hari dan seterusnya. 

Dikhawatirkan ketentuan RUU KUHAP 2012 dengan hakim pemeriksa pendahuluan tidak akan berhasil sama halnya dengan praktik praperadilan yang digagas dan telah dimuat dalam KUHAP 1981 sebagai karya agung. Konsekuensi hukum lebih jauh dari perubahan paradigma sebagaimana diuraikan di atas adalah lembaga penegak hukum yang diakui dalam sistem peradilan pidana berdasarkan RUU KUHAP hanya kepolisian dan kejaksaan; tidak lagi diperlukan lembaga khusus yang menangani kasus korupsi (KPK), terorisme (BNPT), narkoba (BNN), dan pencucian uang (PPATK). 

*** Inti dari perdebatan dan pro dan kontra atas RUU KUHP dan RUU KUHAP terletak pada pandangan dan pengakuan pemerintah dan wakil rakyat terhadap perbuatan yang disebut korupsi, narkoba, terorisme, dan pencucian uang sebagai suatu perbuatan yang diancam pidana karena sangat merugikan dan membahayakan ketahanan nasional bangsa Indonesia untuk dua puluh lima tahun yang akan datang. 

KUHP memiliki posisi strategis dalam menjaga kedaulatan hukum NKRI karena mencerminkan pandangan hidup bangsa terhadap kejahatan-kejahatan yang dianggap serius dan merupakan ancaman terhadap bangsa dan negaranya. KUHAP hanya dijadikan ”vehicle” yang mutatis mutandis harus sejalan dengan pandangan hidup bangsa dimaksud. Penulis menyarankan agar pembahasan RUU KUHP didahulukan daripada RUU KUHAP. 

_Keberhasilan atau kegagalan bangsa ini dalam melindungi kedaulatan hukum dan ketahanan bangsa ini di masa depan sangat bergantung pada produk KUHP yang merupakan prime guarantor negara untuk melindungi rakyatnya dari ancaman kejahatan transnasional, bukan bergantung pada seberapa kuat komitmen dan perlindungan HAM oleh negara terhadap para pelaku kejahatan transnasional terorganisasi. 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger