Krisis identitas bangsa bahari telah terjadi. Artinya, kebudayaan bahari telah tercerabut. Secara kasatmata, ini terlihat dari pergeseran cara pandang terhadap laut yang kini dijadikan halaman belakang dan sebagai faktor pemisah. Akibatnya, sentuhan untuk menata dan mengelola laut demi kepentingan ekologis, ekonomi, sosial, serta estetika menjadi minim.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Bagaimana langkah menemukan kembali kebudayaan tersebut?
Kebudayaan bahari
Menurut Koentjaraningrat (1979), kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan cara mempelajarinya. Jadi, ada yang berwujud material (teknologi), ada pula yang berwujud nonmaterial (nilai, tata aturan, kebiasaan, dan aktivitas).
Kebudayaan juga memiliki sejumlah unsur universal yang dapat ditemukan di hampir semua masyarakat. Koentjaraningrat menyebutnya sebagai unsur-unsur sistem kepercayaan, bahasa, kesenian, ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, dan teknologi. Pertanyaannya, apakah laut bisa memengaruhi terbentuknya kebudayaan?
Bagi penganut paham determinisme lingkungan, laut adalah pembentuk kebudayaan. Namun, bagi penganut ekologi budaya, laut hanya akan memengaruhi sebagian unsur kebudayaan saja, yaitu kependudukan dan organisasi sosial, sistem ekonomi, sistem pengetahuan, serta teknologi. Oleh antropolog Julian Steward, unsur-unsur inilah yang disebut sebagai inti kebudayaan. Dalam inti kebudayaan inilah berlangsung interaksi antara kebudayaan dan lingkungan hidup di sekitarnya (Adiwibowo, 2010).
Jadi, kebudayaan bahari semestinya dicirikan sejauh mana laut memengaruhi bentuk organisasi sosial, ciri ekonomi, tingkat pengetahuan, dan teknologi. Pada zaman Sriwijaya, misalnya, di mana kejayaan sebagai bangsa bahari pernah terwujud, kebudayaan bahari setidaknya dicirikan dengan kuatnya pertahanan laut, masyarakat kosmopolit yang terbuka dan pemberani, ekonomi perdagangan berbasis laut, memiliki pengetahuan dan keterampilan pelayaran, serta menguasai teknologi perkapalan.
Orang bisa berdalih, dahulu kebudayaan bahari berkembang karena tuntutan kondisi pada waktu itu yang serba terbatas sehingga secara otomatis laut adalah satu-satunya jalan. Ini tidak salah, tetapi harus dipahami bahwa kebudayaan bahari terus berkembang. Fakta-fakta di Inggris, Norwegia, dan Jepang menunjukkan kekuatan di laut yang terus berkembang daripada sekadar pelayaran. Kekuatan angkatan laut, teknologi perkapalan, perminyakan lepas pantai, serta perikanan mereka sangat besar. Mereka berusaha meneruskan kebudayaan bahari yang telah tertanam lama karena sadar pentingnya berjaya di laut.
Fakta geografis sebagai negara pantai dengan laut yang luas telah menyadarkan mereka betapa menguasai wilayah laut sangatlah strategis, minimal untuk mempertahankan diri. Kesadaran inilah yang membentuk cara pandang positif terhadap laut sehingga mampu mendorong sistem pengetahuan dan teknologi untuk menunjang pertahanan dan ekonomi kelautan. Bahkan, di Jepang, tradisi berenang yang hilang akibat reklamasi yang masif membuat mereka menggantinya dengan kolam renang dan mewajibkan murid SD mampu berenang menyeberang pulau. Keberlanjutan sejarah mereka di laut telah menjadikan mereka tetap berjaya di laut.
Sementara itu, keterputusan sejarah kita di laut membuat kita tak berdaya di laut. Ini dicirikan dengan fakta bahwa luas wilayah didominasi laut, tetapi kita tak mampu menguasai wilayah kita sendiri. Kapal ikan asing begitu liar, nyaris tak tersentuh. Penyelundupan di mana-mana, kekuatan pertahanan lemah, dan belum maksimalnya pemanfaatan potensi ekonomi kelautan. Padahal, menguasai laut adalah kunci kedaulatan, dan kedaulatan adalah cita-cita proklamasi.
Revolusi
Mengembalikan kebudayaan bahari harus melalui revolusi dan tak bisa dengan cara-cara biasa. Revolusi adalah perubahan menyangkut sendi-sendi kehidupan. Ada sejumlah dimensi revolusi kebudayaan bahari.
Pertama, revolusi cara pandang, yakni perubahan cara pandang bahwa laut adalah halaman terdepan dan wilayah kedaulatan yang harus dijaga secara maksimal, baik secara ekologis, ekonomis, maupun geopolitik. Hasil revolusi cara pandang adalah kesadaran kolektif dan kesadaran politik yang berarti mewujud pada gerakan aksi yang memberikan dampak perubahan secara sistemik.
Kedua, revolusi ekonomi, yakni mewujudkan laut sebagai sumber kemakmuran bangsa dan kesejahteraan rakyat yang harus dikelola secara lestari dan adil. Untuk perikanan saja potensinya mencapai 78,1 miliar dollar AS, hal itu mestinya bisa membuat nelayan sejahtera. Belum lagi untuk industri kemaritiman, farmasi, energi, wisata bahari, dan jasa kelautan lainnya. Perlu strategi besar yang jelas dan terukur untuk mewujudkan revolusi ini.
Ketiga, revolusi iptek kelautan, yakni memperkuat sistem pendidikan dan penelitian untuk meningkatkan pengetahuan publik tentang kelautan, serta menghasilkan riset-riset unggulan yang menjadi sumber kemandirian iptek kelautan. Jangan sampai laut kita terus-menerus menjadi obyek penelitian asing yang membuat peneliti asing lebih tahu laut kita daripada sendiri.
Keempat, revolusi kelembagaan, yakni menciptakan tata aturan yang jelas dalam pengelolaan dan pemanfaatan laut serta organisasi pengelola kelautan yang lebih efisien. Sebagai contoh, ada 12 kementerian dan lembaga yang bergerak dalam pengawasan di laut, hal tersebut tentu menimbulkan tumpang tindih. Kelembagaan rakyat pun harus terintegrasi dalam pengelolaan laut ini.
Ingat, darat dan laut bukan sesuatu yang terpisah. Revolusi kebudayaan bahari bukanlah upaya meniadakan pembangunan di darat, melainkan lebih pada mengisi kekosongan yang sudah lama dibiarkan. Dengan demikian, revolusi kebudayaan bahari adalah upaya menciptakan keseimbangan keduanya. Laut sudah lama tertinggal. Lalu, mampukah capres dan cawapres kita menjalankan revolusi kebudayaan bahari agar identitas bangsa bahari muncul kembali?
Arif Satria
Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007002115
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar