Demokrasi memfasilitasi kedaulatan rakyat, tetapi ia bukan sistem yang sempurna dan tertutup. Despot dan tiran dapat tampil melalui demokrasi untuk kemudian merampas kekuasaan rakyat yang mendaulatnya.
Kedaulatan rakyat hilang dalam praktik Demokrasi Terpimpin dan dirampas negara pada pemerintahan totaliter Orde Baru. Berbeda dengan dua era sebelumnya, pada era Reformasi kedaulatan rakyat terkikis bukan karena direncanakan, melainkan karena politik dijalankan secara kotor, tanpa etika, dan korupsi yang meluas yang pada akhirnya melahap supremasi hukum.
Menghidupi ketegangan
Prinsip kebangsaan, ideal-ideal kemerdekaan, dan pemihakan pada bangsa sendiri terlupakan. Rangkaian perilaku dan kebijakan pemerintah, terutama di bidang perekonomian dan perdagangan, berlangsung di bawah oligarki dan investor global.
Legislasi tidak tegas dan tidak berpihak kepada rakyat atau kepentingan nasional. Rakyat semakin dijauhkan dari aset-aset ekonomi nasional. Bangsa ini pun kehilangan kemampuan berproduksi. Negeri yang berlimpah sumber alamnya, tetapi lebih nyaman dengan impor. Citizenship berganti menjadi consumership.
Kita gagal menjaga kedaulatan akibat kegagapan kita menjaga otonomi diri secara kreatif dalam tarik-menarik di antara banyak daya. Para pejabat, politisi, ataupun pembuat kebijakan sering jatuh pada logika harus memilih salah satu kutub dikotomi seperti keadilan atau efisiensi, sosialitas atau individualitas, globalisasi atau proteksi diri.
Padahal, kita dapat berada di antara dua ketegangan itu. Hanya saja, perlu kewaspadaan dan kecerdikan untuk dapat menyiasati ketegangan semacam itu.
Tata negara modern mengandung ketegangan antara kebenaran konstitutif dan kebenaran efektif. Kedaulatan suatu negara/bangsa dirumuskan pada konstitusinya. Bagaimana ia hendak menjalani kehidupan berbangsa dan mengelola negara ada di sana.
Di sisi lain, menjalankan roda pemerintahan membutuhkan pembiayaan atau syarat akuntansi. Begitu pula halnya dengan pertukaran nilai dan kepentingan dengan kedaulatan lain (misalnya negara asing, lembaga internasional, dan korporasi multinasional). Setiap pilihan efisiensi tentunya harus dikembalikan pada mandat yang tertera pada konstitusi. Adakah ia mewujudkan kemaslahatan bersama?
Strategi pembaruan
Persis ketika Indonesia sedang melakukan pemilihan umum langsung dan terbuka untuk kali ketiga setelah 1999, warga negara resah akan arah yang hendak dituju sebagai satu bangsa. Hidup berbangsa dan bernegara pada masa ini layaknya kerumunan massa. Kita seperti tidak memaksudkan apa pun bagi kebaikan hidup bersama dan tidak pula mengejar kemaslahatan rakyat.
Keresahan ini merupakan manifestasi dari hilang konsep kekitaan, publik, dan apa itu kebaikan bersama. Kondisi ini mendesak kebutuhan untuk memperbarui konsep "jalan hidup bersama" dalam berbangsa dan bernegara.
Jalan pembaruan yang dimaksud adalah haluan dan siasat membarui Indonesia bagi kemaslahatan bersama. Sebuah usaha berkelanjutan memperbaiki kualitas hidup bersama, yakni pembangunan (development), perlu tetap ada.
Trauma semantik akibat penyalahgunaan makna pembangunan di masa Orde Baru tidak serta-merta membuat pembangunan tidak lagi berguna. Esensinya adalah upaya berkelanjutan agar perilaku hidup bersama kita semakin beradab. Ikhtiar kekitaan untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat dan transformasi keberadabannya harus mandataris dalam wujud konstitusi.
Perlu waktu yang panjang guna mengembalikan kedaulatan rakyat Indonesia. Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan bersifat segera untuk dilakukan.
Pertama, strategi kebudayaan. Kebudayaan dipahami sebagai pola cara berpikir, cara merasa, dan cara bertindak habitual pada lingkup personal dan kolektif. Rancangan haluan pembaruan Indonesia berisikan langkah-langkah strategis yang dapat mentranformasikan habitus kolektif kepada praktik dan kebiasaan yang lebih beradab.
Kedua, perlu haluan kebijakan industrial dan langkah konkret yang berorientasi pada memproduksi dan bukan hanya mengonsumsi. Ketiga, peran intelektual. Para benalu kehidupan publik akan selalu berusaha menunggangi kebijakan yang, katanya, dimaksudkan untuk kepentingan umum. Oleh karena itu, dibutuhkan daya pikir yang akan selalu menguji argumen setiap kebijakan publik.
Selain itu, perlu juga diupayakan kerja-kerja intelektual untuk mengubah cara berpikir khalayak. Ide-ide mengenai kemaslahatan bersama, publik, tentang kekitaan perlu digaungkan kembali ke dalam kehidupan bernegara. Tanpa kebermaknaan idiom publik, setiap agenda luhur membangkitkan kembali kedaulatan dan kehidupan bersama berbangsa dan bernegara sudah batal sebelum mulai.
Pemimpin nasional
Peta haluan kehendak bersama mesti menjelma mejadi realitas karena Indonesia tidak dibarui hanya dengan kata-kata. Menjelmakan rumusan GBHN menjadi realitas kebaikan bersama mesti melalui tindakan politik yang mensyaratkan kepemimpinan dengan ciri tertentu. Kriteria pemimpin yang baik memiliki paradoks. Orang yang sangat haus kekuasaan tidak pernah menjadi pemimpin yang baik. Sebaliknya, orang yang skeptis terhadap kursi kekuasaan memiliki peluang menjadi pemimpin yang baik.
Penjelasannya adalah hanya orang yang dapat merelatifkan dan membuat jarak dari kekuasaan yang sanggup menjalankan tugas agung bahwa kursi kekuasaan bukanlah untuk dirinya sendiri, melainkan terwujudnya mandat kemaslahatan bersama. Pilihannya ada pada sosok-sosok baru dan muda yang telah membuktikan diri pada lingkup lebih kecil. Mereka yang telah membuktikan diri setia pada perkara-perkara kecil yang akan sanggup setia dalam perkara-perkara sebesar negara.
Kompetensi pemimpin bukanlah lagak, melainkan kesanggupan yang telah terbukti secara habitual dalam praktik kepemimpinan yang gerak-geriknya ditujukan pada kebaikan bersama.
Ia akan menjelmakan pembaruan agenda jalan bersama dengan tegas dan berdaulat tanpa menciptakan tirani.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007126037
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar