Apakah keputusan akhir pembahasan itu mampu menjawab berbagai soal krusial yang selama ini jadi kritik keras terhadap model pemilihan langsung secara seragam? Sejauh yang kami amati, perkembangannya masih tetap terbelah: apakah kepala daerah dipilih langsung rakyat atau malah dipilih DPRD.
Iramanya tetap pada penyeragaman, bukan keberagaman (asimetris), yang justru menjadi titik lemah utama dalam penyelenggaraan pilkada dan bertentangan dengan fakta keberagaman Indonesia.
Pluralitas adalah keniscayaan. Karena itu, pilkada seyogianya beragam. Pelaksanaan pilkada langsung memperlihatkan bahwa dari awal hingga saat ini lebih banyak menimbulkan ekses negatif. Pilkada langsung menjadi bumerang melalui penafsiran seragam terhadap makna frasa "dipilih secara demokratis" dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 dan UU Pemerintahan Daerah.
Harus beragam model
Sebagai seorang kepala daerah yang juga merupakan produk perundang-undangan terkait pilkada langsung yang seragam, saya merasakan sendiri berbagai kelemahan model pilkada itu. Seharusnya ini direnungkan anggota DPR saat ini.
Saya berharap ada kesadaran baru mencari model pilkada yang merupakan koreksi terhadap model pemilihan langsung ataupun model sebelumnya, yakni dipilih DPRD. Sebuah model yang disesuaikan dengan karakteristik daerah diharapkan mampu mencegah polarisasi pemilih emosional dan transaksional, serta memperkuat NKRI.
Berdasarkan hasil penelitian saya untuk disertasi di Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, frasa "dipilih secara demokratis" untuk pilkada dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 bertujuan agar bersifat fleksibel. Menurut saya, pasal itu telah ditafsirkan secara tidak tepat, parsial, dan restriktif oleh UU No 32/2004.
UU No 32/2004 melakukan tafsir secara parsial terhadap Pasal 18 Ayat (4) karena tidak mempertimbangkan 16 pasal lain dalam UUD 1945. Karena itu, pilkada diselenggarakan secara langsung dan diseragamkan. UU itu dibentuk terburu-buru dan setengah diam-diam.
Pembuat UU dapat menentukan sistem pilkada yang sesuai dengan kondisi daerah tertentu (langsung atau melalui DPRD) sebagai penghargaan konstitusi terhadap keragaman adat istiadat dan budaya masyarakat antardaerah yang berbeda.
Pada hemat saya, penting sekali jika dalam membahas RUU Pilkada digali model yang paling tepat penerapannya di Indonesia tanpa menafikan pergaulan internasional (globalisasi) dan kearifan lokal dalam wadah NKRI. Disertasi saya menyimpulkan bahwa model pilkada ke depan merupakan conditio sine qua non, harus beragam, yang mencerminkan kebinekaan dalam kerangka NKRI.
Model itu bukan untuk meniadakan pilkada langsung dan pemilihan melalui DPRD, melainkan memungkinkan untuk menambahkan model lain. Sebagai contoh, menggabungkan antara pilkada langsung dan tidak langsung melalui sistem pemilihan langsung bertingkat yang dipersempit (popular vote). Konkretnya, pilkada dapat dipilih DPRD, dipilih langsung, atau dipilih sistem campuran, yakni: (a) pemilihan oleh DPRD diperluas;
(b) pemilihan langsung dipersempit; atau (c) pemilihan oleh adat.
Jika ingin melihat berdasarkan daerah, hasil penelitian saya menunjukkan, model pilkada langsung paling tepat dilaksanakan di Pulau Jawa dan Sumatera (kecuali untuk Kepulauan Riau, yang cocok menggunakan sistem perwakilan diperluas, dan Provinsi Aceh yang cocok dengan sistem pilkada langsung dipersempit). Model pilkada dengan sistem perwakilan diperluas cocok dilaksanakan di Pulau Bali, Sulawesi, dan Kalimantan, termasuk DKI Jakarta mengusulkan sistem perwakilan diperluas.
Adapun model forum adat wilayah cocok diterapkan di Kabupaten Buleleng (Bali), Kabupaten Bau-Bau (Pulau Buton), Provinsi DI Yogyakarta, dan kabupaten-kabupaten di Provinsi Papua. Model pilkada dengan sistem perwakilan DPRD cocok diterapkan di Sumatera Selatan, termasuk untuk Provinsi Papua.
Semua responden di setiap daerah yang berhasil dikumpulkan sepakat untuk tetap menjadikan prinsip-prinsip dalam Pancasila, terutama sila ke-4, diterapkan dalam menengahi demokratisasi liberal dengan tetap mempertahankan kearifan lokal.
Desentralisasi hukum
Pertanyaannya adalah bagaimana aturan hukumnya? Menurut saya, pengaturan pilkada ke depan dilakukan melalui UU yang bersifat umum dan dilaksanakan secara teknis oleh perda masing-masing provinsi atau kabupaten/kota. Peraturan perundangan yang berkaitan dengan pilkada, baik di pusat maupun daerah didesain secara efektif dan efisien.
Perundang-undangan itu dirumuskan dalam kerangka pokok untuk mendukung penguatan sistem politik demokrasi Indonesia, penguatan negara hukum Pancasila, penguatan kekuasaan pemerintahan di bawah presiden, tujuan pembangunan berkelanjutan dalam rangka pembentukan masyarakat demokratis Pancasila, memantapkan konsensus bahwa NKRI adalah harga mati, menghasilkan akuntabilitas tertinggi dari sebuah legitimasi sosial di daerah, dan mengedepankan kearifan lokal. Akan tetapi, ia tetap responsif terhadap perkembangan global.
Penempatan perda sebagai landasan hukum dapat dilihat dari perjalanan sejarah desentralisasi. Pada Orde Lama hingga akhir Orde Baru dapat terlihat hubungan antara pusat dan daerah hanya sebatas hubungan administratif atau hanya ditempatkan sebagai obyek pusat. Di era Orde Reformasi, dalam UU No 22/1999 dan UU No 32/2004, dalam konteks pilkada, peran daerah meningkat sebagai subyek. Di sini daerah yang menyelenggarakan, memilih, dan menetapkan hasil pilkada. Artinya, terjadi pergeseran paradigma dari desentralisasi administratif ke desentralisasi politik, selanjutnya mengarah ke desentralisasi hukum, yaitu pengaturan pilkada melalui perda.
Berdasarkan gejala pergeseran peran tersebut, dicermati pula bahwa otonomi administratif telah bergeser jadi otonomi dalam pengaturan pilkada. Namun, tetap dalam koridor UU yang mengatur pokok-pokok pilkada untuk mengikat perda yang berada dalam kesatuan sistem hukum nasional. Bagaimanapun pengaturan pilkada tetap dalam format sistem politik nasional.
Pertanyaan berikutnya: bagaimana posisi KPU dan wakil kepala daerah? Menurut saya, posisi wakil kepala daerah sebaiknya dihilangkan atau diatur sesuai kebutuhan. Untuk penyelenggara pilkada beragam tidak harus KPUD. Pengaturan KPUD sebagai penyelenggara pilkada dalam UU Pemilu harus dikeluarkan karena sudah tidak relevan. Lembaga penyelenggara pilkada beragam tak harus seragam, tetapi harus memiliki kredibilitas tinggi serta bersifat ad hoc dan on call. Lembaga penyelenggara juga tak perlu berkantor secara permanen.
Ridwan Mukti Bupati Musi Rawas, Sumsel; Doktor Hukum FH Universitas Sriwijaya
Sumber:
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar