Sejak 1 Januari 2014, pengawasan bank beralih ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun, sejarah itu bukan berarti sejarah yang benar-benar baru. Sebab, tenaga pengawas masih tetap sama, data yang dipakai juga sama. Pendek kata, hanya ganti kop surat, dan kantornya pun sama, Gedung Bank Indonesia.
Selama ini bank bangkrut bukan karena kalah bersaing, tetapi karena aji mumpung (moral hazard) oleh pemilik atau pengelola bank. Data sejak 1990-an hingga saat ini, bank umum atau bank perkreditan rakyat yang ditutup meninggalkan "surat wasiat" sama, yaitu penyalahgunaan oleh pemilik atau pengurus bank. Padahal, pengawasan bank kian hari kian ketat. Juga cenderung tidak memberi ruang yang longgar bagi bisnis operasional bank.
Namun, kegagalan bank masih saja berlangsung dan meledak ketika terjadi keguncangan di pasar keuangan. Hal ini bukan karena lemahnya pengawasan bank, tetapi lebih disebabkan sifat bisnis bank itu sendiri. Selama masih ada nasabah yang menabung dan kredit macet dapat dikelola, maka tidak akan menimbulkan masalah. Namun, bila sudah merosot kepercayaannya, bank itu akan tinggal cerita dan meninggalkan warisan masalah, yaitu karena digangsir oleh pemiliknya sendiri dengan disertai kekeringan likuiditas.
Intervensi dan premanisme
Ada beberapa catatan yang perlu dikemukakan dalam konteks pengawasan oleh OJK. Pertama, kendati OJK bersifat independen seperti BI, bukan berarti bisa independen terhadap swasta. Selama ini banyak "ta-
ngan-tangan halus" yang juga dapat memengaruhi pengawasan bank. Para konglomerat pemilik bank dengan mudah memengaruhi pengawasan. Jika melawan, dengan mudah para konglomerat itu bisa mengganti deputi lewat DPR. Atau akan dengan mudah memberi izin dan kelonggaran.
Catatan kedua, ancaman Daftar Orang Tercela (DOT) benar-benar menakutkan bagi seorang bankir yang selama puluhan tahun menjadi profesional. Dalam beberapa kasus pengawasan bank, seperti terungkap dalam diskusi terbatas yang dihadiri para bankir ternama, selama ini ancaman DOT dan perlunya uji kelayakan dan kepantasan (fit and proper test) ulang benar-benar sangat menakutkan. Padahal, belum tentu terbukti benar yang dituduhkan BI, tetapi anehnya BI sudah membocorkan hal ini ke mana-mana.
Harapannya, ke depan OJK tidak lagi menggunakan pendekatan "preman" seperti itu. Dan, sudah sangat tepat jika pengawas model ini diuji ulang jika ikut "rombongan" masuk kembali ke OJK. Atau lebih baik oknum "montir jalanan" itu diparkir saja karena akan merusak citra pengawasan oleh OJK ke depan.
Ketiga, ke depan sudah waktunya melibatkan Ikatan Bankir Indonesia (IBI) dan Perbanas menjadi mitra kerja OJK dalam hal fit and proper test. Sebab, selama ini IBI juga dapat memberi masukan yang menyangkut integritas, kompetensi, dan reputasi keuangan. Sebab, IBI merupakan lembaga yang juga mengembangkan tiga aspek tersebut. Jadi, untuk menjalani fit and proper test ke OJK, seorang bankir setidaknya harus menjadi anggota IBI lebih dahulu.
Keempat, konglomerasi sektor keuangan seharusnya lebih mudah dalam pengawasan. Namun, dalam hal ini, cikal bakal OJK yang terdiri dari unsur BI dan Kementerian Keuangan tentu perlu waktu yang lebih lama dalam koordinasi. Pengawasan perbankan dilakukan oleh eks pengawasan BI, sementara pengawasan sektor keuangan oleh pengawasan eks Kementerian Keuangan RI. Koordinasi ini sangat penting dilakukan karena koordinasi menjadi barang mahal di Indonesia kendati masih satu atap. Apalagi koordinasi yang terkait erat kebijakan makro dan mikro prudensial sering kali menimbulkan "gegar" kepentingan.
BI memang tidak benar-benar lepas tangan meninggalkan "kuku"-nya di perbankan. Sebab, BI masih memiliki wewenang pengawasan soal prudensial makro. Prudensial makro meliputi stabilisasi sistem keuangan. Sementara prudensial mikro meliputi pengaturan dan pengawasan bank. Dan, ini tentu juga jadi tantangan tersendiri bagi BI. Sebab, kebijakan moneter yang menjadi tugas utama BI akan semakin sulit tanpa prudensial mikro. Apalagi perbankan berperan penting dalam transmisi kebijakan moneter.
Sementara BI yang bertugas menjaga kestabilan moneter dihadapkan pada tantangan tak ringan. Misalnya, potensi keterlambatan respons kebijakan dalam penanganan krisis antara lain fungsi lender of the last resort karena bisa saja BI kesulitan mendeteksi secara awal munculnya masalah di sistem keuangan. Tak hanya itu. Penerapan kebijakan moneter akan kurang efektif karena tak punya kewenangan menjatuhkan sanksi. Sementara tak terintegrasinya kebijakan moneter dan pengawasan bank dalam mitigasi risiko keuangan akan menimbulkan dampak buruk sehingga transmisi kebijakan moneter pun bisa salah sasaran karena BI tidak memiliki informasi yang utuh, akurat, dan harian terhadap perilaku dan denyut nadi bank-bank.
Hal itu tentu bisa diatasi dengan baik sehingga BI bisa lebih fokus mengatur kebijakan moneter dengan prudensial makronya dan OJK dengan prudensial mikronya. Salah satunya, Gubernur BI dan Ketua OJK setidaknya harus satu gelombang yang sama. Sungguh sangat bahaya jika terjadi perbedaan gelombang, maka akan terjadi kiamat perbankan dan membuat negara harus melakukan banyak talangan (bail out) untuk bank yang kesulitan saat krisis.
Apalagi kalangan DPR mengonotasikan bail out di saat krisis sebagai langkah korupsi. Padahal, bail out adalah upaya memperbaiki sistem perbankan agar tak jatuh ke lembah krisis. Pilihan kebijakan mana yang paling murah ongkosnya itulah yang diambil. Selama ini hanya dilihat berapa biaya bail out tanpa pernah melihat apa untungnya, seperti sistem perbankan hidup lagi, kredit mengucur mendorong sektor riil, ada pajak dibayar, dan tak menambah ongkos pemulihan yang lebih tinggi jika pemerintah tak melakukan bail out di saat krisis seperti 1998.
Apa pun itu, saat ini pengawasan bank sudah ada di atap OJK. Dalam beberapa hal, kehadiran OJK juga sangat penting di tengah konglomerasi sektor keuangan karena mempermudah koordinasi, kendati harus dibuktikan dulu. Jadi, pengaturan dapat lebih terintegrasi, hilangnya hambatan dalam melakukan pemeriksaan lintas sektor sehingga pengawasan atas instrumen keuangan menjadi lebih baik. Pada akhirnya juga akan meningkatkan perlindungan nasabah.
Satu hal yang harus dihindari adalah intervensi politik dalam pengawasan dan pengaturan bank. Jangan sampai penyehatan bank jadi barang dagangan untuk politisasi sesaat. Sebab, jika politik terus masuk dalam pengawasan dan pengaturan bank, sesungguhnya kita semua sedang menggali sumur tanpa dasar dalam menyehatkan bank yang perlu dana tak sedikit. Jadi, setidaknya seluruh elemen masyarakat mendukung terciptanya OJK yang independen, berkarakter, dan mampu menutup kelemahan pengawasan yang selama ini terjadi saat pengawasan berada di BI. Lebih dari itu, OJK harus didorong "karakter" dan sosoknya seperti Komisi Pemberantasan Korupsi. Jangan sampai belum bekerja sudah ada lemparan bom dengan maksud menimbulkan ketidakpercayaan kepada lembaga OJK itu sendiri.
Apalagi di Indonesia saat ini politik jadi panglima. Maka kita harus mendudukkan OJK pada tempat yang baik karena pengalaman menunjukkan kegagalan bank atau lembaga keuangan bukan karena persaingan, melainkan aji mumpung pemilik. Jadi, perlu diberi dorongan untuk meningkatkan kualitas pengawasan OJK oleh seluruh pemangku kepentingan, terutama pihak berwenang seperti kepolisian, kejaksaan, dan KPK. Dan, sudah tentu oleh DPR mendatang dengan kualitas pemahaman mumpuni atas masalah keuangan. Apalagi, studi di seluruh dunia, tak ada jaminan pengawasan di bawah bank sentral atau OJK bebas dari krisis. Krisis tak ada kaitan dengan sistem pengawasan. Namun, penanganan lebih cepat menjadi sangat penting.
Uji materi UU OJK
Jika semua pihak dapat mendorong OJK lebih independen dan berintegritas, setengah masalah krisis sudah dapat diselesaikan. Jika ada pihak-pihak yang hendak melakukan uji materi terhadap UU OJK ke Mahkamah Konstitusi, di satu sisi ini merupakan kebebasan, tetapi di sisi lain ini "kegenitan" semata. Selama ini, proses pembentukan OJK sudah makan waktu teramat panjang sejak 1999 dengan naskah akademi yang memadai, dan pembahasan yang mendalam di DPR dan pemerintah serta BI sendiri.
Jika uji materi diterima dan dikabulkan MK, akan menimbulkan kekacauan dalam industri keuangan dan perbankan yang melibatkan aset Rp 12.000 triliun. Harus diketahui, OJK bukan seperti SKK Migas yang bisa dimatikan begitu saja. Ini menyangkut sektor perbankan dan keuangan yang ada risiko sistemiknya. Lembaga kepercayaan yang harus dijaga. Saat ini, konglomerasi sektor keuangan butuh lembaga OJK yang independen, dan sudah sewajarnya kita semua mendorong kredibilitas OJK seperti layaknya KPK.
Eko B Supriyanto, Direktur The Finance Research
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005224341
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar