Isu yang ia pilih teryata mengenai perubahan iklim. Seperti kita baca beritanya hari Senin (17/2), saat berpidato di Pusat Kebudayaan AS di Jakarta, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat itu menyatakan, dari berbagai kerusakan akibat perang yang pernah ia lihat di pelbagai tempat di dunia, ternyata hal itu masih kalah dibandingkan dengan kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana alam seperti halnya topan Haiyan yang menghantam Filipina beberapa waktu lalu.
Dari satu sisi, pernyataan Kerry tentang perubahan iklim bukan hal baru karena sudah sekitar satu dekade terakhir ini kita menggemakan isu ini. Yang baru boleh jadi adalah pengakuan bahwa negaranya—sebagai negara industri maju terbesar dunia—bersama China memasok 40 persen dari total emisi gas rumah kaca yang menyebabkan terjadinya pemanasan global, dan pada gilirannya memicu fenomena perubahan iklim.
Benar apa yang dia katakan, bahwa meski ada fakta seperti itu, tidak berarti negara lain terbebas dari kewajiban untuk ikut mengatasi ancaman perubahan iklim ini. "Tak cukup jika hanya sejumlah negara yang berupaya menurunkan emisi gasnya, sementara negara lain terus membuat polusi," kata Menlu AS. Kita menggarisbawahi pernyataan tersebut mengingat Bumi merupakan satu sistem yang harus dipandang sebagai satu kesatuan.
Jadi, memang upaya mengatasi perubahan iklim harus dilakukan oleh semua bangsa di dunia. Kesepakatan mengenai hal ini juga telah didengungkan pada forum-forum dunia. Hanya saja, yang masih sering disuarakan adalah justru keberatan AS untuk mengurangi emisi karbon lebih besar lagi, mengingat kontribusinya yang sangat besar dari aktivitas industrinya yang juga sudah berlangsung lebih lama dari umumnya negara-negara lain.
Selama ini AS dilihat masih keberatan melakukan pengurangan emisi karbon secara lebih berarti dengan pertimbangan hal itu akan mengurangi daya saing ekonominya. Argumen lain yang sempat kita dengar adalah China yang juga merupakan kontributor emisi utama masih dikategorikan sebagai negara berkembang sehingga kewajibannya lebih kecil dalam penurunan emisi karbon.
Di satu sisi kita berterima kasih telah diingatkan bahwa ada ancaman nyata dari perubahan iklim terhadap negeri seperti Indonesia. Kerry secara spesifik menyebut bahwa ibu kota Jakarta terancam tenggelam separuhnya jika air laut naik setinggi 1 meter.
Pada sisi lain, kita berharap kerisauan Menlu AS terhadap masalah perubahan iklim juga disertai dengan langkah AS yang lebih nyata untuk mengurangi tingkat emisinya sendiri.
Sumber: Kompas cetak Edisi 18 Februari 2014
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar