Oleh TIRTA N MURSITAMA PHD
Nakhoda kementerian perdagangan baru saja berganti. GitaWirjawan, menteri terdahulu, memilih mengundurkan diri untuk lebih berkonsentrasi mencoba peruntungannya sebagai kandidat presiden dari Partai Demokrat.
Sementara sang pengganti, M Luthfi, mantan duta besar Indonesia untuk Jepang, telah dilantik menjadi pejabat baru dengan tugas berat dalam waktu singkat. Satu sisi peristiwa pengunduran diri dari sebuah ja-batan publik untuk kepentingan yang lebih besar patut diapresiasi. Paling tidak, langkah Gita menghindari benturan kepentingan sebagai pejabat publik dan ambisi pribadi.
Di sisi yang lain, hal ini menunjukkan betapa nikmatnya aroma kekuasaan menjadi salah seorang kandidat presiden. Lalu, bagaimana dengan pos yang ditinggalkan? Kementerian Perdagangan telah menjadi portofolio penting dalam dua dekade terakhir seiring dengan derasnya arus globalisasi. Oleh karena itu, pos ini harus terus dikelola dengan serius, siapa pun penggantinya.
Trident
Layaknya sebuah trident, senjata yang bermata tiga (trisula), perdagangan (internasional) telah menjadi elemen penting bagi setiap negara, selain elemen keuangan dan industri. Ketiga aspek yang saling berkelindan dan mendukung satu sama lain ini merupakan kesatuan dari apa yang disebut aktivitas bisnis (business). Setiap pelaku dalam hubungan internasional di dunia ini melakukan aktivitas bisnis.
Dalam konteks ini adalah aktivitas bisnis yang melintasi batas kedaulatan negara. Secara sederhana, untuk dapat berdagang, pelaku bisnis harus mengetahui komoditas atau jasa yang akan ditawarkan. Biasanya, mereka akan mencari dari sumber domestik yang diperoleh dari industri dalam negeri. Kemudian, kegiatan ekspor atau impor itu dapat berjalan dengan lancar maka membutuhkan dukungan finansial yang kuat. Dengan demikian, idealnya, antara pengembangan perdagangan dan industri dalam negeri harus seimbang. Keduanya harus sama-sama maju.
Bagi kalangan industri, untuk memproduksi barang dan atau jasa sering kali masih membutuhkan bahan baku yang diimpor. Aktivitas impor ini pula membutuhkan garansi atau bahkan asuransi dari kalangan keuangan. Selain itu, sektor keuangan tidak mungkin berkembang bila tidak ada aktivitas perdagangan maupun industri. Untuk itu, mereka harus memutar otak secara cerdas dan cerdik agar selalu siap berkembang dengan berbagai skema kreatif untuk mengimbangi kemajuan di bidang bisnis. Bahkan, sangat dianjurkan untuk menjemput bola dengan produk-produk keuangan baru yang dapat menjadi stimulus m e n g g e l i a t n y a sektor perdagangan dan industri.
Dengan demikian, logika dari sebuah trident ini tepat untuk melihat arti strategis disahkannya UU Perdagangan menggantikan Bedrijfsreglementerings Ordonnatie (BRO) yang telah berusia 80 tahun. Bisa dibayangkan, setelah Indonesia merdeka dan konteks internasional telah berubah dan kemajuan teknologi semakin pesat, bangsa Indonesia masih menggunakan aturan penjajah yang membelenggu kita hampir seratus tahun lalu.
Tatakelola
Terlepas dari pro dan kontra disahkannya RUU Perdagangan menjadi UU beberapa hari yang lalu, satu hal terpenting adalah Indonesia berusaha menyesuaikan bahkan mengantisipasi perubahan konteks kekinian yang terus berubah. Pengesahan UU ini perlu dilihat sebagai produk politik yang merefleksikan konstelasi politik domestik saat ini. Tentu saja tidak sempurna, tetapi apa yang bisa dilakukan dengan UU ini sepertinya menjadi lebih penting dan relevan. Salah satu makna strategis dari UU Perdagangan ini adalah menjadi penjaga sebuah proses dari tiga elemen trident diplomasi dengan tata kelola perdagangan yang diatur di dalamnya.
Misalnya bagaimana proses diplomasi bisnis harus dilakukan dengan menerjemahkan kepentingan nasional di empat ranah, yaitu lokal, nasional, regional, dan global. Artinya harus dibangun hubungan yang baik dan kesatuan pandangan antara pusat dan daerah dalam menghadapi dinamika regional dan global. Bersama dengan aturan lainnya, UU Perdagangan menjadi aturan main dari diplomasi trident di atas. Kementerian Perdagangan harus berperan lebih progresif dalam memerankan sebagai konduktor dari orkestrasi besar diplomasi bisnis Indonesia.
Artinya, hubungan kelembagaan antara Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, dan kementerian teknis lainnya menjadi sangat krusial. Ditambah lagi, jajaran mereka di daerah, pemerintah daerah, dan para pelaku bisnis di pusat maupun daerah. Kompleksitas masalah ini mengharuskan kesiapan sumber daya manusia agar trident diplomasi bisnis kita bisa efektif. Para pegawai kementerian, aparatur pemerintah daerah, para pelaku bisnis harus memiliki mindset terbuka untuk berkompetisi secara global.
Keandalan sumber daya manusia dimulai sejak rekrutmen dengan persyaratan yang tinggi dan diterapkan secara ketat. Pengembangan diri melalui studi lanjut, pelatihan penguasaan bahasa asing, dan negosiasi yang diikuti magang di lembaga regional dan internasional bisa menjadi alternatif. Konteks dunia sudah berubah, tidak boleh lagi kita merengek dan mengeluh atas tatanan yang ada. Dunia memang tidak bisa adil untuk semuanya. Tetapi yang terpenting adalah bagaimana diplomasi bisnis kita dapat menyikapinya dan berkontribusi untuk mengubahnya menjadi lebih baik.
Para calon presiden dan yang merasa layak menjadi presiden harusnya bisa menjawab hal ini. Kalangan pengusaha dan akademik tidak zamannya lagi duduk terpisah dan mengisolasi diri di menara gading. Namun, bukan berarti juga harus semua turun gunung berubah profesi dadakan menjadi pengambil kebijakan atau politisi. Yang lebih penting adalah semuanya lebih membuka diri bagi sebuah kerja sama sehingga semuanya menjadi relevan. Apalagi, kita harus bersiap bersama-sama menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 yang telah di depan mata serta tantangan global yang lebih dahsyat pada 2020 dan setelahnya. ●
TIRTA N MURSITAMA PHD
Ketua Departemen Hubungan Internasional
Universitas Bina Nusantara
Sumber: http://www.koran-sindo.com/node/368814
Tidak ada komentar:
Posting Komentar